Share

Mereka Bilang Aku Tak Becus Jadi Istri
Mereka Bilang Aku Tak Becus Jadi Istri
Penulis: Regina Maharani Rahman

Episode 1

"Rere! Habis ini kamu beresin meja makan, terus rendam cucian di sumur belakang. Jangan pakai mesin cuci, boros listrik. Setelahnya pergi ke warung bu Dadi, catatannya sudah ibu taruh di meja makan. Beli semua yang sudah ibu catat pakai uangmu dulu. Setelah itu masak dan siapkan sarapan untuk Ana dan Lita. Jangan lupa semuanya dibereskan kembali, dan jangan lupa untuk menyetrika. Setelahnya masak lagi untuk makan malam. Ibu mau pergi sebentar, pokonya saat pulang semua harus sudah dikerjakan ya!"

Perintah dari mertuaku akan selalu sama setiap harinya.

***

Hidup satu atap dengan mertua bukanlah keinginanku. Sudah berkali-kali aku meminta pada suamiku untuk hidup mandiri, namun berkali-kali pula ditolak. Alasannya adalah karena dia anak laki-laki sulung satu-satunya. Aku berprinsip, sebisa mungkin anak yang sudah menikah seharusnya tidak membebani orang tua. Selain itu, aku ingin mengatur kehidupan baru kami sebagai suami istri tanpa ada intervensi dari pihak manapun termasuk keluarga.

Mas Yandri sering berceramah panjang lebar tentang kewajiban anak laki-laki dan kewajiban seorang istri. Menurutnya aku berkewajiban patuh pada semua perintahnya karena dia-lah yang bertanggung jawab penuh pada diriku, hidup dan mati. Oh iya, tidak lupa juga dia mengingatkan dosa seorang istri yang membantah suami.

***

"Disini ga ada pembantu, jadi kamu bantu-bantu ibu ngurus rumah ya neng," ucap mas Yandri saat kami baru saja pindah ke rumah mertua.

Aku menganggukkan kepala dan baru saja merebahkan punggung dikasur yang kududuki saat tiba-tiba mertuaku masuk.

Beliau duduk di kasur tepat disebelah mas Yandri, matanya melirik padaku.

"Re, diberesin dong kamarnya. Kamu kok males banget sih, udah mau tidur aja!"

Aku bangun dan menatap wajah ibu mertua.

"Sebentar ya bu, Rere dari tadi belum istirahat. Pegel pinggang Rere tadi bolak-balik bawa dus."

Muka ibu mertua yang memang jutek bertambah semakin jutek.

"Kamu itu ya, dikasi tau ada aja jawabnya. Denger ya, kamu disini itu cuma numpang, karena kamu orang lain. Beda sama Yandri, jadi tau diri dikit'lah Re. Dan satu lagi, semua ucapan yang keluar dari mulut saya adalah perintah, bukan basa-basi. Jadi kamu harus ikutin perkataan saya."

Beliau bangun dan keluar kamar setelah sebelumnya membanting pintu dengan keras.

Mas Yandri yang melihat itupun dengan segera menegurku.

"Neng, kamu ngga diajarin orangtuamu gimana caranya ngomong sama orang yang lebih tua? Kok ngebantah ibu sih neng? Ibu bener, kamu harusnya mulai beres-beres barang kita biar cepet selesai. Kalau cepet selesai 'kan kamu bisa bantuin ibu bereh-beres rumah. Inget neng, kamu menantu dirumah ini, bukan ratu. Jadi kamu harus bisa menempatkan diri."

"Astaga mas, aku itu bukannya gamau, tapi bentar dulu dong. Baru aja aku nurunin dus-dus yang lumayan berat gara-gara mas malah keasyikan ngobrol sama tetangga. Sekarang, aku istirahat sebentar aja udah diomelin panjang lebar."

Raut wajah mas Yandri berubah, sepertinya dia emosi.

"Kamu itu ya neng, diajarin yang bener malah ngebantah terus. Inget neng, mas sekarang suami kamu. Surga kamu ada sama mas, jadi mending kamu nurut kalo ngga mau jadi istri durhaka terus masuk neraka. Semua perkataan mas untuk kebaikan kamu. Dan jangan lupa, kamu numpang disini, karena ini bukan rumah kamu. Kamu harus tau diri!"

Sesungguhnya, aku ingin sekali membalas perkataan mas Yandri dan membantainya sampai ke akar. Namun, kuurungkan karena kondisi badanku yang lelah dan pikiranku yang ruwet. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku bangkit dan keluar kamar mencari sapu dan alat kebersihan lainnya.

***

Aku baru saja memasuki dapur saat melihat ada setumpukan baju kotor tepat di sebelah baskom rendaman baju. Bisa kutebak, itu adalah kumpulan baju kotor milik Ana dan Lita, adik iparku. Sambil menahan rasa kesal, aku mengambil baskom satu lagi dan merendam baju kotor tambahan tersebut.

'Dasar blegug! Udah dikasi tau berkali-kali masih ngga ngerti juga. Berapa kali lagi harus dikasi tau kalo baju kotor dikeluarin pagi-pagi biar bisa sekalian direndem.' ucapku dalam hati dengan perasaan kesal minta ampun.

"Teh, mana kok sarapan belum ada? Teteh ngapain aja dari tadi? Kok lelet banget jadi orang? Kan tau kalau Ana kuliah jam 10." Empunya suara sudah ada dihadapanku dengan dandanan yang membuatku jengah.

'Ini anak mau kuliah atau mau fashion show sih? Menor banget kaya tante-tante girang,' lagi-lagi aku hanya bisa berkata dalam hati.

Melihatku hanya diam, Ana kembali bersuara,

"Teh, aku mau sarapan yang kaya orang bule gitu dong. Teteh tau ngga?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dan masih tetap diam.

"Ih dasar kampungan. Itu loh, sarapan bule itu yang ngga pakai nasi. Pakainya bubur oat sama buah."

Demi Tuhan aku ingin menyerang dan membantingnya ke lantai, tapi sekuat tenaga kutahan karena masih teringat nasihat mama sebelum pindah kesini.

"Teh, mama nitip pesen satu aja ke teteh ya. Jangan kebawa emosi. Jangan bar-bar dirumah mertua teteh. Keluarga mas Yandri sekarang keluarga teteh juga. Tahan diri, tahan emosi."

***

"Nih sarapan ala bule," ucapku seraya meletakkan sebuah mangkok di hadapan Ana. Mata gadis itu yang menatap tak percaya membuat perutku sakit karena harus menahan tawa.

"Iyuuuuh, apaan nih? Sampah?!" bentaknya keras.

Emosiku naik ke level tertinggi mendengar bentakannya. Dan ya, sebisa mungkin kutahan hawa panas karena kesal yang sudah memenuhi kepalaku.

"Itu kan sarapan ala bule yang kamu minta. Bubur oat sama buah. Karena kita ga punya oatmeal jadi gantinya teteh bikin dari Indomie yang diremukin terus dijadiin bubur. Nah, buat buahnya, adanya cuma kedondong, ya udah pake itu aja. Intinya ngga pake nasi 'kan?"

Sepasang mata dihadapanku melotot dan dalam hitungan detik melemparkan mangkuk berisi hasil masakan mahakaryaku ke lantai. Suaranya cukup nyaring dan membuka sumbat emosiku. Tanpa sadar aku menggebrak meja makan hingga terjungkal. Meja makan dirumah ini sebenarnya bukan meja makan, tapi meja lipat dengan keempat kakinya dibagian tengah --kalau tidak bisa membayangkan, silakan g****e saja--. Itu sebabnya, saat aku menggebraknya di satu sisi, meja itu jadi terjungkal.

Ekspresi kaget jelas kentara diwajah gadis berpenampilan tante-tante itu. Masih dengan rasa kesal yang belum terpuaskan, aku memunguti bekas pecahan mangkok dan pergi ke arah dapur.

"Biasa sarapan gorengan aja sok-sokan mau makan ala-ala bule! Norak!" aku berucap ketus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status