Ferdi sama dengan Bastian, pria itu pun terkesiap melihat sang kakak bersama dengan wanita yang sangat ia suka. Begitu juga Alika, hawa panas menyelimuti hatinya melihat Bastian bersama dengan sang istri.
Sandrina menatap Ferdi, ia mengenali Alika sebagai Dokter Kandungan yang memeriksa dirinya. Akan tetapi, ia tidak tahu jika wanita itu adalah kekasih sang suami.
“Kalian datang ke sini juga? Tumben?” Ferdi menyapa untuk mengurangi rasa gugup.
Wajah Bastian sudah tidak bersahabat melihat sang kekasih kini bersama dengan Ferdi. Sejak tadi ia mencoba menghubungkan, ternyata Alika bersama Ferdi dan seperti sedang bersenang-senang.
“Nggak usah basa-basi.” Bastian menarik Sandrina menjauh, tapi langkah terhenti saat Ferdi kembali memanggilnya.
“Ka, tenang saja. Aku nggak akan mengganggu istrimu lagi, kenalkan calon istriku.”
Wajah Alika langsung memerah, sama halnya dengan Bastian yang sejak tadi menatap dengan bengis kedua pasangan itu. Sementara, Sandrina malah bersyukur jika Ferdi memiliki kekasih baru dan tidak akan mengganggunya lagi.
Alika tidak tahu jika Ferdi akan mengatakan hal itu. Akan tetapi, ia sendiri tidak membantahnya. Ia memilih diam dan kembali menunduk.
“Aku lapar, Fer, aku duluan.” Sandrina langsung menarik lengan Bastian.
Alika merasa kesal melihat keduanya berlalu. Ia kembali duduk dengan memijit keningnya. Apa yang akan dia lakukan saat ini?
“Lik, maaf, aku nggak izin kamu buat hal tadi.”
“Kenapa kamu harus mengatakan hal itu, kamu hanya buat masalahku tambah banyak saja.” Alika menatap kesal pria di sampingnya itu. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Bukannya meminta maaf, Ferdi malah terus saja memperhatikan Sandrina. Wanita pujaannya itu terlihat sangat lapar.
“Aku ke toilet dulu,” pamit Ferdi.
Ferdi langsung pergi tanpa menunggu jawaban Alika. Wanita itu secara langsung mengatakan tidak suka cara seperti itu. Dari kejauhan, ia pun memperhatikan istri kekasihnya.
**
Melihat Ferdi masuk ke toilet, Bastian pun menyusul sang adik. Sepertinya ia sudah tidak kuat menahan amarah di hati. Gegas ia mengikuti Ferdi ke dalam toilet kafe itu.
Data melihat Ferdi ke luar dari WC, Bastian mulai meradang. Ia melepaskan tonjokan tepat di perut sang adik. Ferdi tersudut di tembok, ia tersenyum sinis melihat sang kakak yang penuh amarah.
“Ada hubungan lu sama Alika? Berengsek, dia milik gua!” pekik Bastian.
Senyum Ferdi semakin lebar, akhirnya benar dugaannya. Tadinya Ferdi hanya menduga jika Alika yang di maksud adalah Alika teman Dimas. Sebelumnya ia memang pernah melihat, tapi lupa-lupa ingat. Tidak perlu mencari tahu, akhirnya terbongkar juga dari mulut Bastian.
“Gila, rakus bener lu, Ka. Sandrina, lu embat juga. Sekarang giliran Alika, lu marah juga. Lu sadar, sudah punya bini, lagi hamil pula. Kalau, lu nggak suka sama Sandrina, ceriakan aja, gua juga masih mau kok sama dia.” Ferdi terkekeh.
Bastian kembali melangkah maju menghampiri Ferdi. Tangannya kembali menarik kerah baju sang adik.
“Bajingan!”
Tangan Bastian memukul pintu toilet karena ia pun tidak mau memukul sang adik. Namun, melihat Alika bersamanya, hatinya merasa kacau.
Bastian mendorong Ferdi ke tembok, ia frustrasi melihat Alika dengan sang adik. Ingin rasanya ia cepat pulang, tapi duitnya harus menemui klien lebih dahulu. Walau masih kesal, Bastian kembali menemui Sandrina di luar.
Sementara Ferdi hanya terkekeh melihat kemarahan sang kakak. Ia terus berpikir ide gila untuk membuat Sandrina kembali padanya. Gegas ia ke luar menemui Alika.
Sementara, Alika tak berhenti memerhatikan Bastian yang baru saja datang. Mereka sudah kedatangan klien, Bastian terlihat tersenyum sembari memperkenalkan Sandrina. Alika semakin emosi, tangannya mengetik pesan untuk Bastian.
“Cemburu, liat suami orang?”
Alika terkesiap saat mendengar Ferdi bicara. Dirinya langsung memukul lengan pria itu, sedangkan Ferdi kembali tertawa. Senang sekali melihat wanita di depannya cemburu.
“Ternyata dunia ini sempit, ya. Kamu, aku dan mereka memiliki keterkaitan yang sulit diungkapkan.”
“Maksud kamu?” tanya Alika.
“Harusnya yang berada di samping Sandrina adalah aku, bukan Bastian.”
Alika mencoba mengerti dengan apa yang di maksud Ferdi. “Sandrina kekasihmu?”
“Bastian Kakakku, dia di jodohkan oleh orangtuaku dengan Sandrina.”
Alika terperanjat, ia kaget mendengar cerita Ferdi. Jadi, ia senasib dengan pria itu, kekasihnya menikah dengan wanita lain dan ia pun di tinggal oleh Bastian.
Kedua pasang mata Alika kembali memerhatikan Bastian dan istrinya. Sesekali pun Bastian tertangkap melirik ke arahnya. Akan tetapi, kembali berbincang dengan kliennya.
“Kita harus kerja sama, aku kembali mendapatkan Sandrina dan kamu mendapatkan Bastian. Bagaimana?”
Suatu kerja sama yang saling menguntungkan. Alika kembali berpikir untuk hal itu, suatu hal yang mungkin membuat Bastian berpisah dengan Sandrina.
“Bastian sebenarnya memang tidak suka dengan Sandrina. Sepertinya kamu yang harus berusaha untuk merebutnya dari Bastian. Sepertinya itu hal mudah karena Bastian hanya mencintai aku. Apa masih berpura-pura pacaran?”
Ferdi menyunggingkan senyum mendengar apa yang dikatakan Alika. Harusnya memang seperti itu, Sandrina kembali padanya. Mengingat malam itu, sepertinya hal sulit untuk meluluhkan hati Sandrina. Namun, bukan hal itu yang menjadi tujuan Ferdi berpura-pura menjadi kekasih Alika, melainkan membuat Bastian marah karena kekasihnya ia pacari. Hal itu sudah terbukti karena Bastian sangat marah.
“Setidaknya kalau kamu menjadi pacarku, kamu bisa lebih leluasa bertemu dengan Bastian. Misal saat kamu aku ajak ke rumah. So, kamu bisa memantau kekasihmu.”
Alika memikirkan tawaran Ferdi, setidaknya ia tidak pusing jika dirinya kehilangan jejak sang kekasih.
“Baik, deal.”
Keduanya bersalaman tanda mereka menyetujui apa yang di usulkan Ferdi. Lagi, Ferdi menyunggingkan senyum saat Bastian terlihat melirik ke meja mereka. Sementara, Sandrina tampak santai mengobrol dengan istri klien sang suami.
***
Seharian pergi ke luar membuat Sandrina kelelahan, wanita itu langsung merebahkan tubuh di kasur. Bastian masih sangat emosional saat mengingat kejadian tadi di kafe, ia kembali menghubungi Alika pun tidak bisa. Pria itu membanting kasar ponsel ke sofa.
“Argh!”
Sandrina terbangun mendengar suara teriakan dari kamar sang suami. Ia gegas masuk dan mencoba mencari ada apa dengan sang suami.
“Bas, ada apa?” tanya Sandrina.
Bastian menoleh, ia semakin kesal karena melihat Sandrina menyumbulkan tubuh di ambang pintu. Emosi pria itu semakin memuncak kala memikirkan impian bersama dengan Alika hancur karena menikahi Sandrina.
“Pergi!”
Sandrina bukan pergi, malah ia masuk ke kamar dan menghampiri sang suami. Apa pun yang terjadi, ia tidak bisa di perlakukan dengan tidak baik. Walau Bastian tidak menyukainya, ia akan berusaha membuat pria itu mencintainya.
“Aku nggak akan pergi, lagi pula aku hanya ingin tahu ada apa denganmu?”
“Kamu mau tahu, aku seperti ini karena kamu. Impianku menikah dengan wanita pujaan hati harus kandas karena ide konyol menikah denganmu!”
Sandrina tersenyum getir, begitu perih mendengar semua ucapan dari Bastian.
“Kamu pikir, hanya kamu yang tersiksa dengan pernikahan ini? Apa kamu doang yang merasakan tidak bahagia! Asal kamu tahu, aku pun sama, harusnya aku menikah dan di cintai suamiku, bukan setiap hari di maki dan di caci karena pria bodoh seperti kamu yang mau saja dinikahkan denganku.”
“Apa kau bilang, aku bodoh?”
“Iya, kalau kamu pintar, harusnya kamu berjuang untuk kekasih kamu, bukan pasrah menerima lalu sok tersakiti menikah dengan orang lain. Karena takut miskin? Harusnya kalau kekasihmu itu tulus, nggak masalah hidup miskin tapi bersama cintanya.”
Bastian bergeming, ia pun sudah berusaha untuk menolak dan pernah berniat pergi dan memilih Alika. Akan tetapi, wanita itu memintanya bertahan karena jika mereka menikah otomatis Bastian akan menjadi miskin dan Alika tidak mau hal itu terjadi.
“Silakan kalau kamu mau kembali dengan kekasihmu, tapi kamu harus ingat, apa kamu siap menggembel di jalan?”
Bastian semakin kesal mendengar Sandrina berbicara. Ia mencengkeram lengan sang istri hingga Sandrina meringis kesakitan.
"Sakit!"
***
“Aw!”Bastian menjerit kala Sandrina menendang keperjakaannya. Peria itu langsung melepas cengkeramannya dan terduduk sembari memegangi yang sakit. Sementara, Sandrina masih menatap bengis pria yang menjadi suaminya itu.“Sakit, kan?”Sandrina kembali tersenyum melihat Bastian yang tak bisa menjawab karena ia sedang merasakan nyeri di sesuatu yang paling berharga baginya. Sang istri tak peduli betapa sakitnya Bastian, sedangkan suaminya itu bersumpah akan membuat Sandrina menyesali perbuatannya kali ini.“Awas, ka—kamu!” Bastian mengucapkan kalimat terbata-bata juga hanya bisa menunjuk Sandrina dengan telunjuknya.“Rasakan, rasa sakit itu nggak sebanding dengan sakitnya hati aku saat suami bercinta denganku, mulutmu masih memanggil namanya!”Akhirnya Sandrina bisa mengutarakan apa yang ia rasakan kali ini. Walau pernikahan mereka berjalan karena perjodohan, bukan berarti Bastian bisa mela
Wajah Bastian memerah mendengar ucapan Sandrina. Entah apa yang merasuki sang istri hingga bisa berbicara seperti itu. Apalagi mengenai hal sensitif mengenai pria. Bastian menggebrak meja, tapi Sandrina tak kaget sama sekali.Sandrina masih terlihat santai, berbeda dengan ia yang dulu. Ia semakin kuat menghadapi Bastian yang berlaku seenaknya pada dirinya.Semenjak kehamilannya, Sandrina bertekad untuk mengembalikan Bastian pada kodratnya. Pria yang seharusnya menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab. Bukan pria yang masih bermain-main dengan wanita lain padahal tahu dirinya akan menjadi seorang ayah.“Anggap saja tidak terjadi sesuatu malam tadi.”“Terserah kamu, aku tidak peduli. Aku mau merapikan baju, ibu akan memesankan aku taxi jam 13.00.”“Sampai kapan?”“Mungkin sampai anak ini lahir.” Sandrina menjawab singkat.Bastian dibuat melongok dengan jawaban asal sang istri. Selama
Alika menarik napas dalam, sudah pasti pria di hadapannya tak bisa menjawab atau memang tak bisa memilih. Harusnya sejak lama mereka berpisah, tapi diri mu ya terllau mencintai Bastian hingga rela menunggu sang kekasih menduda.Bastian terus memutar otak, apalagi saat ia mengingat perkataan sang istri. Kalau ia meninggalkan Sandrina, sudah pasti harta akan jatuh ke tangan calon anaknya karena sesuai perjanjian, jika Bastian menceraikan Sandrina tiba-tiba dan memilih wanita lain, jika sudah memiliki anak, otomatis harta itu jatuh ke darah dagingnya. Jika tidak, akan menjadi milik Sandrina.Pria itu memukul tembok dengan emosi, bagaimana hidupnya begitu sulit dan harus ada pilihan. Lagi, ucapan Sandrina terngiang di kepalanya. Belum tentu Alika menerimanya saat ia jatuh miskin. Dia seorang Dokter dan mudah mendapatkan pria yang ia mau, termaksud sang adik.“Aku tahu kamu tak akan bisa memilih karena kamu memang sudah mencintai wanita itu. Lebih baik kamu per
Bastian pamit pulang sebentar pada Alika karena banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan. Ia pulang untuk mengambil laptop di rumah dan berjanji akan kembali lagi tidak lama.Sesampainya di rumah, ia berteriak memanggil nama sang istri. Akan tetapi, Sandrina tak juga muncul di hadapannya. Bastian menepuk menepuk kening karena ia lupa jika Sandrina sepertinya sudah berada di rumah sang ibu. Pantas saja tak ada jawaban atau wajah sang istri yang selalu muncul saat kedatangannya.“Kenapa aku ini,” gumam Bastian.Pria itu terduduk di meja makan, ia membuka tudung nasi. Ada beberapa lauk dan juga sambal. Tidak ketinggalan ada sebuah surat dari Sandrina seperti biasa.Mas, aku ke rumah ibu dulu. Ada sayur dan lauk untuk makan sore ini. Di kulkas pun sudah kupenuhi telur dan susu untuk kamu makan. Akan tetapi, kalau kamu rindu aku bisa datang atau menelepon. Dari aku, istri yang tak pernah di anggap.Bastian meremas kertas itu da
Sang ibu memberikan teh hangat pada Ferdi. Keduanya duduk memandang langit di halaman rumah. Sebelumnya, Bu Hana memang ingin bicara berdua dengan anak keduanya itu.Ferdi sepertinya paham apa yang akan dibicarakan sang ibu.“Apa ibu akan membicarakan masalah Bastian dan Sandrina?” tanya Ferdi.Bu Hana mengangguk, memang ia akan membicarakan anak pertamanya itu. Karena Sandrina akan pindah bersamanya, ia pun memohon agar Ferdi mencari kontrakan.“Sepertinya kamu tahu yang akan ibu bicarakan,” tutur Bu Hana.Ferdi mengangguk, memang ia tahu jika sang ibu memintanya ke luar dari rumah. Akan tetapi, pria itu malah ingin tetap di rumah itu.“Bu, mencari kontrakan atau kosan susah, aku pun jarang di rumah. Apa harus pindah?” tanya Ferdi.“Tapi ada Sandrina di sini, Ibu tak mau membuat dirinya tidak nyaman. Kasihan ia sedang hamil dan butuh perhatian ibu, apa kamu nggak mau membantu?” Bu
Bu Hana datang saat Sandrina mengatakan jika Bastian sakit. Ia terburu-buru datang karena panik. Untung saja Ferdi bisa mengantarnya hingga ke rumah sang kakak. Bu Hana langsung menghampiri Bastian yang sudah bisa duduk di sofa.“Nak, kamu baru sehari ditinggal Sandrina saja sudah sakit. Bagaimana dia tinggal lama dengan ibu. Bisa kelaparan setiap hari kamu,” oceh sang ibu.“Aku bukan anak kecil lagi, Bu. Bisa pesan online juga,” jawab Bastian.Sandrina terlihat membawakan teh untuk ibu dan Ferdi. Wanita itu duduk di samping sang suami. Walau belum menandatangani kontrak perjanjian mereka, Bastian mencoba belajar berlama-lama duduk di samping sang istri.Terlebih, jika melihat Ferdi yang menatap tidak biasa pada sang istri. Tidak tahu perasaan apa, ingin sekali tangannya memukul dan mencongkel matanya.“Bu, teh ibu yang ini. Itu buat Ferdi karena gulanya sedikit lebih banyak. Punya tidak memakai gula, kan?” Sandr
Dimas tertawa melihat Ferdi yang tak hentinya menggalau. Apalagi saat ini live band di kafe sedang mengalunkan lagu melow. Sepulang mengantar ibu dan Sandrina, Ferdi kembali melajukan mobil menuju tempat di mana ia bisa menemukan teman ngobrol.Dimas kembali terkekeh melihat sahabatnya datang dengan wajah sangat kusut. Dimas pun bisa menduga jika semua ini ada hubungannya dengan mantan kekasih jadi ipar.“Minum ini, dijamin langsung segar.” Dimas memberikan segelas hot coffie pada Ferdi.Ferdi mengambil gelasnya dan langsung meneguknya. Sekilas kenangan muncul saat terdengar lagi yang pernah menjadi jargon Sandrina dan dirinya.“Bisa gila gua ini. Baru aja mengantar ibu dan dia, lu pikir enak bertemu setiap hari sama dia. Gila kepala ini,” ujar Ferdi sembari mengoceh.“Dia siapa yang lu maksud?” Dimas bertanya seolah-olah tidak mengerti walau ia menduga sepertinya adalah mantan kekasih Ferdi.“Sandri
“Aku malah tahu kamu sakit dari Dimas dan ia memberikan alamat rumahmu.” Ferdi duduk di halaman rumah Alika.Dimas memberi tahukan jika Alika baru saja pulang dari rumah sakit. Gegas ia mengunjungi wanita yang baru saja ia kenal itu. Pria itu menyesal rokok dengan santai, sedangkan Alika merasa tidak nyaman.“Bastian tidak akan pernah menghisap rokok di depanku,” ujar Alika.“Apa kamu tahu, dia pun menghisap rokok di depan Sandrina, tapi aku pun tidak merokok di depan wanita yang aku cintai.” Ferdi tersenyum sembari mematikan putung rokok.Alika menatap heran, mengapa bisa Ferdi sangat berbeda dengan Bastian padahal mereka saudara kandung. Kenapa juga Ferdi datang mengunjungi rumahnya.“Katakan langsung ada apa kau ke sini?” tanya Alika.Tubuhnya masih sangat lemas, padahal besok ia sudah mulai praktik. Ia memilih untuk pulang karena merasa tidak nyaman di rumah sakit.“Sebagai pac