Home / Romansa / Merebut Suami Kakakku / 2. Keegoisan Seorang Kakak

Share

2. Keegoisan Seorang Kakak

Author: Marssky
last update Last Updated: 2025-11-18 11:52:14

Kudengar ketukan pelan dari luar pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus air mata yang masih menempel di pipi, lalu menoleh ke arah pintu.

“Siapa?” tanyaku, suaraku terdengar parau setelah terlalu lama menangis.

“Ini, Kakak…”

Begitu mendengar suaranya, aku segera bangun dari tempat tidur. Tatapanku datar mengarah ke pintu. “Kenapa ke sini?” tanyaku dingin.

“Kakak boleh masuk? Kakak mau bicara sebentar,” ucapnya lembut.

Sebenarnya, aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kakak tidak pernah memarahiku seperti Ibu. Dia tipe yang pendiam, kami hanya akan bertegur sapa jika kebetulan bertemu di luar.

Di rumah pun, kami jarang berbicara. Sepulang kerja, kakak akan langsung masuk ke kamarnya, begitu juga aku. Kami biasanya hanya bertemu di meja makan, itupun dalam diam, tak ada yang berani memulai pembicaraan.

Aku selalu takut Ibu marah jika melihatku bicara dengan kakak. Ibu melarangku untuk terlalu dekat dengannya. Itu sebabnya kami tidak pernah benar-benar akrab. Dan baru kali ini kakak datang ke kamarku.

Mungkin ia ingin menjelaskan alasan sebenarnya kenapa ia menerima pernikahan itu. Aku memang menunggu penjelasan darinya.

“Iya,” jawabku singkat.

Kakak membuka pintu perlahan, seolah takut membuatku terkejut. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, lalu menutup pintu di belakangnya. Untuk sesaat, ia hanya berdiri di sana, seperti sedang mencari keberanian untuk mulai bicara.

“Aku… sebenarnya bingung mau mulai dari mana,” katanya akhirnya, suaranya terdengar ragu.

Aku hanya menunduk tanpa menjawab. Aku tidak ingin terlihat terlalu berharap, tapi jujur aku ingin tahu segalanya.

Kakak menarik napas pelan. “Maaf… kalau keputusan kakak hari ini buat kamu terluka.”

Kalimat itu membuat dadaku terasa sesak. Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang kembali naik.

“Kakak nggak pernah bermaksud nyakitin kamu,” lanjutnya. “Kakak cuma… terjebak.”

Aku mengangkat wajah perlahan, menatapnya. “Terjebak gimana?”

Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam gelisah. “Kakak menerima lamaran itu bukan karena mau… tapi karena Kakak nggak punya pilihan lain.”

Hatiku mencelos. “Nggak punya pilihan? Kenapa? Siapa yang maksa?”

Kakak menghembuskan napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang tampak lelah, lebih lelah dari yang pernah kulihat.

“Ibu,” jawabnya lirih. “Kakak disuruh… dan Kakak nggak bisa nolak.”

Aku tertekeh miris, dan perlahan air mataku kembali jatuh. Sudah kuduga, semua ini pasti ulah Ibu. Kakak yang sejak dulu selalu menuruti kemauannya tentu tidak punya pilihan selain mengikuti rencana itu.

Aku pun sama. Aku tidak pernah benar-benar bisa memberontak. Aku sadar diri… aku memang tidak diinginkan di rumah ini.

Andai aku mengatakan bahwa Mas Daren adalah kekasihku, lalu memohon pada Ibu untuk membatalkan perjodohan itu, Ibu pasti tetap menolak. Bahkan mungkin ia akan mempercepat pernikahan mereka, hanya untuk memastikan aku lebih terluka.

Seperti itulah kebencian Ibu terhadapku, seakan ia tidak ingin melihatku merasakan sedikit pun kebahagiaan.

“Kakak minta maaf…!”

Aku merasakan elusan halus di punggungku. Saat kudongakkan kepala, kakak sudah duduk di sampingku. Tangisku justru semakin pecah. Aku menepis tangannya dan menatapnya tajam.

“Kakak egois! Kakak nggak ngerti perasaan aku!” teriakku tepat di depan wajahnya. “Seharusnya kakak menolak perjodohan itu! Kakak tahu Mas Daren itu pacarku. Tapi kakak cuma pasrah. Harusnya kakak bisa bujuk Ibu buat batalin semuanya! Selama ini Ibu selalu nurutin kemauan kakak. Bukan nggak mungkin Ibu bakal nyerah kalau kakak bilang nggak mau. Kecuali… memang kakak yang menginginkan pernikahan ini.”

Kakak langsung menunduk. Ia diam, tak membela diri sedikit pun. Dan itu membuat hatiku semakin jatuh.

Berarti benar… Kakak juga menginginkan pernikahan itu. Kakak menyukai Mas Daren.

“Kakak suka, ya… sama Mas Daren?” tanyaku lirih namun penuh tekanan, ingin memastikan semuanya.

“Maaf…”

Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Satu kata yang membuatku kembali tertegun dan tertawa miris di antara air mata.

Tentu saja. Pantas setiap kali mereka bertemu, kakak selalu tersenyum malu-malu. Ternyata ia memang punya perasaan pada pacar adiknya sendiri. Dan aku… selama ini dibodohi.

“Keluar! Keluar dari kamarku!” teriakku sambil menunjuk pintu. “Cepat keluar!”

Yang tak kusangka, kakak justru jatuh berlutut di hadapanku dan memegang kakiku erat-erat. “Maaf… maafkan Kakak…”

Aku terkejut, mundur sedikit karena tak percaya melihatnya seperti itu.

“Apa-apaan sih, Kak?!”

“Kakak nggak ada niat merebut Mas Daren dari kamu… Kakak cuma—”

“Kak, lepas…!” teriakku berusaha menarik kakiku dan mencoba bangkit.

Namun sebelum aku sempat berdiri, pintu kamarku tiba-tiba terbuka dengan keras. Ibu dan Ayah masuk, dan langsung menyaksikan seluruh kejadian itu.

Raut wajah Ibu langsung berubah murka. Tubuhku refleks menegang, tak sempat bergerak atau bicara. Ia berjalan cepat ke arahku dan

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Kelopak mataku bergetar menahan sakit, sekaligus terkejut karena Ibu melakukannya tanpa ragu sedikit pun.

Tamparan itu membuat kepalaku terhempas ke samping. Pipiku panas, rasanya berdenyut seperti terbakar. Untuk beberapa detik aku hanya bisa terpaku, tidak mampu bernapas dengan benar.

“Kamu itu nggak tau diri!” bentak Ibu, suaranya bergema memenuhi kamar. “Berani-beraninya kamu membentak kakakmu seperti itu?!”

Aku masih memegang pipiku, menunduk, berusaha menahan getaran di tubuhku. Kakak yang masih berlutut di lantai menatapku dengan mata membesar, jelas terkejut dengan tindakan Ibu.

“A-aku cuma—”

“Diam!” Ibu memotong kata-kataku dengan nada tajam yang membuatku otomatis menggigit bibir.

Ayah maju beberapa langkah, wajahnya cemas namun tetap menahan diri. “Bu, sudah… jangan pakai tangan.”

Ayah mencoba menyentuh lengan Ibu, tapi Ibu menepisnya dengan kasar.

“Jangan ikut campur! Ini anak kurang ajar perlu diajarin sopan santun!”

Ibu kembali menatapku tajam. “Kamu menuduh kakakmu macam-macam, bilang dia merebut pacarmu?! Dasar pembuat masalah!”

“Aku nggak bohong…” suaraku hampir tak terdengar, tapi Ibu langsung mendelik.

“Kamu pikir lelaki itu mau sama kamu?!” katanya, tawa sinisnya menusuk telingaku. “Kamu itu cuma anak nggak tahu diri yang selalu jadi beban keluarga ini!”

Aku mengerjap cepat menahan air mata yang sudah menggenang lagi. Kata-kata itu menghujam lebih dalam dari tamparannya.

“Kakakmu jauh lebih pantas daripada kamu! Dan kamu malah berani menyuruh dia keluar dari kamar? Dari kamar yang bahkan kamu tempati cuma karena belas kasihan?!”

Kakak segera bangkit berdiri, memegang lengan Ibu. “Bu… jangan gitu. Ini salah Kakak. Kakak yang harusnya jelasin semuanya, jangan marahin adek…”

“Diam kamu!” Ibu membentak kakak pula. “Semua ini gara-gara dia! Gara-gara anak ini!”

Ayah tampak semakin gelisah. “Bu, tolong… dengarkan dulu penjelasan Alina”

Ibu sama sekali tak menghiraukan ucapan ayah. Ia tetap bergerak ke arahku lagi, wajahnya memerah karena emosi.

“Saya capek sama kamu! Selalu bikin rusuh! Selalu jadi penyebab pertengkaran di rumah ini!”

Aku mundur selangkah, punggungku menempel pada dinding. Aku tidak bisa kabur, tidak bisa bergerak. Tubuhku gemetar hebat.

Kakak menahan Ibu, kedua tangannya menggenggam lengan Ibu agar tidak mendekatiku. “Bu, berhenti! Please… Kakak yang salah. Jangan salahin adek…”

Namun Ibu meronta, tetap berusaha mendekat. Tatapannya menusukku seperti belati.

“Seharusnya kamu tidak pernah ada di rumah ini. Seharusnya kamu menyusul ib—”

Belum sempat Ibu menyelesaikan ucapannya, suara Ayah menggema, jauh lebih keras dari sebelumnya, memotong kalimat itu dengan tegas.

“Cukup!!!”

Kamar langsung hening. Ibu menoleh dengan napas memburu, Kak Alda terdiam di tempat, dan aku ikut terpaku.

Ayah berdiri di tengah kamar, wajahnya tampak jauh lebih tegas dari biasanya.

“Kita bicarakan ini baik-baik. Sekarang.”

Ibu mendengus kesal, ia menatap tajam pada ayah

“Nggak ada yang perlu dibicarain baik-baik! Urus anak kamu itu. Aku nggak mau dia sampai mengacaukan pernikahan Alda dan Daren.”

Tanpa menunggu jawaban, Ibu langsung pergi, menarik tangan Kak Alda keluar dari kamarku.

Kini hanya aku dan Ayah yang tersisa di kamar itu. Aku menatapnya sambil terisak, air mata masih mengalir dan menggenang di pipiku.

“Ayah…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Merebut Suami Kakakku   5. Hadiah Terakhir

    Tubuhku terdorong dan terhempas di atas kasur. Jantungku berdetak semakin kencang saat melihatnya ikut naik, merangkak perlahan mendekat. “M–mau ngapain, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar, mataku penuh ketakutan.Aku bergeser mundur, berusaha menjauh sebisa mungkin sampai punggungku menabrak dinding. Nafasku tersengal. “Mas… cukup! Jangan mendekat!” pekikku tanpa sadar, rasa panik menyelimuti seluruh tubuhku.Mas Daren sama sekali tak menghiraukan teriakanku. Ia tetap mendekat dengan tatapan tajam yang terasa mengancam.“Akh—!” aku terpekik ketika pergelangan kakiku ditarik, membuat tubuhku terjatuh dan terlentang di atas kasur tanpa sempat menahan diri.Dalam hitungan detik, Mas Daren sudah berada tepat di atasku. Kedua tangannya bertumpu di sisi kepalaku, membuat tubuhnya membentuk bayangan besar yang menutup ruang gerakku.Mas Daren menunduk sedikit, napasnya jatuh di wajahku, terasa panas, membuat seluruh tubuhku menegang dengan kedua lengan yang masih mengurungku.“Mas… kamu bi

  • Merebut Suami Kakakku   4. Akhir Hubungan?

    Awalnya ia hanya diam. Beberapa menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya, hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang bergetar.“Aku… terpaksa, Sayang. Ayah mengancamku. Dia bilang akan memisahkan aku dari Ibu… bahkan akan melukai Ibu kalau aku menolak perjodohan ini.” Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat. “Kamu tahu kan… Ibu adalah segalanya buat aku. Aku sudah pernah cerita, keluargaku nggak harmonis karena Ayah yang temperamental. Dia nggak akan segan-segan menyakiti Ibu kalau sedang marah.”Aku terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Suaranya, ekspresinya, cara kedua bahunya sedikit bergetar, semuanya terlihat begitu menyedihkan. Tapi entah kenapa, hatiku tetap terasa perih.“Lalu… kenapa Kakak?” tanyaku pelan, menahan getir yang hampir merayap ke suaraku. “Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus kakakku sendiri?”Mas Daren menghela napas panjang, terdengar seperti seseorang yang sudah lama menahan beban.“Karena Ayah yang memil

  • Merebut Suami Kakakku   3. Berpindah Hati?

    Setelah Ayah keluar dari kamarku, aku langsung mengurung diri. Aku tidak keluar sama sekali, bahkan ketika Ayah datang lagi mengetuk pintu, memanggilku untuk makan malam. Aku menolak dan bilang kalau aku sudah kenyang.Di dalam kamar, aku hanya duduk melamun, menunggu pesan dari Mas Daren, menunggu penjelasan dari pria itu. Aku masih penasaran, masih tidak bisa menerima kenyataan kenapa Mas Daren tega melakukan ini padaku. Mengkhianatiku dengan melamar kakakku sendiri.Kalaupun benar Mas Daren sudah berpindah hati, setidaknya ia harusnya memutusan hubungan kami lebih dulu. Bukan seperti ini dan malah menyakitku.Pikiranku terus berputar, memutar ulang setiap momen kami. Kata-katanya, senyumnya, caranya menggenggam tanganku, semuanya terasa seperti kebohongan besar sekarang. Apa selama ini ia hanya berpura-pura? Atau ada sesuatu yang berubah tanpa aku sadari?Aku meraih ponselku lagi. Layar itu kosong, tak ada satu pun pesan darinya. Setiap detik yang berlalu membuat dadaku semakin ses

  • Merebut Suami Kakakku   2. Keegoisan Seorang Kakak

    Kudengar ketukan pelan dari luar pintu kamarku. Dengan cepat kuhapus air mata yang masih menempel di pipi, lalu menoleh ke arah pintu.“Siapa?” tanyaku, suaraku terdengar parau setelah terlalu lama menangis.“Ini, Kakak…”Begitu mendengar suaranya, aku segera bangun dari tempat tidur. Tatapanku datar mengarah ke pintu. “Kenapa ke sini?” tanyaku dingin.“Kakak boleh masuk? Kakak mau bicara sebentar,” ucapnya lembut.Sebenarnya, aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kakak tidak pernah memarahiku seperti Ibu. Dia tipe yang pendiam, kami hanya akan bertegur sapa jika kebetulan bertemu di luar.Di rumah pun, kami jarang berbicara. Sepulang kerja, kakak akan langsung masuk ke kamarnya, begitu juga aku. Kami biasanya hanya bertemu di meja makan, itupun dalam diam, tak ada yang berani memulai pembicaraan.Aku selalu takut Ibu marah jika melihatku bicara dengan kakak. Ibu melarangku untuk terlalu dekat dengannya. Itu sebabnya kami tidak pernah benar-benar akrab. Dan baru kali ini kakak da

  • Merebut Suami Kakakku   1. Kejutan yang Menyakitkan

    “Ada acara apa ya, Pak Agung? Kenapa di depan rumah banyak mobil?” tanyaku pada sopir pribadiku.Jam satu siang, aku baru pulang kuliah dan langsung melihat banyak mobil terparkir di depan rumah. Termasuk mobil milik kekasihku. Aku benar-benar tidak tahu ada acara apa di dalam, karena kedua orang tuaku maupun kakakku tidak memberi tahu apa pun.“Bapak juga nggak tahu, Neng… Tapi sebelum berangkat jemput, Bapak melihat Mas Daren datang bersama keluarganya.”Senyumku langsung merekah mendengar ucapan Pak Agung. Apa Daren datang untuk melamarku? Tapi kenapa cepat sekali? Bukannya dia bilang akan datang setelah aku lulus?Daren pernah bilang bahwa ia akan datang ke rumah bersama orang tuanya setelah aku lulus kuliah. Sementara sekarang aku masih dalam tahap menyusun skripsi, bahkan belum tahu kapan aku akan lulus. Jadi kenapa Daren tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar apa pun?Apa ini sebuah kejutan darinya? Hatiku langsung meletup membayangkannya. Dengan cepat aku keluar dari mobil dan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status