Share

Mencoba Tegar

Nayna betul-betul pulang dengan berjalan kaki. Tak ada yang peduli untuk sekadar menahannya atau mungkin menawarkan payung. Ibu dan adik adik-adik Mas Bagus tak acuh saat ia bilang akan pulang.

Sandal jepitnya sudah hampir putus. Rasanya matahari tepat berada di atas kepalanya. Nayna bahkan tak pernah lagi memikirkan apakah kulitnya yqng putih akan gosong atau lecet.

Tidak apa. Dia bisa punya waktu memikirkan masalah rumah tangganya. Meskipun merasa marah, Nayna tak bisa melampiaskannya kepada keluarga Mas Bagus. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri bersama lelaki itu.

“Eh, Neng Nayna. Kok jalan sendirian di siang bolong begini? Nggak kepanasan?”

Motor Bang Jali ternyata sudah berhenti beberapa menit yang lalu di samping Nayna. Sepertinya lamunannya sudah terlmpau jauh sampai baru menyadari keberadaan tukang ojek tinggi berwajah sedikit sangar itu.

Nayna memberikan senyum. “Iya, Bang. Habis dari rumah Ibu.”

“Rumah mertua?” Bang Jali langsung mengerti saat itu juga.

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana perlakuan ibu Bagus terhadap Nayna, menantunya. Orang-orang seperti Bang Jali yang tidak suka bergosip dan mungkin tidak pernah mendengar ibu Bagus menjelek-jelekkan Nayna di depan banyak orang akan merasa kasihan. 

“Sini biar saya antar, Neng.” Bang Jali menyerahkan helm kepada Nayna.

Nayna menunduk malu. Dari mana dia bisa membayar ongkos ojek? “Tidak usah, Bang. Saya jalan kaki aja, sudah dekat kok.”

“Waduh jangan gitu, Neng. Saya nggak tega liatnya. Pangkalan ojek dan rumah Neng Nayna 'kan searah.”

“Saya … nggak bisa bayar, Bang.”

“Loh nggak usah. Searah kok. Sini naik, Neng.”

Di antara perasaan malu itu, Nayna terenyuh.

Di tengah-tengah masalah hidup yang memberondongnya, Allah masih memberikan orang-orang baik sebagai penolong.

Dalam hati Nayna mengucap syukur berulang kali. Setidaknya kebaikan hati Bang Jali memberinya kekuatan untuk kembali berjuang hari ini.

Sesampainya di rumah sewa yang sudah dia tinggali selama lima tahun, Nayna mengucapkan terima kasih kepada Bang Jali.

Kebaikan hati yang terlihat sepele yang diberikan Bang Jali hari ini sangat berarti untuknya.

“Jangan sungkan, Neng. Kita 'kan sekampung.”

Bang jali yang memiliki luka codet di leher itu kembali menaiki motornya dan meninggalkan rumah Nayna.

Nayna bergegas masuk ke rumah, namun berhenti ketika menemukan sandal lain di depan teras. Gorden jendela terbuka dan rumah tampak bersih.

Pasti Ibu.

Saat itu jantung Nayna berdebar cepat, hatinya terenyuh sakit. Dia tidak ingin Ibu tahu perihal rumah tangganya.

Jika begini, Nayna ingin kembali saja ke rumah Ibu Mas Bagus. Dia belum siap bertemu Ibu.

Tapi pintu malah terbuka sebelum Nayna sempat memutar tubuh. Sosok Ibu dalam balutan daster panjang dengan senyum hangat membuat hati Nayna berkali-kali lipat lebih sakit.

Dia ingin menerjang masuk ke pelukan Ibu dan menangis sejadi-jadinya, tapi dia kemballi memikirkan jika dia sudah dewasa dan tak lagi boleh membebankan Ibu dengan semua masalahnya.

“Nayna? Kok berdiri di situ, Nak? Sini masuk.” Suara lembut itu seperti listrik yang menyetrum kesadaran Nayna. Dia ignin melarikan diri sekarang juga.

Nayna melangkah pelan mendekati Ibu. Tangan perempuan berusia lima puluhan itu terentang lalu menarik Nayna ke dalam pelukannya.

'Tahan, Nay. Kamu nggak boleh nangis.'

Betapa sentuhan Ibu yang hangat dan memenuhi diri Nayna membuat wanita itu mati-matian menahan air mata yang sudah mendesak. 

“Ayo masuk sini. Habis dari mana?” 

Nayna menunduk sambil memasuki rumah. Sama seperti keadaan di luar rumah yang bersih, kondisi di dalam rumah juga sama.

Rupanya Ibu sudah membersihkan semuanya dan bahkan mengerjakan semua pekerjaan yang ditinggalkan Nayna salama dua hari ini.

“Ibu nggak perlu melakukan ini. Baru sampai sudah kerja-kerja begini. Harusnya Ibu istirahat aja, biar aku yang kerjakan.”

“Memang kenapa rumah kamu berantakan? Lipatan baju sama piring numpuk. Ada urusan ya?”

Nayna bahkan tak mendapati nada sinis dalam setiap ucapan Ibu. Raut mukanya memaklumi. Hal yang tak pernah sedikit pun Nayna dapatkan dari ibu mertuanya.

“Iya, Bu.”

“Ya udah, sini makan dulu.” 

Nayna mengangkat alis terkejut ketika Ibu membawanya ke dapur dan membuka tudung di atas meja. Sudah ada lauk masakan Ibu. ikan bakar dan tahu yang digoreng setengah matang. Kesukaan Nayna. Tak lupa dengan tumis kangkung. 

Nayna hampir tak kuasa menahan air matanya. “Aku mau ke WC dulu, Bu.”

Maka Nayna segera berlari ke WC yang tidak jauh dari dapur. Karena jika dia melanjutkan duduk di sana, air matanya akan bercucuran seperti saat ini. Ia membekap mulut agar isak tangisnya tak terdengar sampai ke luar.

Nayna sangat lelah.

Sejak dulu dia memang sudah lelah, setiap hari. Hanya saja pengkhianatan Mas bagus seolah meruntuhkan semua dinding pertahanannya. 

Nayna ingin kabur dan bersembunyi di suatu tempat.

Tapi ia sadar, umurnya yang sudah dewasa mengharuskannya untuk menghadapi semua masalah itu sendirian bukannya bersembunyi.

Nayna keluar dari kamar mandi. Ia sudah mencuci muka sebanyak mungkin dan mengatur ekspresinya sedemikian rupa.

“Loh, Ibu belum makan?”

“Nungguin kamu. Sakit perut ya?”

Nayna menarik napas ketika melihat dua piring di depan Ibu sudah terisi dengan nasi. Ibu mendorongnya ke arah Nayna ketika dia duduk berhadapan dengan Ibu di meja makan.

Nayna menahan diri untuk tak menangis—lagi.

“Gini, Nay. Kartu BPJS Ibu katanya sudah nggak aktif. Harus diaktifkan lagi. Ibu nggak ngerti caranya, kamu tolong temani Ibu besok ya?”

Nayna berusaha memberikan senyum samar kepada Ibu sambil mengambil tahu dari piring. “Iya, Bu. Obat Ibu masih ada, kan?”

“Sudah habis. Tolong anterin Ibu ke klinik ya. Di rumah sakit antriannya banyak sekali."

“Minggu ini Ibu sendirian lagi ke rumah sakit?"

“Iya, sama siapa lagi?’ Ibu mengeluarkan tawa yang terdengar parau di telinga Nayna.

Ibu punya penyakit jantung. Harus sering-sering berobat. Sejak ayah meninggal, Ibu tidak ingin merepotkan Nayna dan meminta sang putri fokus pada rumah tangganya. Dia juga tidak ingin tinggal di rumah Nayna.

Lagi pula saat Nayna membicarakan perihal memanggil Ibu tinggal bersama, kabar itu sudah sampai ke telinga Ibu Mas Bagus dan Nayna langsung diceramahi panjang lebar.

“Rumah kecil begitu mana muat ditinggali satu orang lagi! Dipikir-pikir dong! Suami kamu banting tulang mencukupi hidup kamu dan kamu seenaknya bawa-bawa beban lain."

Nayna mengigit bibir waktu itu ketika mertuanya mengatai ibu sebagai ‘beban lain’

Sungguh saat ia mengingat lagi semua perlakuan keluarga Mas Bagus, sama sekali tidak sepadan dengan semua kesabarannya ketika yang dia dapatkan adalah pengkhianatan.

“Nanti aku urusin BPJS Ibu. untuk sementara, Ibu bermalam di sini dulu ya?”

“Suami kamu nggak papa?”

“Nggak papa, Bu. Mas Bagus lagi nginap di rumah ibunya.”

Ibu mengangguk. “Nggak ngajak kamu?”

“Nggak, aku yang nolak. Aku mau menemani Ibu saja."

Lagi-lagi dia harus berbohong.

***

Dengan berat hati, Nayna meminjam uang ibu untuk ongkos ojek ke klinik. Dia sangat malu ketika Ibu mengulurkan uang untuk membayar ongkos dua ojek. 

“Nggak papa, Nak. Biar Ibu aja yang bayar.” Ibu mengulurkan selembar uang lima puluh ribu kepada dua tukang ojek. “Saya nggak ada uang kecil. Dibagi dua aja ya?”

“Iya, Bu. Nggak mau ditungguin, Bu?”

“Oh, nggak usah. Takutnya antrinya lama nanti.”

Nayna melangkah murung memasuki klinik. Dia sangat malu ketika merogoh saku blusnya dan tidak menemukan uang di sana.

Dilihatnya punggung Ibu yang semakin merosot. Ibu menderita sakit jantung dua tahun sebelum Bapak meninggal karena diabetes. Ibu juga rutin berobat dan harus setiap minggu memeriksakan diri ke rumah sakit daerah dan mengambil obatnya.

Nayna duduk di samping Ibu di ruang tunggu setelah mendaftarkan nama Ibu. setidaknya jika di klinik, mereka tidak akan menunggu lama karena antreannya tidak sebanyak saat di rumah sakit.

“Nak, besok tolong urusin BPJS Ibu ya?”

“Iya, Bu. Besok aku ke kantornya.”

*** 

Setelah mendapatkan obat, Ibu meminta Nayna mengantarnya ke pasar. Membeli banyak sayuran dan lauk pauk—untuk Nayna katanya.

Lagi-lagi Nayna menurunkan kedua alis. Dia tidak enak. Ibu seharusnya tidak memberikan terlalu banyak. Semestinya Nayna-lah yang dengan bangga memberikan uang untuk Ibu.

Mereka baru pulang saat adzan Isya berkumandang. Ibu sangat semangat sampai membeli jajanan-jajanan di pinggir jalan. Membayangkan jika seandainya Nayna sudah punya anak, maka dia akan sangat bahagia membelikan semua makanan di warung kaki lima yang mereka lewati.

Hati Nayna tercabik. Apakah bisa rumah tangganya yang retak di mana-mana itu bisa memberikan cucu untuk Ibu?

Mereka sampai di depan rumah. Nayna membantu Ibu berdiri dengan seimbang. Tampaknya Ibu kelelahan setelah menyusuri sepanjang pasar dan jalanan tempat aneka jajanan kaki lima berjejer.

Di tangan Nayna penuh dengan belanjaan. Kedua tangannya tidak mampu membawa semuanya. Masih ada beberapa kantong yang tersisa di luar halaman.

“Itu siapa, Nay? Teman kamu?”

Nayna yang sedang berusaha mengangkat semua kantung itu mengangkat wajah. Lalu terbelalak. Semua barang di tangannya terjatuh.

Ibu mengerutkan kening. “Loh kenapa, Nay? Teman lama yang baru ketemu ya?”

Bukan teman lama, tapi selingkuhan Mas Bagus.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Deltha FY SPd
bgus ceritanya sy suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status