Home / Rumah Tangga / Merebut Hati Sang Direktur / Mas Arfan Memboyong keluarganya?

Share

Mas Arfan Memboyong keluarganya?

Author: Fitriyani
last update Last Updated: 2025-12-17 15:05:24

MHSD (6)

**

Aku pulang dengan tubuh yang lelah, kerjaanku kembali bertambah dengan hadirnya Cassie di kantor.

Sepertinya setelah ini aku harus mencarikan orang, untuk mengurus anaknya Direktur itu. Gila aja, aku yang harusnya fokus kerja malah harus momong anak juga!

Dahiku mengernyit, suara-suara bising terdengar begitu menusuk di ruang tengah. Ada tamukah? Kenapa aku nggak tahu?!

"Ibu? Mila?!" Aku meneguk ludah, pemandangan macam apa ini?!

"Ada apa ini, Mas? Kok, kamu nggak bilang kalau Ibu akan datang?"

Bukan hanya Ibu dan Mila, Mas Arfan juga ikut serta memboyong suaminya Mila! Apa-apaan sih ini?

"Memangnya kenapa, Nessa? Kamu nggak suka kalau Ibu nginep di rumahmu yang gedongan ini?"

Hah, apa? Mereka mau nginep? Yang bener aja sih?!

"Aah, Ibu mau nginep? Mila juga sama suaminya?" Aku pura-pura polos, kaget dan bingung.

"Ya iyalah, orang rumah Ibu disita." Netraku membulat, plot twist apalagi sih ini?

"Udahlah, Nessa. Kamu jangan pelit! Rumah kamu ya rumah Arfan juga, anak Ibu. Nggak tahu sementara nggak tahu selamanya, Ibu, Mila dan suaminya di sini. Karena nggak sanggup bayar hutang, habis tujuh bulanan kemarin. Salah kamu juga yang nggak minjemin Ibu uang, jadinya gini kan?"

Hah apa?

Tubuhku seakan tak berada di tempatnya, rumah yang menjadi tempat pulangku. Rumah yang nyaman, akan seperti neraka dengan kehadiran mereka!

"Ya Ibu cari kontrakan atau apa gitu, kalau untuk Ibu ya aku sih nggak papa. Tapi, ini suaminya Mila? Dia kerja kan? Nggak mungkin, terus menerus di sini. Gimana tanggapan orang-orang?"

Lihat saja, belum apa-apa udah kelihatan songong. Pada nonton TV, sisa-sisa sampah berhamburan nggak jelas. Udah kayak kapal pecah rumahku!

"Kamu ini sejak kapan sih, mikirin tanggapan orang? Nggak ada empatinya banget, ini keluarga aku, Nes. Yang otomatis keluarga kamu juga, tolong jangan egois. Mila juga lagi hamil gede, harusnya kamu paham." Serius Mas Arfan giniin aku? Di rumah aku sendiri?

"Arfan bener, ya Ibu wajar sih ya. Kalau kamu nggak paham, kamu kan belum pernah hamil. Jadi nggak bisa ngerasain," kata Ibu, begitu menusuk hati!

"Tolong, jaga bicara Ibu. Kalau Ibu masih kepengen ada di rumah ini, sekali lagi Ibu bicara begitu akan aku pastikan Ibu tidur di luar!" Kutunjuk wajah beliau, dengan panas di dada.

Tanganku dihempas Mas Arfan, keras dan menyakitkan. "Kamu yang sopan sama Ibu!"

"Aku akan sopan, kalau mereka juga sopan. Tahu dirilah kalian, sudah numpang bikin berantakan. Awas aja, kalau besok keadaan rumah masih kayak gini. Aku nggak akan tinggal diam!"

Nafasku tak beraturan, kutatap Ibu dan Mila penuh dengan bara api!

"Ajarin istri kamu, Arfan. Yang sopan bicara sama Ibu!" Aku masih mendengar, saat kaki ini melangkah menuju kamar.

"Wajar aja sih, Bu. Dia kan yatim piatu," ucap, Mila. Lalu, mereka terkekeh. Suaminya yang tadi diam pun ikut bersuara, oh jadi begitu kalian?

Tak akan aku biarkan kalian hidup tenang di rumahku sendiri!

Hubunganku saja dengan Mas Arfan belum sama sekali membaik, semenjak kejadian waktu itu. Sekarang ditambah dengan kehadiran mereka di sini, jujur ini membuatku stress!

Aku tersenyum licik, aku punya rencana untuk hari esok. Kalian jelas sudah membangunkan harimau yang tengah kelaparan!

**

Aku sudah berdandan rapi, siap menuju kantor. Mas Arfan masih tidur, seperti biasa. Semalam aku tidur nyenyak, rasa lelah seakan terbayarkan.

Hari ini aku siap memulai hari, tak akan aku biarkan mereka betah di rumah ini. Rumah yang aku beli dengan hasil jerih payahku sendiri!

"Loh, kamu nggak sarapan dulu, Nessa?" Ibu menghadangku. Sudah kuduga.

"Nggak, Bu. Aku buru-buru."

"Terus, ini pembantu kamu ke mana? Kemarin ada kok, Ibu sama Mila laper mau makan. Di kulkas juga nggak ada apa-apa, kamu belum belanja ya?"

Kutatap Ibu dengan geram, "Pembantuku lagu pulang kampung, Bu. Ibu kalau mau sarapan, ya beli. Ada nanti Mang sayur yang suka lewat, beli bubur atau apa gitu. Jalan ke depan, bisa kan?"

"Ya bisa, tapi, Ibu minta duitnya?" Dipikir aku ATM berjalan apa?

"Ibu minta sama Mas Arfan, atau menantu Ibu. Suaminya Mila, aku belum gajian. Maaf banget ya, Bu. Aku buru-buru," kataku, dengan puas. Akan aku buat kalian tidak betah, untuk apa tinggal di rumah gedongan tapi, buat makan aja susah?! Hahhahhaa.

"Ish, kamu pelit banget sih, Ness! Nessa!" Teriaknya, tapi, tak kuhiraukan. Aku berlalu menaiki mobil, dengan mengulum senyum.

Kalian sendiri yang mengibarkan bendera perang itu! Dan aku jelas nggak akan mengalah gitu aja, aku Nessa meski yatim piatu seperti yang dikatakan Milla jelas aku punya otak!

Ponselku bergetar, nama seseorang di layar membuatku merasa tidak nyaman. Ada apa sepagi ini beliau sudah menelpon?

"Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ada banyak pekerjaan hari ini, datang lebih awal. Dan jangan banyak bertanya!" Suaranya yang tegas, membuatku meneguk ludah.

Bukannya aku memang suka berangkat lebih awal ya? Lalu, kenapa sepagi ini beliau meneleponku? Dia bahkan tak pernah begitu sebelumnya. Aneh!

"Saya sedang berbicara, apa kamu tuli?" Aku memukul stir, menghela nafas dan memasang senyum. Meski senyum palsu itu, jelas nggak akan terlihat.

"Iya, Bapak. Saya siap."

"Siap ngapain?" Apaan sih?!

"Siap bekerja dengan baik."

"Bagus!"

Ya terus? Kenapa telponnya belum dimatiin juga sih? Malah diem lagi.

"Yaudah ya, Pak. Saya lagi fokus nyetir."

"Loh, suami kamu ke mana?"

Hal personal juga harus dia tanyain apa?

"Eeeh, maksud saya. Kamu sering bawa mobil sendiri, padahal yang saya tahu kamu punya suami."

"Saya lebih suka sendiri, Pak. Maaf ya, Pak. Saya matiin."

"Tapi ...."

Apaan banget sih? Sejak kapan dia ngurusin hal yang beginian?

Suami?

Aku bahkan, terkadang lupa kalau ternyata aku sudah menikah. Di mana peran suami yang seharusnya, Mas?

Air mataku menetes, apalagi semenjak kejadian itu tak ada lagi kehangatan. Yang ada pertengkaran, perbedaan pendapat, dia yang terus menganggur dan membela Ibu beserta adiknya itu.

Aku menyandarkan bahu dengan rasa lelah, pernikahan macam apa ini? Aku sudah merasa tidak sehat dalam hubungan ini, tapi, apa bisa aku berpisah?

Aku bahkan seperti tulang punggung yang dipaksakan, demi menafkahi suami. Harusnya dia yang bekerja, aku yang saat ini masih tidur bukan malah sebaliknya!

Minimal dia yang nganter aku kerja, seperti pertanyaan Direktur hari ini. Beliau jelas nggak salah, siapapun pasti akan bertanya.

Untuk berpisah sepertinya tak akan mudah, tapi, jika diteruskan pun rasanya aku nggak sanggup!

Apa yang bisa kuharapkan darinya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Merebut Hati Sang Direktur    Rencana Arfan

    MHSD (9)POV Arfan**"Sudah dua hari kita menggembel di kontrakan sempit ini, Arfan!" Aku menghela nafas panjang, siapa sangka ternyata perkiraanku salah! "Mana yang katamu bilang, kalau si Nessa bakalan datang mengemis. Jangankan datang, menelponmu pun dia jelas tak sudi!"Rahangku mengeras. Tangan mengepal kuat, ada apa dengan, Nessa? Tak biasanya dia begini, dulu kalau lagi ada masalah. Apapun bentuknya, dia yang akan lebih dulu meminta maaf. Mengalah, demi kami tetap bersama.Sekarang? Kenyataan apa yang sedang kuhadapi?!"Ini semua gara-gara ulah kalian! Segala pamer kemesraan di depan Nessa, begini kan jadinya?!" Ucapan Ibu, bukannya membantu malah semakin membuatku runyam!Kulirik ponsel mahalku, bahkan Nessa juga yang membelikannya. Semua permintaanku akan dia kabulkan, dia jelas kecintaan. Sebucin itu sama aku, tapi, aku yang bodoh!"Mas, aku lapar!" rengek, Milla. Dengan tampilannya yang makin lusuh, dulu aku menikahinya karena dia menarik.Wajahnya tak secantik dulu, bany

  • Merebut Hati Sang Direktur    Bercerai?

    MHSD (8)**Aku pulang dengan rasa lelah, bukan hanya fisik tapi, batin! Rentetan chat dari Mas Arfan, tak ada satupun yang kubalas. Bahkan telpon darinya pun tak ingin kuangkat, hubungan pasutri seperti apa yang sedang kita jalani ini?Suara gelak tawa dari arah ruang tengah, kudengar sangat menggelegar. Membuat dada bertambah panas, kupikir mereka akan jera!Netraku membulat, melihat kedekatan Mas Arfan dan Mila yang tak biasa. Mila yang sedang tiduran di atas paha suamiku, apa-apaan ini?!Mereka tampak intim, jatohnya bukan seperti adik kakak!Dan suaminya pun, tampak sibuk memainkan game dengan cemilan yang bekas plastiknya berhamburan!"Mas!" Semua mata menatapku dengan ketus, padahal aku yang punya rumah. Aku yang berhak, bahkan sangat bisa aku mengusir semuanya saat ini juga!Mila masih tiduran di pangkuan suamiku, begitu manja. Dan yang di sekitarnya biasa saja, seakan hal ini sudah biasa dilakukan."Kupikir kamu bakalan nginep di kantor, kepincut Direktur kaya itu!" Tangank

  • Merebut Hati Sang Direktur    Sapu Tangan Milik Direktur

    MHSD (7)**"Mematikan telpon pada saat orang belum selesai bicara, itu bukan sebuah tindakan yang sopan!" Aku meneguk ludah, berdiri tegak di hadapan Direktur. Mati aku!"Siap, salah, Pak. Itu, a-nu ....""Anu kenapa? Kamu mau cari alasan apa?" Bicara begitu, Direktur sambil memasukan satu tangannya pada kantung sisi kanan. "Ya itu, tadi saya lagi di jalan. Nyetir sendiri, jadi takut nggak fokus. Jelas keselamatan nomor satu dong, Pak. Bukan begitu?" "Banyak alasan! Kan kamu bisa pake earphone!" "Nggak kebawa, Pak. Tadi buru-buru." Banyak tanya banget sih, Direktur!Harus banyakin sabar, Ness. Demi sesuap nasi, ingat ada suami juga yang harus dinafkahin. Malah kebalik kan!"Suami kamu nggak kerja?" Aku mendongak, untuk apa Direktur bertanya itu?"Nganggur, Pak. Sudah beberapa bulan ini," kataku, yang jadi malu."Ya cari kerja dong, usaha. Bukan malah tambah nyusahin kamu!" Aku tersenyum getir, harusnya dia ngomong langsung sih sama Mas Arfan. Bukan sama aku!"Bukannya saya mau n

  • Merebut Hati Sang Direktur    Mas Arfan Memboyong keluarganya?

    MHSD (6)**Aku pulang dengan tubuh yang lelah, kerjaanku kembali bertambah dengan hadirnya Cassie di kantor. Sepertinya setelah ini aku harus mencarikan orang, untuk mengurus anaknya Direktur itu. Gila aja, aku yang harusnya fokus kerja malah harus momong anak juga!Dahiku mengernyit, suara-suara bising terdengar begitu menusuk di ruang tengah. Ada tamukah? Kenapa aku nggak tahu?!"Ibu? Mila?!" Aku meneguk ludah, pemandangan macam apa ini?! "Ada apa ini, Mas? Kok, kamu nggak bilang kalau Ibu akan datang?"Bukan hanya Ibu dan Mila, Mas Arfan juga ikut serta memboyong suaminya Mila! Apa-apaan sih ini?"Memangnya kenapa, Nessa? Kamu nggak suka kalau Ibu nginep di rumahmu yang gedongan ini?"Hah, apa? Mereka mau nginep? Yang bener aja sih?!"Aah, Ibu mau nginep? Mila juga sama suaminya?" Aku pura-pura polos, kaget dan bingung."Ya iyalah, orang rumah Ibu disita." Netraku membulat, plot twist apalagi sih ini?"Udahlah, Nessa. Kamu jangan pelit! Rumah kamu ya rumah Arfan juga, anak Ibu.

  • Merebut Hati Sang Direktur    Menarik Atau Tidak?

    Merebut Hati Sang Direktur (5)***"Masih sore, udah tidur aja kamu, Mas." Aku mengendikan bahu, ia tampak membelakangiku. Capek kali ya, abis acara tujuh bulanan? Pasti badan remuk, mungkin acaranya lebih mirip ke pesta nikahan kalau aku nggak salah nebak."Kasihan aku sama Ibu, abis acara bukannya seneng. Utang malah di mana-mana," katanya, membuatku terkikik pelan. "Kamu seneng, Ness? Bisa-bisanya!""Ya gimana nggak? Aku bahkan udah pernah bilang, tujuh bulanan tuh biasa aja. Nggak usah yang heboh gimana-gimana," sahutku, merasa puas mendengarnya.Andai aku ada di acara itu, setidaknya aku bisa menyaksikan wajah-wajah keluarga Mas Arfan yang panik, hahhahaa."Ini soal harga diri, Ness. Kamu nggak akan ngerti, percuma punya banyak duit kalau cuma buat ditimbun. Dosa kamu, nggak bantuin mertua!" Mas Arfan menatapku nyalang, apa katanya dosa?!"Aku bahkan baru sekali ini aja nggak bantu kamu, Mas. Tapi, kamu bicara seakan aku nggak pernah bantu." Miris!Aku melipat kedua tangan di d

  • Merebut Hati Sang Direktur    Rencana Jalan Bareng

    Merebut Hati Sang Direktur (4)***"Oh really? First time loh, anaknya Pak Direktur mau diatur begitu." Reina tampak antusias, usai mendengar penuturanku pagi ini."Maybe, dia lagi capek aja nggak sih? Kemarin tuh aku cuma ngasih makanan yang dia suka, terus aku juga nggak banyak omong. Takut dianya nggak nyaman, dia lebih banyak main gadget sih." Aku pikir, anak kecil itu fotocopyan Bapaknya banget. Jadi akunya yang harus paham, kapan masuk. Kapan cuma diam aja ada untuk menemani, meksipun lelahnya bukan hanya di fisik aja kemarin tuh."Ness, andai aja kita berdua tuh masih single. Kita sama-sama bersaing buat dapetin hatinya Pak Direktur, aaaaaaah gemeees." Aku mendelik heran, Reina masih saja menggatal!"Dan untungnya, kamu udah punya laki! Udah deh nggak usah halu!" Capek banget tiap hari, harus ngeladenin omongan-omongan Reina yang kadang di luar nalar itu.Aku dan Reina berpisah, kembali pada ruangan masing-masing. Hari ini aku harus lebih fokus lagi, nggak peduli dengan perdeb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status