Bagus menoleh pada Nayna lalu mendelik kesal.
“Aku sudah telat, Nay.” Ia menghampiri Nayna dengan cepat lalu merebut bungkusan di tangan sang istri. “Nggak basah ‘kan bajunya?”
Mas Bagus bahkan tak repot-repot menanyakan keadaannya yang setengah basah.
Mungkin baru kali ini Mas Bagus kesal padanya perihal pakaian, karena sejak dulu Nayna selalu mengurus pakaian Mas Bagus dengan baik. Jika ia mengambek dan pulang ke rumah ibunya pun tidak sampai berhari-hari. Biasanya hanya semalam dan akan pulang besok paginya.
“Kenapa terlambat kamu! Saya bilang ‘kan cepetan.” Kedua alis Ibu yang rapi hasil sulaman bergerak-gerak seiring dengan matanya yang melotot-lotot. Sanggup membuat Nayna ciut.
“Tadi hujan deras banget, Bu.”
“Aduh, pantas baju kamu basah. Airnya nggak kena lantai, kan? Barusan habis saya pel loh!”
“Maaf, Bu.” Nayna menunduk pahit.
“Ya udah, ganti baju sana. Bagus sudah sarapan, tapi bukan berarti kamu boleh santai! Di dapur banyak piring. Kamu habis liburan ‘kan di rumahmu nggak ngerjain apa-apa?”
Nayna menatap lantai dengan sayu. Berulang kali kata sabar itu mampir di benaknya seperti mantra.
Ia mengikuti Mas Bagus masuk ke kamar paling ujung. Di sana ada beberapa daster yang ia tinggalkan manakala jika sedang menginap di rumah Ibu.
Sedang Mas Bagus membelakanginya untuk memakai pakaian. Sama sekali tak terlihat tanda-tanda rasa bersalah dari sikapnya.
“Mas?” panggil Nayna. Dia hanya ingin bicara dengan laki-laki itu.
Ia selalu mengingat nasehat Bapak bahwa semua permasalahan dalam rumah tangga bisa diatasi dengan komunikasi yang baik.
Apapun masalahnya, diskusikan dengan pasanganmu agar tidak terjadi kesalahpahaman karena kita sangat suka mengambil kesimpulan sendiri tanpa tahu sudut pandang dari pasangan.
Mungkin karena itu, rumah tangga Bapak dan Ibu langgeng dan hanya maut yang memisahkan mereka.
Mas Bagus berbalik setelah pakaiannya terpasang sempurna. “Apa?” Lelaki itu memberikan tatapan datar kepada Nayna.
“Aku ingin kita bicara?”
Serta merta kening Mas Bagus berkerut dan raut wajahnya menjadi masam.
“Bicara apa sih? Kamu yang nggak mau dengar penjelasan aku waktu itu, tapi kenapa sekarang kamu yang ngotot bahas masalahnya?”
Nayna maju dengan langkah gontai. Hatinya mulai meradang. “Aku melihat kamu di kamar hotel dengan perempuan lain tanpa pakaian, Mas. Seharusnya kamu memberikan penjelasan atau minta maaf bukannya bersikap seperti anak kecil begini.”
“Apa? Anak kecil? Yang kabur dari hotel dan nggak mau mendengar aku itu kamu! Aku cuma pulang ke rumah ibuku untuk menenangkan diri. Kamu pikir cuma kamu yang tersakiti di sini?”
“Kamu juga tersakiti? Dari mananya?” Nayna menatap tidak habis pikir. “Aku yang kamu selingkuhi!” Sebisa mungkin ia pelankan suaranya, tak ingin terdengar sampai ke luar.
Mas Bagus terdiam dengan sorot mata yang teramat kesal. Ia mendengus sebelum melirik arlojinya. “Aku sudah terlambat!” Ia mengambil tas kerjanya di atas ranjang lalu keluar kamar dengan derap langkah marah.
Terkadang Nayna tidak tahu cara mendiskusikan masalah dengan Mas Bagus. Lelaki itu tak pernah ingin mengaku salah. Masalah akan selesai jika Nayna mendiamkannya dan bertingkah seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
Mas Bagus tidak ingin menjadi orang yang bersalah. Dia hanya diam jika melakukan kesalahan dan balik menyalahkan Nayna jika Nayna sudah mengungkit kesalahannya.
Nayna biasanya memakai cara ampuh dengan diam dan memaafkan kesalahan-kesalahan kecil lelaki itu. membiarkan permasalahan di antara mereka selesai begitu saja tanpa diskusi.
Tapi kali ini, masalah yang menyangkut kesetiaan rumah tangga mereka tak bisa diselesaikan dengan diam saja dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
Nayna perlu tahu alasan Mas Bagus menduakannya.
***
Nayna mengerjakan semua pekerjaan yang diminta oleh ibu mertuanya, ralat ibu Mas Bagus itu tidak pernah meminta, tapi menyuruhnya dengan paksa.
Semua sudut rumah Ibu sudah rapi dan kinclong ketika Randy, adik Mas Bagus yang pengangguran keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan hanya memakai boxer.
Lelaki berumur dua puluh dua tahun itu mengambil air di dispenser dan tak peduli saat air dari gelasnya tumpah-tumpah dalam langkahnya menuju meja makan. Lantai yang sudah Nayna bersihkan kembali basah.
Nayna menghela napas.
Randy membuka tudung saji lalu merosotkan bahu lemas. “Kok tempe, Bu!”
Ibu yang sedang membereskan kamar Randy berteriak dari dalam kamar. “Ayam yang Ibu beli kemarin dimakan sama mas kamu! Udah makan itu aja!”
Nayna bersyukur Ibu tidak menyuruhnya membereskan kamar bujang pengangguran satu itu karena di dalam sana sangat berantakan dan menguarkan bau tidak sedap, persis seperti aroma kakek-kakek jompo pesakitan.
Nayna mengintip di balik pintu kamar Randy. “Bu, saya pulang dulu ya. Semuanya sudah saya kerjakan.”
Ibu yang sedang memukul-mukul kasur dengan sapu lidi menatapnya heran. “Lho, nggak nungguin Bagus pulang? Gimana sih! Kan saya bilang suami itu mesti dibujuk-bujuk, dirayu-rayu, dimanjain. Gimana bisa punya anak kalau kamu nggak peduli begitu?”
Diam-diam Nayna menarik napas mencoba lebih sabar. Dia yang diselingkuhi kenapa dia yang harus membujuk Mas Bagus?
“Lebih baik sekarang kamu pergi belanja, beli ayam dan sayur, masakin buat suami kamu nanti kalau pulang kantor. Dia pasti capek.”
Nayna menunduk. “Saya nggak punya uang lagi, Bu.” Cuma tersisa ongkos untuk pulang.
Tahu-tahu Ibu menghempaskan sapu lidi ke atas kasur dengan kasar sampai Nayna terlonjak kaget.
“Gimana sih kamu! Kamu apakan gaji suami kamu? Ya pinter-pinter ngaturnya! Jangan dibelikan yang macam-macam. Terus sekarang gimana? Mau belanja pake apa kamu?”
Belum sempat Nayna membalas perkataan Ibu, Randy sudah menengadahkan tangan di sampingnya.
“Bu, aku mau beli kuota. Abis nih.”
Ibu mencebik. “Ibu nggak punya uang! Tahan dulu sampai mas-mu pulang.”
Lalu meminta uang lagi pada Mas Bagus? Nayna sangat yakin pegangan Mas Bagus juga sudah habis, malah seringkali lebih dulu habis ketimbang uang yang dipegang Nayna.
“Ya elah, Bu. Masih lama pulangnya. Ini baru jam satu. Mau push rank lagi nih.”
“Kamu itu! Game mulu kerjaannya. Cari kerja sana!”
“Iya nanti, santai aja. Nanti juga dapet kerja kok. Mana uangnya, Bu?”
“Udah Ibu bilang nggak ada.”
“Waduh. Mbak, ada duit nggak?” Dengan tidak tahu malunya, Randy balik menengadahkan tangan pada Nayna.
Nayna menggeleng. “Nggak ada, Ren.”
“Yah, gimana sih nggak ada semua.” Randy menggaruk kepala. “Sepeser pun nggak ada?”
Nayna tak menjawab.
“Kamu ke sini pake apa?” tanya Ibu, wajah glowing berminyak hasil skincare-nya masih saja bengis.
“Ojek, Bu.”
“Nah, tuh kan ada. Pelit banget kamu. Gaji suami mau dihabisin sendiri!”
“Adanya cuma sepuluh ribu, Bu. Untuk ongkos pulang nanti. Aku nggak bisa jalan kaki, panas banget di luar.”
Matahari sedang terik-teriknya dan Nayna yakin sandal jepitnya yang hampir putus benar-benar akan putus saat ia sampai rumah.
“Aduh! Bilang dong kalau masih ada! Mana sini.” Ibu menodongkan tangan.
Dengan berat hati Nayna mengeluarkan selembar uang dari dalam saku dasternya.
“Sepuluh ribu mana cukup, Bu?”
“Diem aja kamu! Cari sisanya di kamar mas-mu sana. Mana tahu ada yang keselip.
Ibu merebut uang lecek yang masih ada dalam genggaman Nayna, lalu memberikannya kepada Randy. “Nih!”
Randy menerima dengan wajah masam dan masuk ke kamar Mas Bagus.
Padahal sedikit pun Nayna tak pernah menggunakan gaji Mas Bagus untuk keperluannya sendiri. Setengah dari gaji lelaki itu selalu Ibu ambil, tak jarang Randy dan adik Mas Bagus yang masih SMP meminta uang kepada mas mereka.
Nayna selalu tak habis pikir.
Ia hanya bisa tersenyum kecut memikirkan nanti dia akan pulang dengan berjalan kaki lagi.
Nayna betul-betul pulang dengan berjalan kaki. Tak ada yang peduli untuk sekadar menahannya atau mungkin menawarkan payung. Ibu dan adik adik-adik Mas Bagus tak acuh saat ia bilang akan pulang.Sandal jepitnya sudah hampir putus. Rasanya matahari tepat berada di atas kepalanya. Nayna bahkan tak pernah lagi memikirkan apakah kulitnya yqng putih akan gosong atau lecet.Tidak apa. Dia bisa punya waktu memikirkan masalah rumah tangganya. Meskipun merasa marah, Nayna tak bisa melampiaskannya kepada keluarga Mas Bagus. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri bersama lelaki itu.“Eh, Neng Nayna. Kok jalan sendirian di siang bolong begini? Nggak kepanasan?”Motor Bang Jali ternyata sudah berhenti beberapa menit yang lalu di samping Nayna. Sepertinya lamunannya sudah terlmpau jauh sampai baru menyadari keberadaan tukang ojek tinggi berwajah sedikit sangar itu.Nayna memberikan senyum. “Iya, Bang. Habis dari rumah Ibu.”&ldqu
Semua kantung belanjaan Nayna terjatuh. Dia membeku. Luar biasa kaget ketika perempuan yang berdiri angkuh di teras itu menyorotnya dingin.Nayna ingat betul wajah perempuan yang ia dapati bersama Mas Bagus di dalam kamar hotel. Wajah yang tirus dan mulus, tubuh yang ramping dan tinggi bak model. Rambut lurus berkilau. Sekilas mirip aktris yang wara-wiri di sinetron. Semua anggota tubuhnya terawat dengan baik, tidak seperti Nayna.Apa karena itu Mas Bagus berpaling? Karena rupa yang lebih indah?“Nay? Kok belanjaannya sampai jatuh? Sini biar Ibu saja, temun teman kamu sana.”Ingin rasanya Nayna berteriak bahwa perempuan itu bukan temannya. Dia temannya Mas Bagu—-teman tidur.Kenapa dia datang ke sini?“Biar aku saja, Bu.” Nayna membereskan semua belanjaannya dan meletakkannya di teras. Dalam waktu yang cukup lama, ia terpaku berhadapan dengan perempuan yang sedang bersedekap dingin itu.“Temannya di
“NAY!!” Vina berteriak parau saat melihat Nayna tersungkur di atas aspal. Dia tidak habis pikir mengapa Nayna sampai memohon-mohon kepada perempuan pelakor itu.Lalu dia melirik Ibu Nayna yang melemah dalam papahannya. Nayna melakukan semua itu untuk ibunya. Meski hati nurani Vina bisa menerima, tapi akal sehatnya tidak. Nayna tidak perlu membuang ego dan harga diri seperti itu. Vina memapah Ibu untuk menghampiri Nayna yang masih sangat terkejut di atas aspal. “Apa yang kamu lakukan, Nay? Kenapa kamu sampai—“ Ucapan Vina terpotong saat melihat luka robekan di kedua lutut Nayna, dan juga bekas air aneh di wajahnya. “Apa itu di muka kamu?” Vina melotot ngeri. “Apa itu, Nay?” Wajah dan lehernya mengeras. Nayna kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menjawab. Yang ia lakukan hanya menatap kosong aspal kasar yang sudah melukai kedua lututnya. “Nay! Sadar! Lihat ibu kamu. Ibu melihat semua yang ka
Nayna tidak menduga bahwa meskipun dia memberikan kabar mengejutkan tentang ibunya, tapi wanita paruh baya di depannya ini sama sekali tidak berubah. Ekspresi maupun nada suaranya masih sama.Bedanya Nayna tidak lagi ciut. Ia malah merasa muak, sebab dia tidak menemukan sedikit pun kepedulian di mata mertuanya itu. Setidaknya dia menanyakan di mana ibu Nayna dirawat.“Saya perlu uang seratus juta. Uang Ibu tidak cukup, jadi saya meminta tanah ini. Sertifikatnya juga ada pada Ibu, kan? Katanya waktu itu mau digadai untuk biaya kuliah Randy.”“Kamu nggak usah sok tahu, itu urusan saya sama ibu kamu. Memangnya ibu kamu nggak punya BPJS? Pakai itu aja, repot banget sih!”Subhanallah. Mengapa Nayna baru menyadari jika tabiat mertuanya seburuk ini?Dalam keadaan yang mendesak seperti ini, Nayna merasa tidak bisa menghalau semua prasangka dan pikiran buruknya.“BPJS Ibu mati. Saya mau menggadaikan sertifika
Nayna tidak punya cara lain selain menggadaikan sertifikat rumah orang tuanya. Ia kembali berhambur ke dalam rumah dan mencari sertifikat itu. Berbagai sudut sudah ia jelajahi, tapi tak jua ketemu.Napas Nayna terengah-engah. Waktunya tidak banyak, dia harus segera membawa uangnya. Maka ia membongkar semua lemari yang ada dan memeriksa setiap ruangan. Hasilnya nihil.Entah di mana Ibu menyimpan semua surat penting rumah. Nayna sangat panik, berlari keluar menuju rumah Pak RT. Ia butuh bantuan dan juga tempat sandar sebentar saja, fisik dan batinnya benar-benar lelah.Pak RT adalah teman baik Ayah dan merupakan orang yang peduli kepada kepada keluarganya. Pukul dua siang, Nayna mengetuk pintu rumah Pak RT yang sudah bergaya modern.Seorang perempuan paruh baya membuka pintu dan menemukan Nayna dengan ekspresi yang begitu gelisah.“Nayna? Lho? Ayo masuk sini.”Wanita yang perawakannya mirip dengan ibu mertuanya itu memanggil masuk
Bendera kuning berkibar di depan pagar rumah yang tidak terlalu tinggi. Orang-orang berpakaian hitam hilir mudik masuk dan keluar. Ada yang berekspresi sedih ada pula yang biasa saja, hanya sekadar hadir untuk setor muka sebagai tetangga jauh maupun dekat. Aura duka cita menyelimuti rumah luas tanpa perabot yang mewah itu. Di tengah-tengah rumah, berbaring sang ibu berselimutkan sarung dan secarik kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Nayna tak pernah mangkir dari sisinya. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan doa pengampunan. Hatinya teramat pedih. Sesak menyelimui dadanya tanpa henti dan tangisnya terus melebur. Hanya Vina yang selalu setia di sampingnya. Ada pula Pak RT dan istrinya yang selalu memberikan petuah sabar dan ikhlas. Ibu mertuanya datang sesaat sebelum Ibu dimandikan. Dengan raut datar sambil melirik ke sana kemari lalu menutup mulutnya dengan kerudung. Bersikap sedih, tapi sorot matanya sudah jelas mengungkapkan bahwa wanita itu tidak bersimpati sedikit pun.
Dengan segera Vina menghadang Nayna yang kalap, seolah hendak betul-betul menghajar Mirna.Sedang Mirna merunduk panik ketika Vina berhasil memegang gagang pel yang akan ditujukan untuknya. Dia mundur beberapa langkah untuk menjauh.“KAMU GILA YA! MAU BUNUH SAYA? SAYA LAPORIN KAMU KE POLISI YA!”Jantungnya hampir copot. Merasa lega ketika Alya dan Randy keluar dari kamar masing-masing. Mereka masih terlihat kaget dan mengantuk. Mirna segera berlari ke arah dua anaknya.“Ada apa ini, Bu? Ribut bener!”“Ini istrinya kakak kamu. Dia sudah gila karena ibunya meninggal dan melampiaskannya ke kita.”Mendengar kata ‘ibu’ dan ‘meninggal’ membuat mata Nayna kembali berapi-api. Ia mendorong Vina dan berlari memegang gagang pel untuk kembali menyerang.“HEI! MAU APA LAGI KAMU!”Mirna berlindung di belakang Randy sedang kedua anaknya itu bingung harus melak
Vina membeku. Tak pernah menyangka Nayna akan mengatakan hal semacam itu. Ia tersenyum canggung saat mengira Nayna mungkin hanya bercanda. “Eiihhh … kamu ngomong apa sih?” “Aku akan buat dia merasakan artinya dikhianati.” “Dengan merebut suaminya juga? Kenapa kamu sampai berpikir begitu?” Nayna melirik Vina sepersekian detik sebelum kembali memasang sorot mata yang datar. “Karena dia sudah mengambil segalanya dari aku. Aku juga akan membalasnya.” “Tapi kamu bakal dicap sebagai pelakor nantinya, apalagi belum lama kamu berpisah dengan Bagus. Akan ada banyak spekulasi.” “Aku nggak peduli.” Vina menghela napas. “Banyak konsekuensinya, Nay.” “Aku bilang aku nggak peduli.” Merebut suami pelakor itu adalah ide balas dendam yang tidak pernah terpikirkan oleh Vina. Dia tidak tahu kenapa Nayna mempunyai ide seperti itu. “Kamu yakin, Nay? Kamu siap dengan semua konsekuensinya?” Tak perlu banyak waktu untuk Nayna menjawab. “Aku sangat siap.” “Banyak cara balas dendam selain ini, Nay.