Share

Aku yang Kamu Selingkuhi!

Bagus menoleh pada Nayna lalu mendelik kesal.

 “Aku sudah telat, Nay.” Ia menghampiri Nayna dengan cepat lalu merebut bungkusan di tangan sang istri. “Nggak basah ‘kan bajunya?” 

Mas Bagus bahkan tak repot-repot menanyakan keadaannya yang setengah basah.

Mungkin baru kali ini Mas Bagus kesal padanya perihal pakaian, karena sejak dulu Nayna selalu mengurus pakaian Mas Bagus dengan baik. Jika ia mengambek dan pulang ke rumah ibunya pun tidak sampai berhari-hari. Biasanya hanya semalam dan akan pulang besok paginya.

“Kenapa terlambat kamu! Saya bilang ‘kan cepetan.” Kedua alis Ibu yang rapi hasil sulaman bergerak-gerak seiring dengan matanya yang melotot-lotot. Sanggup membuat Nayna ciut.

“Tadi hujan deras banget, Bu.”

“Aduh, pantas baju kamu basah. Airnya nggak kena lantai, kan? Barusan habis saya pel loh!”

“Maaf, Bu.” Nayna menunduk pahit.

“Ya udah, ganti baju sana. Bagus sudah sarapan, tapi bukan berarti kamu boleh santai! Di dapur banyak piring. Kamu habis liburan ‘kan di rumahmu nggak ngerjain apa-apa?”

Nayna menatap lantai dengan sayu. Berulang kali kata sabar itu mampir di benaknya seperti mantra.

Ia mengikuti Mas Bagus masuk ke kamar paling ujung. Di sana ada beberapa daster yang ia tinggalkan manakala jika sedang menginap di rumah Ibu.

Sedang Mas Bagus membelakanginya untuk memakai pakaian. Sama sekali tak terlihat tanda-tanda rasa bersalah dari sikapnya.

“Mas?” panggil Nayna. Dia hanya ingin bicara dengan laki-laki itu.

Ia selalu mengingat nasehat Bapak bahwa semua permasalahan dalam rumah tangga bisa diatasi dengan komunikasi yang baik. 

Apapun masalahnya, diskusikan dengan pasanganmu agar tidak terjadi kesalahpahaman karena kita sangat suka mengambil kesimpulan sendiri tanpa tahu sudut pandang dari pasangan.

Mungkin karena itu, rumah tangga Bapak dan Ibu langgeng dan hanya maut yang memisahkan mereka.

Mas Bagus berbalik setelah pakaiannya terpasang sempurna. “Apa?” Lelaki itu memberikan tatapan datar kepada Nayna.

“Aku ingin kita bicara?”

Serta merta kening Mas Bagus berkerut dan raut wajahnya menjadi masam. 

“Bicara apa sih? Kamu yang nggak mau dengar penjelasan aku waktu itu, tapi kenapa sekarang kamu yang ngotot bahas masalahnya?”

Nayna maju dengan langkah gontai. Hatinya mulai meradang. “Aku melihat kamu di kamar hotel dengan perempuan lain tanpa pakaian, Mas. Seharusnya kamu memberikan penjelasan atau minta maaf bukannya bersikap seperti anak kecil begini.”

“Apa? Anak kecil? Yang kabur dari hotel dan nggak mau mendengar aku itu kamu! Aku cuma pulang ke rumah ibuku untuk menenangkan diri. Kamu pikir cuma kamu yang tersakiti di sini?”

“Kamu juga tersakiti? Dari mananya?” Nayna menatap tidak habis pikir. “Aku yang kamu selingkuhi!” Sebisa mungkin ia pelankan suaranya, tak ingin terdengar sampai ke luar.

Mas Bagus terdiam dengan sorot mata yang teramat kesal. Ia mendengus sebelum melirik arlojinya. “Aku sudah terlambat!” Ia mengambil tas kerjanya di atas ranjang lalu keluar kamar dengan derap langkah marah.

Terkadang Nayna tidak tahu cara mendiskusikan masalah dengan Mas Bagus. Lelaki itu tak pernah ingin mengaku salah. Masalah akan selesai jika Nayna mendiamkannya dan bertingkah seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

Mas Bagus tidak ingin menjadi orang yang bersalah. Dia hanya diam jika melakukan kesalahan dan balik menyalahkan Nayna jika Nayna sudah mengungkit kesalahannya.

Nayna biasanya memakai cara ampuh dengan diam dan memaafkan kesalahan-kesalahan kecil lelaki itu. membiarkan permasalahan di antara mereka selesai begitu saja tanpa diskusi.

Tapi kali ini, masalah yang menyangkut kesetiaan rumah tangga mereka tak bisa diselesaikan dengan diam saja dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.

Nayna perlu tahu alasan Mas Bagus menduakannya.

*** 

Nayna mengerjakan semua pekerjaan yang diminta oleh ibu mertuanya, ralat ibu Mas Bagus itu tidak pernah meminta, tapi menyuruhnya dengan paksa. 

Semua sudut rumah Ibu sudah rapi dan kinclong ketika Randy, adik Mas Bagus yang pengangguran keluar dari kamar dengan rambut berantakan dan hanya memakai boxer. 

Lelaki berumur dua puluh dua tahun itu mengambil air di dispenser dan tak peduli saat air dari gelasnya tumpah-tumpah dalam langkahnya menuju meja makan. Lantai yang sudah Nayna bersihkan kembali basah.

Nayna menghela napas.

Randy membuka tudung saji lalu merosotkan bahu lemas. “Kok tempe, Bu!” 

Ibu yang sedang membereskan kamar Randy berteriak dari dalam kamar. “Ayam yang Ibu beli kemarin dimakan sama mas kamu! Udah makan itu aja!”

Nayna bersyukur Ibu tidak menyuruhnya membereskan kamar bujang pengangguran satu itu karena di dalam sana sangat berantakan dan menguarkan bau tidak sedap, persis seperti aroma kakek-kakek jompo pesakitan.

Nayna mengintip di balik pintu kamar Randy. “Bu, saya pulang dulu ya. Semuanya sudah saya kerjakan.”

Ibu yang sedang memukul-mukul kasur dengan sapu lidi menatapnya heran. “Lho, nggak nungguin Bagus pulang? Gimana sih! Kan saya bilang suami itu mesti dibujuk-bujuk, dirayu-rayu, dimanjain. Gimana bisa punya anak kalau kamu nggak peduli begitu?”

Diam-diam Nayna menarik napas mencoba lebih sabar. Dia yang diselingkuhi kenapa dia yang harus membujuk Mas Bagus?

“Lebih baik sekarang kamu pergi belanja, beli ayam dan sayur, masakin buat suami kamu nanti kalau pulang kantor. Dia pasti capek.”

Nayna menunduk. “Saya nggak punya uang lagi, Bu.” Cuma tersisa ongkos untuk pulang.

Tahu-tahu Ibu menghempaskan sapu lidi ke atas kasur dengan kasar sampai Nayna terlonjak kaget. 

“Gimana sih kamu! Kamu apakan gaji suami kamu? Ya pinter-pinter ngaturnya! Jangan dibelikan yang macam-macam. Terus sekarang gimana? Mau belanja pake apa kamu?”

Belum sempat Nayna membalas perkataan Ibu, Randy sudah menengadahkan tangan di sampingnya.

“Bu, aku mau beli kuota. Abis nih.”

Ibu mencebik. “Ibu nggak punya uang! Tahan dulu sampai mas-mu pulang.”

Lalu meminta uang lagi pada Mas Bagus? Nayna sangat yakin pegangan Mas Bagus juga sudah habis, malah seringkali lebih dulu habis ketimbang uang yang dipegang Nayna.

“Ya elah, Bu. Masih lama pulangnya. Ini baru jam satu. Mau push rank lagi nih.”

“Kamu itu! Game mulu kerjaannya. Cari kerja sana!”

“Iya nanti, santai aja. Nanti juga dapet kerja kok. Mana uangnya, Bu?”

“Udah Ibu bilang nggak ada.”

“Waduh. Mbak, ada duit nggak?” Dengan tidak tahu malunya, Randy balik menengadahkan tangan pada Nayna.

Nayna menggeleng. “Nggak ada, Ren.”

“Yah, gimana sih nggak ada semua.” Randy menggaruk kepala. “Sepeser pun nggak ada?”

Nayna tak menjawab.

“Kamu ke sini pake apa?” tanya Ibu, wajah glowing berminyak hasil skincare-nya masih saja bengis. 

“Ojek, Bu.”

“Nah, tuh kan ada. Pelit banget kamu. Gaji suami mau dihabisin sendiri!”

“Adanya cuma sepuluh ribu, Bu. Untuk ongkos pulang nanti. Aku nggak bisa jalan kaki, panas banget di luar.”

Matahari sedang terik-teriknya dan Nayna yakin sandal jepitnya yang hampir putus benar-benar akan putus saat ia sampai rumah.

“Aduh! Bilang dong kalau masih ada! Mana sini.” Ibu menodongkan tangan. 

Dengan berat hati Nayna mengeluarkan selembar uang dari dalam saku dasternya.

“Sepuluh ribu mana cukup, Bu?”

“Diem aja kamu! Cari sisanya di kamar mas-mu sana. Mana tahu ada yang keselip.

Ibu merebut uang lecek yang masih ada dalam genggaman Nayna, lalu memberikannya kepada Randy. “Nih!”

Randy menerima dengan wajah masam dan masuk ke kamar Mas Bagus.

Padahal sedikit pun Nayna tak pernah menggunakan gaji Mas Bagus untuk keperluannya sendiri. Setengah dari gaji lelaki itu selalu Ibu ambil, tak jarang Randy dan adik Mas Bagus yang masih SMP meminta uang kepada mas mereka.

Nayna selalu tak habis pikir. 

Ia hanya bisa tersenyum kecut memikirkan nanti dia akan pulang dengan berjalan kaki lagi.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
sabar bukan berarti pasrah saat dihina & dibudakin. klw itu mah namanya bodoh bin tolol.
goodnovel comment avatar
Yoelanda89
Nayna gobloknya kebangetan
goodnovel comment avatar
Adriana Lim
nayna tll goblok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status