INICIAR SESIÓNMerebut Hati Sang Direktur (4)
*** "Oh really? First time loh, anaknya Pak Direktur mau diatur begitu." Reina tampak antusias, usai mendengar penuturanku pagi ini. "Maybe, dia lagi capek aja nggak sih? Kemarin tuh aku cuma ngasih makanan yang dia suka, terus aku juga nggak banyak omong. Takut dianya nggak nyaman, dia lebih banyak main gadget sih." Aku pikir, anak kecil itu fotocopyan Bapaknya banget. Jadi akunya yang harus paham, kapan masuk. Kapan cuma diam aja ada untuk menemani, meksipun lelahnya bukan hanya di fisik aja kemarin tuh. "Ness, andai aja kita berdua tuh masih single. Kita sama-sama bersaing buat dapetin hatinya Pak Direktur, aaaaaaah gemeees." Aku mendelik heran, Reina masih saja menggatal! "Dan untungnya, kamu udah punya laki! Udah deh nggak usah halu!" Capek banget tiap hari, harus ngeladenin omongan-omongan Reina yang kadang di luar nalar itu. Aku dan Reina berpisah, kembali pada ruangan masing-masing. Hari ini aku harus lebih fokus lagi, nggak peduli dengan perdebatan dengan Mas Arfan semalam. "Kamu tidur dengan posisi kayak gitu, Sayang? Aku dibelakangin?" Semalam tuh, Mas Arfan kayak ngasih kode terus. Bukan aku nggak peka, aku capek. Aku muak, kalau ingat semua perlakuannya akhir-akhir ini. "Maaf, tapi, aku capek, Mas. Besok kan harus kerja lagi, kalau aku nggak kerja kita mau makan apa?" Mas Arfan tampak kecewa, biarlah untuk sekarang begini dulu. Siapa tahu dia mulai berpikir, akan dibawa ke mana rumah tangga kami ini? Dahiku mengernyit heran, masih pagi dan sudah begitu banyak kerjaan di mejaku? "Betul-betul Boss yang rajin," ucapku, duduk dengan gelisah. "Apa kamu bilang, Nessa?" Aku meneguk ludah, pas banget Boss keluar dengan wajah yang tidak pernah senyum itu. "Hm, nggak Boss. Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan pikiran saya." Nggak papa bohong dikit, demi tetap bisa bekerja. Please, jangan ada drama kali ini! "Begitu? Bukan karena kamu mengeluh dengan pekerjaan yang sudah disiapkan?" Selidiknya, dengan tatapan tajam. Nah itu peka! "Saya selalu siap, Boss. Boss nggak perlu meragukan itu," ujarku, dengan senyum palsu. "Oke, jangan kecewakan saya, Nessa. Kerjakan secepat dan serapi mungkin!" Aku mengangguk, memutuskan untuk duduk dan melihat Boss berlalu keluar entah ke mana. Terserah deh, yang terpenting beliau nggak lagi nitipin anaknya yang super duper jutek lagi diem dingin dengan tatapan menusuknya itu! Ponselku bergetar, ahh rupanya ada chat dari Mas Arfan. "Kita akan tetap begini, sampai kamu rayu Ibu dan minta maaf!" Netraku memanas. Apa katanya? Terus aku peduli? Kenapa aku harus meminta maaf? Padahal aku nggak salah, aku hanya menolak secara halus. Bukankah aku sudah terlalu sering memanjakan mereka? Aku bahkan nggak punya tabungan! Demi membahagiakan mertuaku itu, betul-betul aku ini sudah diperas sedari awal menikah dengannya! "Jangan sampai keluar kata-kata yang nggak SEHARUSnya dari aku, Nessa!" Aku matikan ponsel, ganggu aku kerja banget! Harusnya dia itu mikir, nyari kerjaan bukan malah yaping! Kali ini aku pasrah, mau apapun yang keluar dari mulutnya Mas Arfan. Aku udah capek jadi bucin, malah nggak membuat aku maju. Yang ada kemunduran yang nyata, untuk apa aku mempertahankan sesuatu yang udah jelas nyakitin dari awal! Silakan jika memang mau pergi, pergilah sejauh mungkin! ** "Oh ayolah, Mah. Jangan dibiasain, jangan mentang-mentang Cassie betah Mama jadi nitipin dia terus ke sini." Dahiku mengernyit heran, Cassie? "Oh ayolah, Farhan. Kasihani Mamamu ini, Mama juga kepengen me time, udah lama nggak nyalon, nggak shoping. Kamu suruhlah sekretarismu itu buat jagain Cassie, pasti dia mau." Tanganku mengepal kuat, aku ini Sekretaris bukan baby sister! Aku makin nggak tenang! Aku pikir udah sehari aja kemarin jagain anak pendiam itu, kenapa hari ini tuh Omahnya malah ketagihan sih?! "Menurutmu gimana, Cassie?" Kudengar, Boss menanyakan itu. Mudah-mudahan aja anak itu tiba-tiba nggak mood! Aku menengadahkan kedua tangan, berharap hari ini bukan menjadi hari sialku layaknya kemarin! "Aku oke, kasian Omah!" Aku terduduk lemas, mereka pikir aku tak mendengar ucapan mereka! Betul-betul sial! "Nessa, saya pikir kamu sudah cukup mendengar perbincangan kami tadi." Aku meneguk ludah, ya jelas! "Perbincangan apa ya, Pak?" "Nggak usah basa-basi, kamu cukup jagain dan temenin Cassie sambil kerja. Jangan bikin ulah, kamu paham?! "Paham, Boss." Aku menghela nafas, kulirik anak itu begitu cuek duduk dan kembali memainkan ponselnya. "Kamu mau cemilan?" tawarku, mencoba bersikap manis. "Hm." Bocah SD ini betul-betul membuatku geram! Segera kuhubungi OB, untuk membeli segala kebutuhan makan anaknya Boss. Harusnya gajiku bulan ini naik dua kali lipat nggak sih? Jauh dibanding karyawan lainnya, lah aku kerja sambil jagain anak? Sekali lagi jagain anak orang! Iya kalau anak sendiri, ini anak orang lain! "Mbak Ness, ini pesanannya." Satu kantung plastik datang, isinya ada makanan sama minuman. Kusodorkan pada bocah, yang hanya melirik jutek itu. Ok, nggak masalah. Aku hanya berharap, waktu berjalan dengan cepat. Aku kepengen pulang, titik! "Serius banget kerjanya, Tan." Bisa ngomong juga dia. "Iya." "Dih, jutek!" Whaaaaat? Apa katanya tadi aku jutek? Apa nggak salah? "Nggak, kok, Cass. Kamu mau ngobrol apa sama Tante? Atau ada yang bisa Tante bantu?" "Tante udah nikah?" Aku mengangguk pelan, "Udah punya anak?" Aku menggeleng pelan, karena memang itu nyatanya. Bicara soal anak, justru aku bersyukur. Setidaknya kalau aku dan Mas Arfan pisah, nggak ada anak yang jadi korban. Banyak sekali contoh di Indonesia, aku nggak yakin tetap bisa menjalin hubungan baik dengan keluarganya Mas Arfan itu. Mereka terlalu ribet, untuk aku yang justru santai ini! "Pasti kesepian ya, Tan?" "Hmm, nggak juga." "Caranya?" "Tante kerja, di rumah ada suami. Kalau nggak ada, ya ngerjain sesuatu yang asyik aja tapi, manfaatnya juga ada." "Misalnya?" "Baca buku, nontonin drama. Masak, apa aja, Cass. Banyak hal yang bisa dilakukan, me time sama temen gitu." "Omah sibuk, mana pernah ngajakin aku jalan." Bibirnya merenggut, "Papa apa lagi, dia nggak gila aja udah syukur!" Aku hampir saja terbahak! "Cass, kok, gitu sih ngomongnya?" "Aku juga kepengen kayak anak normal lainnya, jalan ke mall. Ke taman, atau ke mana gitu. Bosen di rumah terus," katanya, dengan wajah yang sendu. "Kamu mau Tante ajak jalan?" Netranya tampak berbinar. "Ke mana, Tan?" "Ke tempat-tempat yang nggak akan bisa Kamu lupain, seru pokoknya, yeaaaaay!" Aku begitu antusias. Ahh, tapi, gimana caranya izin sama Direktur dingin dan jutek itu? Pastinya nggak gampang dong ah!Merebut Hati Sang Direktur (5)***"Masih sore, udah tidur aja kamu, Mas." Aku mengendikan bahu, ia tampak membelakangiku. Capek kali ya, abis acara tujuh bulanan? Pasti badan remuk, mungkin acaranya lebih mirip ke pesta nikahan kalau aku nggak salah nebak."Kasihan aku sama Ibu, abis acara bukannya seneng. Utang malah di mana-mana," katanya, membuatku terkikik pelan. "Kamu seneng, Ness? Bisa-bisanya!""Ya gimana nggak? Aku bahkan udah pernah bilang, tujuh bulanan tuh biasa aja. Nggak usah yang heboh gimana-gimana," sahutku, merasa puas mendengarnya.Andai aku ada di acara itu, setidaknya aku bisa menyaksikan wajah-wajah keluarga Mas Arfan yang panik, hahhahaa."Ini soal harga diri, Ness. Kamu nggak akan ngerti, percuma punya banyak duit kalau cuma buat ditimbun. Dosa kamu, nggak bantuin mertua!" Mas Arfan menatapku nyalang, apa katanya dosa?!"Aku bahkan baru sekali ini aja nggak bantu kamu, Mas. Tapi, kamu bicara seakan aku nggak pernah bantu." Miris!Aku melipat kedua tangan di d
Merebut Hati Sang Direktur (4)***"Oh really? First time loh, anaknya Pak Direktur mau diatur begitu." Reina tampak antusias, usai mendengar penuturanku pagi ini."Maybe, dia lagi capek aja nggak sih? Kemarin tuh aku cuma ngasih makanan yang dia suka, terus aku juga nggak banyak omong. Takut dianya nggak nyaman, dia lebih banyak main gadget sih." Aku pikir, anak kecil itu fotocopyan Bapaknya banget. Jadi akunya yang harus paham, kapan masuk. Kapan cuma diam aja ada untuk menemani, meksipun lelahnya bukan hanya di fisik aja kemarin tuh."Ness, andai aja kita berdua tuh masih single. Kita sama-sama bersaing buat dapetin hatinya Pak Direktur, aaaaaaah gemeees." Aku mendelik heran, Reina masih saja menggatal!"Dan untungnya, kamu udah punya laki! Udah deh nggak usah halu!" Capek banget tiap hari, harus ngeladenin omongan-omongan Reina yang kadang di luar nalar itu.Aku dan Reina berpisah, kembali pada ruangan masing-masing. Hari ini aku harus lebih fokus lagi, nggak peduli dengan perdeb
Merebut Hati Sang Direktur (3)**"Sepet banget liat muka Direktur kita," ucap Reina sembari berjalan menuju kantin."Udah biasa itu, kenapa juga masih dibahas?" Aku tak mau ambil pusing, yang penting kerjaan beres gaji lancar."Ya iya sih, Nes. Padahal dia itu cakep pake banget, tinggal ditambahin senyum dikit bikin cewek tambah klepek-klepek." Aku terkikik, Reina ini ada-ada saja.Aku nggak mau bikin masalah apapun sama Direktur yang satu itu, juteknya memang bikin kesel. Jangan lupa dia juga terus bergonta ganti Sekretaris, dan sepertinya aku yang paling lama menghuni tempat itu."Aku sih sampai hari ini masih heran sama kamu, Nes." Usai memesan kami duduk di kursi paling ujung, menikmati suasana istirahat."Heran kenapa?""Kamu nggak ada rasa tertarik gitu sama Sang Direktur? Udah cakep, tajir, duda, ya walaupun ada anak sih satu. Tapi, bisalah diatur." Dahiku mengernyit bingung, lagi-lagi Reina mempertanyakan hal yang sama."Kalau kamu suka, yaudah suka aja sendiri, Rei. Nggak us
Merebut Hati Sang Direktur (2)***"Tadi Ibu bilang, katanya kamu nggak usah hadir di acara tujuh bulanannya Mila!"Degh!Apa-apaan ini?!"Ibu terlanjur kecewa sama kamu, Nes. Sebagai menantu kamu dinilai nggak bisa membahagiakan hati mertua!" Aku meneguk ludah, apakah aku berkewajiban membahagiakan hati mertua hingga harus membuat tabunganku melorot?!Aku menghela nafas panjang. Jadi, aku betul-betul tak diinginkan di acara tersebut?!"Baik, jika itu yang Ibu inginkan. Aku nggak akan datang," sahutku, kembali menikmati tontonan televisi yang sedang berlangsung.Jantungku berdegup lebih kencang. Sejujurnya aku ingin marah, semarah-marahnya. Namun, energiku sudah habis. Kerjaan di kantor, dan beban yang begitu berat. Membuatku tak ingin kembali menguras tenaga!"Kamu tahu? Ibu, sampai harus minjem ke rentenir demi keberlangsungan acara Mila. Hal yang sebelumnya nggak pernah Ibu lakuin," ucapnya lagi, dengan nada yang mulai meninggi. Dahiku mengernyit, oooh jadi beliau sampai segitunya
Merebut Hati Sang Direktur***"Transfer aja, Bun. Kasian," ucap suami, yang membuat darahku makin mendidih!Transfer dari Hongkong!Dipikir nyari duit gampang!Nganggur aja banyak gaya!"Ya itu, kamu punya duit nggak?" Itu kan adeknya, ya kali harus aku juga yang bayarin!"Adekku ya adek kamu juga, Bun. Jangan pelit-pelit ah, kita ini suami istri. Kamu wajib bantu keluarga aku," katanya lagi, yang membuatku bertambah mual."Ok, dia emang adekku juga. Tapi, si Mila ini udah nikah. Ya dia mintalah sama suaminya, jangan ke aku teruuuus!" Aku berdecak kesal, dipikir aku banting tulang pagi pulang malem buat ngehidupin mereka?!"Tapi, suaminya itu belum kerja, Bun. Ayolah, itu barang CO jumlahnya cuma ratusan, nggak akan sebanding sama gaji kamu.""Gak peduli! Aku nggak mau bayarin barang CO si Mila, urus aja sama suaminya. Kenapa aku yang dikejar terus? Kalau kamu kerja, dan kamu yang mau bayarin silakan!"Aku bangkit, lama-lama begini membuat hidupku menjadi tak nyaman. Dari mulai Ibuny







