Compartir

Menarik Atau Tidak?

Autor: Fitriyani
last update Última actualización: 2025-11-26 11:18:27

Merebut Hati Sang Direktur (5)

***

"Masih sore, udah tidur aja kamu, Mas." Aku mengendikan bahu, ia tampak membelakangiku.

Capek kali ya, abis acara tujuh bulanan? Pasti badan remuk, mungkin acaranya lebih mirip ke pesta nikahan kalau aku nggak salah nebak.

"Kasihan aku sama Ibu, abis acara bukannya seneng. Utang malah di mana-mana," katanya, membuatku terkikik pelan.

"Kamu seneng, Ness? Bisa-bisanya!"

"Ya gimana nggak? Aku bahkan udah pernah bilang, tujuh bulanan tuh biasa aja. Nggak usah yang heboh gimana-gimana," sahutku, merasa puas mendengarnya.

Andai aku ada di acara itu, setidaknya aku bisa menyaksikan wajah-wajah keluarga Mas Arfan yang panik, hahhahaa.

"Ini soal harga diri, Ness. Kamu nggak akan ngerti, percuma punya banyak duit kalau cuma buat ditimbun. Dosa kamu, nggak bantuin mertua!" Mas Arfan menatapku nyalang, apa katanya dosa?!

"Aku bahkan baru sekali ini aja nggak bantu kamu, Mas. Tapi, kamu bicara seakan aku nggak pernah bantu." Miris!

Aku melipat kedua tangan di dada, jujur aku rasanya udah nggak sanggup!

"Pernikahan kita udah nggak sehat, Mas. Mending kita pisah aja!" Kata-kata itu meluncur begitu saja, mungkin aku sudah lelah.

"Loh, kenapa gitu sih, Ness? Harusnya kamu bersyukur, aku masih mau sama kamu. Walaupun kamu sampai hari ini belum bisa kasih aku anak, bahkan bisa jadi bener kata Ibu kalau kamu tuh mandul!"

Plak!!!

"Jaga bicara kamu, Mas! Aku nggak mandul, kamu mau kita tes kesehatan? Ayok, aku nggak takut!"

"Nggak usah, kamu lihat adek aku aja, keturunan dari Ibu. Dia bisa punya anak, begitupun dengan aku harusnya."

Aku makin emosi!

"Yaudah, kalau gitu kenapa kamu nikah sama aku? Kenapa kamu nggak nikah sama yang lain aja, hah?!"

Udah bilang aku mandul, sekarang bilang gitu lagi siapa yang nggak kesel?!

"Udah kita pisah aja!"

"Nggak semudah itu, Ness. Jangan hanya karena hal ini, kamu minta pisah. Semua harus dipikirkan ke depannya gimana? Kita nikah bukan sehari dua hari, udah aku mau tidur di kamar tamu. Bisa pusing aku deket sama kamu!"

Kulempar bantal tepat di pada punggungnya, saat dia akan keluar kamar. Terdengar erangan di mulutnya, "Kasar banget sih kamu, Ness?"

Bodo amat!

Kata-kata mandul, masih terngiang. Rasanya aku nggak bisa tidur, kenapa Mas Arfan harus menyakiti aku dengan ucapannya itu?

Benarkah aku ditakdirkan untuk tidak akan punya anak? Di antara milyaran manusia, kenapa harus aku?

Aku nggak tahu, apa yang dilakukan Mas Arfan di kamar tamu. Ini kali pertama kita pisah ranjang, biasanya apapun masalahnya. Dia nggak akan pergi, apa dia kena hasutan keluarganya selama di sana?

Tapi, apa?

Aku bahkan sudah siap jika harus berpisah, kalau bersama terus saling menyakiti untuk apa?

Aku memegang kepala yang terasa berdenyut, besok aku harus tetap bekerja. Aku nggak mungkin izin, dengan alasan hati sedang tidak baik-baik saja.

Aku juga weekend ada janji mau ngajakin Cassie jalan, sialan memang Direktur itu! Percuma duit banyak, tapi, nggak ada waktu buat anak!

Dipikir-pikir, Direktur itu setianya bukan main ya. Almarhumah istrinya udah lama banget meninggal, dia bahkan nggak kepikiran buat nyari pendamping lagi?

Apa susah move on ya? Kayaknya dia tipe suami yang setia, padahal lelaki seperti dia pasti banyak yang ngantri.

**

"Kamu ngajakin dia jalan, Ness? Asli? Berani banget," respon, Reina. Saat aku menceritakan perihal kejadian kemarin, dia selalu antusias.

"Siapa sangka dia mau," ucapku, sembari menyantap sarapan. Di rumah, aku males. Mas Arfan juga nggak kelihatan, entah semalam apa yang dia lakuin.

"Kalian nggak mungkin jalan berdua, pasti ada bodyguard yang ngintilin di belakang, huh."

Reina benar, Direktur nggak mungkin membiarkan anaknya pergi denganku tanpa pengawasan.

"Udah nggak papa, asal nggak ganggu dan anaknya happy, aku sih nggak keberatan." Aku kembali menyantap hidangan, sekilas teringat lagi perdebatan semalam aku dan Mas Arfan.

Padahal, aku nggak tinggal sama mertua. Tapi, bayangannya seakan terus mengikuti. Titahnya sama Mas Arfan, terus saja lelaki itu lakukan.

Bisa jadi yang ada dalam otak mereka hanya uang dan uang, seakan nggak peduli dengan apapun!

"Suntuk banget muka kamu, Ness. Kayak banyak beban," ucap Rei, yang selalu tahu.

"Ya gitu deh, pusing aja."

"Udah tinggalin aja deh, laki modelan begitu. Cuma modal tampang doang!"

Ya sih, dia juga kayak nggak kelihatan pengen beneran kerja. Cuma bolak-balik rumah Ibunya, pulang ngerengek minta duit. Harusnya kan aku yang begitu!

"Sepuluh menit lagi, Rei. Ngobrolnya kita lanjut nanti," ucapku, setelah makanan habis.

Aku nggak mau telat ke ruangan, punya boss jutek dan irit bicara tapi, suka natap tajem bikin aku males cari gara-gara.

Kami berjalan menuju ruangan masing-masing, Rei yang paling banyak bicara. Ia terus mengagumi Direktur yang katanya ganteng pooool, kayak aktor Korea.

Aku mendengarkan sebaik mungkin, sesekali tertawa. Energinya seakan nggak habis-habis, rumah tangganya pun dengan suaminya tak terlalu banyak yang berliku.

Berbeda jauh denganku, di antara milyaran manusia kenapa aku lagi yang harus mengalaminya?

Kami berpisah, Rei juga punya ruangan yang berbeda denganku. Aku masuk ruanganku tanpa menimbulkan bunyi apapun, terlebih terdengar suara Nyonya. Tumben, nggak dibawa cucunya.

"Ada begitu banyak wanita di dunia ini, kenapa kamu begitu sulit membuka hati?" Aduh, aku nggak enak. Kenapa aku malah harus mendengarkan juga sih?

Aku menghela nafas panjang, posisiku memang di luar ruangan Direktur. Tapi, sangat dekat dengan pintu masuknya. Jadi, apapun bisa terdengar di sini.

Ahhh, salah sendiri. Kenapa aku malah di tempatkan di sini?

"Kamu udah sering gonta-ganti Sekretaris, itu karena mereka menaruh rasa sama kamu. Nggak yang single nggak yang udah punya suami, semua kamu abaikan. Mama heran," ucapnya lagi, yang masih bisa kudengar jelas.

Lagian tuh para wanita, harus banget sih ngejar Pak Direktur?

Ya emang sih, siapa yang nggak tertarik? Cuma ya aku sadar, aku udah punya suami. Udah gitu juga, tuh Direktur orangnya nyebelin. Kayaknya nggak akan cocok buat dijadiin suami, buktinya istrinya aja sampai meninggal.

Astagfirullah!

Ya walaupun aku nggak tahu penyebab jelasnya tuh apa?

"Mama nggak mau tahu, kamu harus segera nikah. Biar kamu ada yang ngurus, biar Cassie juga ada temennya."

"Aku nggak bisa, Ma. Tolong, jangan paksa aku kayak gini. Ini di kantor, si Sekretaris itu pasti denger semuanya," tebaknya, yang memang benar tepat sekali.

Yeyy, salah sendiri. Lagian, masa aku harus pergi dulu? Ke mana coba? Orang-orang aja udah mulai kerja, kok.

Kalau aku nemuin Reina, yang ada malah gosip lagi kerjaan nggak kelar!

"Menurutmu, Sekretarismu yang baru itu menarik atau tidak?"

Hah? Kenapa jadi bawa-bawa aku sih? Nggak suka deh!

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Merebut Hati Sang Direktur    Menarik Atau Tidak?

    Merebut Hati Sang Direktur (5)***"Masih sore, udah tidur aja kamu, Mas." Aku mengendikan bahu, ia tampak membelakangiku. Capek kali ya, abis acara tujuh bulanan? Pasti badan remuk, mungkin acaranya lebih mirip ke pesta nikahan kalau aku nggak salah nebak."Kasihan aku sama Ibu, abis acara bukannya seneng. Utang malah di mana-mana," katanya, membuatku terkikik pelan. "Kamu seneng, Ness? Bisa-bisanya!""Ya gimana nggak? Aku bahkan udah pernah bilang, tujuh bulanan tuh biasa aja. Nggak usah yang heboh gimana-gimana," sahutku, merasa puas mendengarnya.Andai aku ada di acara itu, setidaknya aku bisa menyaksikan wajah-wajah keluarga Mas Arfan yang panik, hahhahaa."Ini soal harga diri, Ness. Kamu nggak akan ngerti, percuma punya banyak duit kalau cuma buat ditimbun. Dosa kamu, nggak bantuin mertua!" Mas Arfan menatapku nyalang, apa katanya dosa?!"Aku bahkan baru sekali ini aja nggak bantu kamu, Mas. Tapi, kamu bicara seakan aku nggak pernah bantu." Miris!Aku melipat kedua tangan di d

  • Merebut Hati Sang Direktur    Rencana Jalan Bareng

    Merebut Hati Sang Direktur (4)***"Oh really? First time loh, anaknya Pak Direktur mau diatur begitu." Reina tampak antusias, usai mendengar penuturanku pagi ini."Maybe, dia lagi capek aja nggak sih? Kemarin tuh aku cuma ngasih makanan yang dia suka, terus aku juga nggak banyak omong. Takut dianya nggak nyaman, dia lebih banyak main gadget sih." Aku pikir, anak kecil itu fotocopyan Bapaknya banget. Jadi akunya yang harus paham, kapan masuk. Kapan cuma diam aja ada untuk menemani, meksipun lelahnya bukan hanya di fisik aja kemarin tuh."Ness, andai aja kita berdua tuh masih single. Kita sama-sama bersaing buat dapetin hatinya Pak Direktur, aaaaaaah gemeees." Aku mendelik heran, Reina masih saja menggatal!"Dan untungnya, kamu udah punya laki! Udah deh nggak usah halu!" Capek banget tiap hari, harus ngeladenin omongan-omongan Reina yang kadang di luar nalar itu.Aku dan Reina berpisah, kembali pada ruangan masing-masing. Hari ini aku harus lebih fokus lagi, nggak peduli dengan perdeb

  • Merebut Hati Sang Direktur    Perintah Direktur

    Merebut Hati Sang Direktur (3)**"Sepet banget liat muka Direktur kita," ucap Reina sembari berjalan menuju kantin."Udah biasa itu, kenapa juga masih dibahas?" Aku tak mau ambil pusing, yang penting kerjaan beres gaji lancar."Ya iya sih, Nes. Padahal dia itu cakep pake banget, tinggal ditambahin senyum dikit bikin cewek tambah klepek-klepek." Aku terkikik, Reina ini ada-ada saja.Aku nggak mau bikin masalah apapun sama Direktur yang satu itu, juteknya memang bikin kesel. Jangan lupa dia juga terus bergonta ganti Sekretaris, dan sepertinya aku yang paling lama menghuni tempat itu."Aku sih sampai hari ini masih heran sama kamu, Nes." Usai memesan kami duduk di kursi paling ujung, menikmati suasana istirahat."Heran kenapa?""Kamu nggak ada rasa tertarik gitu sama Sang Direktur? Udah cakep, tajir, duda, ya walaupun ada anak sih satu. Tapi, bisalah diatur." Dahiku mengernyit bingung, lagi-lagi Reina mempertanyakan hal yang sama."Kalau kamu suka, yaudah suka aja sendiri, Rei. Nggak us

  • Merebut Hati Sang Direktur    Mertua Kecewa!

    Merebut Hati Sang Direktur (2)***"Tadi Ibu bilang, katanya kamu nggak usah hadir di acara tujuh bulanannya Mila!"Degh!Apa-apaan ini?!"Ibu terlanjur kecewa sama kamu, Nes. Sebagai menantu kamu dinilai nggak bisa membahagiakan hati mertua!" Aku meneguk ludah, apakah aku berkewajiban membahagiakan hati mertua hingga harus membuat tabunganku melorot?!Aku menghela nafas panjang. Jadi, aku betul-betul tak diinginkan di acara tersebut?!"Baik, jika itu yang Ibu inginkan. Aku nggak akan datang," sahutku, kembali menikmati tontonan televisi yang sedang berlangsung.Jantungku berdegup lebih kencang. Sejujurnya aku ingin marah, semarah-marahnya. Namun, energiku sudah habis. Kerjaan di kantor, dan beban yang begitu berat. Membuatku tak ingin kembali menguras tenaga!"Kamu tahu? Ibu, sampai harus minjem ke rentenir demi keberlangsungan acara Mila. Hal yang sebelumnya nggak pernah Ibu lakuin," ucapnya lagi, dengan nada yang mulai meninggi. Dahiku mengernyit, oooh jadi beliau sampai segitunya

  • Merebut Hati Sang Direktur    Menolak Bayar Barang CO!

    Merebut Hati Sang Direktur***"Transfer aja, Bun. Kasian," ucap suami, yang membuat darahku makin mendidih!Transfer dari Hongkong!Dipikir nyari duit gampang!Nganggur aja banyak gaya!"Ya itu, kamu punya duit nggak?" Itu kan adeknya, ya kali harus aku juga yang bayarin!"Adekku ya adek kamu juga, Bun. Jangan pelit-pelit ah, kita ini suami istri. Kamu wajib bantu keluarga aku," katanya lagi, yang membuatku bertambah mual."Ok, dia emang adekku juga. Tapi, si Mila ini udah nikah. Ya dia mintalah sama suaminya, jangan ke aku teruuuus!" Aku berdecak kesal, dipikir aku banting tulang pagi pulang malem buat ngehidupin mereka?!"Tapi, suaminya itu belum kerja, Bun. Ayolah, itu barang CO jumlahnya cuma ratusan, nggak akan sebanding sama gaji kamu.""Gak peduli! Aku nggak mau bayarin barang CO si Mila, urus aja sama suaminya. Kenapa aku yang dikejar terus? Kalau kamu kerja, dan kamu yang mau bayarin silakan!"Aku bangkit, lama-lama begini membuat hidupku menjadi tak nyaman. Dari mulai Ibuny

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status