Saat mendengar suara langkah-langkah kaki sedang mendekat ke kamarku, dengan segera aku membelakangi pintu dan memasang headset.
Brak!"Rere! Keterlaluan kamu! Kamu apain Ana tadi pagi sampai dia nangis?!"Aku tidak menjawab pertanyaan paduka ratu ibu mertua dan perlahan, aku mulai menggelengkan kepalaku."Neng!" Mas Yandri memanggilku cukup keras"Rere! Budeg kamu ya?!" tambah ibu mertua.Posisiku masih membelakangi pintu dan mempercepat gelengan kepala."Menantu laknat! Durhaka!" Ibu mertua masih saja berteriak."Neng! Neng Rere!" Mas Yandri ikutan berteriak.Teringat Trio Maung dengan gerakan ikoniknya, aku membungkuk dan memutar kepalaku seperti baling-baling pesawat.'Yihaaaa' teriakku dalam hati.Teriakan ibu mertua dan mas Yandri terhenti saat ponselku di atas nakas berbunyi. Setelah dering berhenti, mereka kembali berteriak."Neng!""Menantu gila!"Aku melepaskan headset saat merasa keduanya mendekatiku dari belakang. Dengan gerakan cepat aku memutar tubuh dan berteriak sekuat tenaga,"NAON!?"Ibu mertua dan Mas Yandri terkejut hingga pucat. Keduanya mundur menyingkir dariku hingga hampir menabrak lemari."Eh, ada ibu ratu dan paduka raja? Ada apa? Apa yang harus Rere kerjakan kali ini?" Aku berkata pelan seraya meletakkan kedua tanganku di perut dan membungkuk."Gendeng!" Ucap mertuaku lirih"Neng! Kamu kenapa sih teriak-teriak?!" Mas Yandri bersuara.Aku memasang wajah tak bersalah. "Maaf mas, ngga sengaja. Tadi neng lagi dengerin lagu metal, jadi pas ngejawab, ga sengaja teriak. Ada apaan mas?"Muka keduanya masih pucat. Nampaknya teriakanku cukup mengagetkan mereka hingga melupakan kemarahan."Hhmm, ngga neng, mas tadi mau nanya, neng udah makan belum. Iya kan bu?" Mas Yandri menoleh ke arah ibu mertua yang mencengkeram bajunya di bagian dada."Iya." Jawab ibu mertua pelan."Ooooh, neng udah makan kok mas. Tumben amat mas nanyain neng udah makan atau belum. Biasanya kan ngga,"Keduanya hanya terdiam ditempat, mungkin bingung harus berkata apa. Sampai akhirnya ibu mertua beranjak menuju pintu."Lain kali jangan keras-keras kalau denger lagu, itu hape kamu tadi bunyi." Ucapnya ketus.Tidak lama mas Yandri juga mengucapkan hal serupa. "Kecilin dikit volume lagunya, tuh hape kamu di nakas bunyi tadi." Ia pun keluar dan menutup pintu.Aku menghembuskan nafas panjang.'Dasar blegug. Padahal tau hape aku diatas nakas.' batinku sambil melihat headset ditangan yang tidak tersambung dengan apapun.***Ternyata mama yang tadi menelepon. Dengan bersemangat aku menghubungi mama kembali. Ingin rasanya mengadukan semua kelakuan keluarga mas Yandri, tapi aku tak ingin mama kepikiran. Jadinya kami hanya mengobrolkan hal-hal yang ringan.Setelah mematikan sambungan telepon aku beranjak keluar kamar. Luar biasa. Dalam waktu sekejap keadaan rumah mirip dengan kapal pecah. Sampah dimana-mana dan piring kotor menumpuk.Aku berjalan menghampiri mas Yandri yang sedang merokok di teras."Mas, bantuin neng beres-beres yuk." ucapkuMata mas Yandri mendelik tak suka. "Neng, tugas beres-beres itu tugas istri. Masa mas seharian kerja masih diminta bantuan beres-beres rumah. Itu tugas kamu kan?""Kamu aja ngga bantuin mas nyari uang, masa mas harus bantu kamu untuk kerjaan rumah."Deg!Ada sesuatu yang sakit didalam sini. Entah kenapa kalimat yang diucapkan dengan datar itu terasa menusuk."Oh, yaudah kalo gitu mah. Neng beresin sendiri aja," ucapku sambil masuk kedalam rumah.Dengan kekuatan emosi yang melanda diri, aku kembali membereskan kekacauan untuk kesekian kalinya dalam hari ini. Rasa kesal membuat tenagaku bertambah berkali lipat. Aku mulai merasa keputusanku untuk menikah disaat belum lama mengenal mas Yandri dan keluarganya adalah pilihan keliru.Sewaktu awal kenal, semua sikapnya bijaksana. Itulah kenapa aku bisa dengan mudah jatuh hati. Ternyata ia hanya sok bijaksana dipermukaan untuk memberikan citra baik. Jika sudah kenal dan masuk dalam lingkaran hidupnya, watak asli suamiku itu mulai terlihat satu persatu.'Sama seperti aku yang mulai merasa menyesal mas, kamu pun belum tau bagaimana aku sebenarnya. Dan disaat kamu tau, aku jamin, penyesalanmu akan berlipat ganda karena sudah mempersuntingku. Aku adalah makmum, dan aku akan mengikuti imamku.'"Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah ibadah terpanjang dan proses pembelajaran seumur hidup. Aku tidak akan mudah menyerah. Aku akan merubah diri dan berusaha membawa orang-orang disekitarku berubah menuju jalan yang baik. Jika tidak berhasil, barulah aku akan mundur tanpa perlu menoleh lagi dan tanpa rasa menyesal karena aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa." - Neng Rere***"Neng, nih mas udah gajian. Ayok! Mau jalan kemana kita?" Sepulang kerja mas Yandri langsung menuju kamar menemuiku yang sedang memasukkan baju ke dalam lemari. "Mau belanja bulanan mas, banyak yang udah abis. Ke supermarket yuk?" aku menyambut ajakan mas Yandri dengan gembira. Keseharianku yang hanya dirumah dengan segala pekerjaannya membuat kegiatan rutin belanja bulanan sebagai cara untuk merefresing pikiran. Tidak perlu belanja berlebih, cukup melihat lampu dan jalanan saja aku sudah senang."Iya hayu, kamu siap-siap sana. Mas mau ke ibu dulu ngasi jatah bulanan." Mas Yandri keluar kamar me
"Mereka adalah orang yang terus-menerus berinfak di jalan Allah, baik di waktu lapang, mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhannya terpenuhi, maupun sempit, yaitu tidak memiliki kelebihan, dan orang-orang yang menahan amarahnya akibat faktor apa pun yang memancing kemarahan dan memaafkan kesalahan orang lain" ( Ali Imran : 134 )***Setiap hari aku belajar. Belajar bagaimana cara memperbaiki diri, terutamanya belajar bagaimana menahan emosi. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. ***"Teteh! Teteeeh!" Suara Ana memanggilku keras dari dalam kamarnya selepas aku sholat shubuh. "Naon?" ucapku menghampiri. Didepan gadis itu sudah ada setumpukan baju kotor beserta dalamannya. "Nih, cucian kotor aku," dia berkata sambil menyentuh baju kotor dilantai dengan menggunakan kaki. Aku menatap tajam tepat dikedua matanya dan masih diam. Nyatanya perbuatanku membuat gadis itu salah tingkah. "Apa liat-liat? Cepet tuh cuciin!" Dia membalikkan badannya bersiap untuk pergi.
"Aku menuruti perintah agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku bisa menyalahkan si pemberi perintah." - Neng Rere***Hari ini rumah ibu mertuaku kedatangan tamu jauh. Bukan tamu, lebih tepatnya keluarga. Sepasang suami istri dengan bayi mereka yang berumur 3 bulan mengetuk pintu rumah tepat setelah subuh. Sang suami adalah sepupu mas Yandri. Mereka datang dalam rangka ikhtiar berobat di rumah sakit terbesar dikota ini karena perlengkapan pemeriksaan di kota mereka tidak lengkap. "Budhe, maaf lho ya merepotkan. Kami berniat menitipkan Dinda disini. Karena mungkin pemeriksaan di rumah sakit bisa sampai sore." Sepupu mas Yandri berucap. Sepupu suamiku itu ingin memeriksakan benjolan yang tiba-tiba muncul di perutnya. Istrinya seorang wanita yang ramah dan murah senyum. Hariku membaik saat melihat senyumannya. Bagaimana tidak, biasanya orang-orang dirumah ini hampir setiap hari berwajah murung. Jam 8 kurang Mas Yandri berangkat ke kantor, tidak lama kemudian pasangan suam
Mas Yandri pulang dengan wajah yang kusut. Aku menyuruhnya membersihkan diri, makan dan kemudian beristirahat. Sejujurnya, aku ingin menanyakan apa yang terjadi ketika tiba-tiba teringat pesan mama saat terakhir kali meneleponku. "Kalau suami pulang kerja sebisa mungkin jangan banyak ditanya dulu. Bawain minum, sediakan makan, perhatikan kebutuhannya. Jika semua sudah teteh lakukan, lihat moodnya. Jika terlihat masih lelah, urungkan bertanya. Terkadang, bertanya di saat yang tidak tepat bisa memicu pertengkaran. Ini hal yang sepele, tapi berarti. Mama harap teteh bisa belajar untuk peka dan sadar situasi." Saat ini kami hanya berdua dirumah. Mertua dan kedua iparku sedang pergi mengunjungi tante mas Yandri yang sedang sakit. "Mas mau ngopi ngga?" Aku bertanya pada mas Yandri yang sedang menonton televisi. Saat sedang mencuci piring bekas makan kami, aku mendengar gelak tawanya. Raut wajahnya pun tidak sekusut saat ia pulang kerja. "Boleh deh neng, jangan kopi item tapi ya. Cappuc
"Seperti yang sudah kubilang. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Akan selalu ada hal baru yang dipelajari setiap harinya." - Neng Rere***Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan dimana terdapat koper dan dus-dus bertumpuk. Isinya sebagian besar adalah pakaianku dan Mas Yandri. Sebagian kecil lagi berupa alat-alat dapur yang merupakan kado pernikahanku dulu dan sama sekali belum pernah kugunakan. Kakiku menjejak bumi Lancang Kuning sesaat setelah lewat waktu Maghrib hari kemarin. Mas Yandri dan aku dijemput oleh seseorang yang memperkenalkan diri sebagai anak buah mas Yandri dikantor. Di kota ini kami diberikan fasilitas rumah dinas dan juga kendaraan. Setelah makan malam dan berkeliling melihat megahnya kota ini, kami diantar menuju rumah dinas. Rumah dinas ini disewakan full furnish yang artinya, sudah beserta barang-barangnya. Yes! Aku tidak perlu dipusingkan dengan sofa serta kawan-kawannya. Terletak di sebuah cluster yang aku pikir bergengsi membuatku jatuh c
Aku membersihkan taman sesaat setelah mas Yandri berangkat kerja. Mataku tidak sengaja melihat ke arah rumah depan. Beberapa ibu-ibu sudah duduk didepan pagar tepat disisi jalan dengan menggunakan bangku panjang yang entah mereka bawa dari mana. Tidak lama terdengar suara tukang sayur. Rupanya ibu-ibu tersebut sedang menunggu datangnya tukang sayur. Karena penasaran, aku keluar pagar menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sudah mengelilingi dagangan tukang sayur. Teringat beberapa bumbu dapur yang tidak ada, aku berusaha mencari dan mengambil apa yang kubutuhkan. "Pak, bumbu dapurnya boleh beli sedikit-sedikit?" tanyaku. Bapak penjual mengiyakan peetanyaanku dengan ramah. Beliau membantuku mengambilkan apa yang kubutuhkan."Rere masak apa hari ini?" Seorang ibu dengan dandanan yang wow bertanya padaku. Aku ingat, ibu ini yang berbicara sinis padaku saat pertama kali memperkenalkan diri kemarin."Masih belum tau bu, kayanya bikin ayam goreng aja deh yang gampang." Aku menjawab dengan
Setelah seminggu tinggal di sini aku tau jika rumah bu Jejen hanya berselisih 3 rumah dari rumahku. Sedangkan rumah anggota gengnya yang lain, tepat berada di depan rumah beliau. Aku tipe orang yang jarang keluar rumah kecuali untuk hal yang penting seperti pergi menengok jika ada tetangga atau orang yang kukenal sakit, pergi ke warung, dan pada saat ada undangan untuk menghadiri suatu acara. Urusan sosialisasiku dengan tetangga sekitar juga seperlunya saja. Sesekali aku ikut duduk di warung setelah berbelanja untuk mengobrolkan hal-hal yang ringan.Sejak kejadian pengajian di rumahku, bu Jejen tidak pernah lagi menegurku walaupun kami bertemu di jalan. Aku tidak peduli, aku tetap menyapanya walaupun berkali-kali beliau mendiamkan aku. Aku mengerti, mungkin dia marah karena aku membalas ucapannya waktu itu. ***Pintu rumahku diketuk saat aku sedang fokus menonton. Ketukan pintu yang berulang-ulang tanpa jeda membuatku sedikit senewen."Bentar!" Aku terkejut melihat seraut wajah mil
Setelah makan malam, aku dan mas Yandri menghabiskan waktu berdua di depan televisi dengan gelas kopi ditangan masing-masing. Mas Yandri memberitahuku jika weekend minggu depan akan ada acara serah terima jabatan dari kepala cabang yang lama. Aku diminta hadir untuk menemaninya dalam acara tersebut.Selama beberapa saat, kami membahas hal yang random. Sampai akhirnya, aku menceritakan tentang kunjungan bu Jejen. "Mas percaya kok, Neng bisa dengan gampang menghadapi Bu Jejen," Mas Yandri tertawa saat aku selesai bercerita. "Neng jaga diri aja selama di rumah. Walaupun konon katanya tetangga adalah keluarga terdekat, tapi tetap hati-hati juga ya." Aku mengangguk mengiyakan. ***Ibu-ibu di tukang sayur menatap kedatanganku. Ada yang berbeda dari pandangan mereka. Beberapa yang berdiri agak jauh, melihatku seraya berbisik-bisik. Aku langsung tau, ini pasti ada hubungannya dengan kedatangan bu Jejen kemarin. Tanpa mempedulikan itu semua, aku tetap bersikap ramah pada mereka. Setelah