PLAK ...! Sebuah tamparan mendarat di pipinya Mira. Mencetak lima jari persis seperti habis di stempel jari berwarna merah. Napas Mira memburu, ia tidak menyangka sama sekali kalau ia akan mendapatkan sebuah tamparan tepat di hadapan selingkuhan suaminya. Miya tersenyum mengejek puas ke arah Mira.
Mira menahan sesak di dadanya, ia meraih jarum infus yang terpasang di punggung tangannya dan langsung mencabutnya, lalu ia melempar Standar Infus itu ke arah Alan tanpa menghiraukan rasa sakit di punggung lengannya. Alan mengelak dan justru Standar Infus itu malah mengenai Miya yang sedang berlindung di belakangnya. Standar Infus itu tepat mengenai kepalanya Miya, dan Miya pun menjerit kesakitan dan langsung menangis mengadu pada Alan. Jelas saja Alan langsung meradang marah saat mendapati kepala kekasihnya benjol akibat terkena Standar Infus. Alan kembali marah tanpa pikir panjang ia langsung menyerang Mira. Tamparan demi tamparan mendarat di pipi Mira, ia bak orang yang kesetanan terus memukuli Mira tiada henti. "Awwhh! Sakit Mas!" teriak Mira. Alan bukannya berhenti ketika mendengar jerit tangis Mira, ia justru semakin meradang, sementara Miya terus tersenyum bahagia sekaligus mengejek. Ia menunjukan senyuman itu di hadapan Mira. Dara yang baru datang dari luar menghambur masuk dan langsung berteriak minta tolong, lalu ia langsung memeluk Mira dan mencoba menghentikan amukan Alan. Beberapa perawat masuk untuk menghentikan tindakan Alan dengan memegangi pinggangnya. Tapi Alan terus merangseg maju dan PLAK! sebuah tamparan menyadarkannya. "Dasar laki-laki tak tahu diri, di mana hati nuranimu, hah!" sentak Dara marah. Alan yang baru sadar menatap Mira yang mukanya sudah penuh dengan cap jarinya dan seluruh wajahnya lebam akibat tamparan dan pukulan darinya. "Mira sayang maafkan aku, sungguh aku tidak sengaja. Aku di luar kesadaranku," ucap Alan memelas. Ia mencoba menghampiri Mira tapi kemudian di tahan oleh para perawat laki-laki. "Bawa orang gila ini keluar! Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi! Tunggu gugatan cerai dariku Mas!" bentak Mira sambil meringis kesakitan sambil memegangi pipinya yang bengkak. Alan dan Miya keluar dari kamar, Mira langsung menangis tak kuasa menahan rasa sakit di hatinya. Ia tidak mengira kalau Alan akan berbuat begitu brutal hanya demi menjaga kekasihnya alias selingkuhannya. Dara memeluk Mira, ia juga meneteskan air mata. Mereka menangis bersama. Dua hari sudah Mira di rawat di rumah sakit, kini ia sudah di izinkan pulang. Mira tidak mau kembali ke rumah neraka itu. "Aku tidak mau kembali ke sana, Dara," lirih Mira. "Tak apa kamu tidak kembali ke sana, tapi setidaknya kamu harus mengumpulkan bukti perselingkuhan mereka sebagai bukti untuk melancarkan proses perceraianmu," saran Dara. "Tapi ..." Mira menggantung ucapannya. "Aku mengerti perasaanmu, tapi bertahanlah sedikit lagi demi kebebasanmu," pinta Dara dengan meyakinkan Mira bahwa apa yang sekarang ia lakukan semata untuk kebebasannya dari laki-laki durjana seperti Alan. "Tolong carikan aku seorang pengacara," pinta Mira pada Dara sahabatnya. "Tanpa kamu minta aku sudah mencarikannya untukmu seorang pengacara, jika kamu mau aku bisa mengantarkanmu untuk menemuinya," ucapan Dara membuat Mira tenang. "Tidak salah aku punya sahabat sepertimu," ucap Mira sambil memeluk Dara. "Terima kasih, Bestie," sambung Mira. "Itu sudah kewajibanku. Kita tidak hanya sahabatan tapi lebih dari itu," ucap Dara. "Apa maksudmu lebih dari itu?" tanya Mira. "Maksudku kita seperti saudara. Pikiranmu sudah dipenuhi oleh debu jadi harus di sapu," terang Dara. Mira tertawa mendengar ucapan Dara, sudah sejak lama rasanya ia tidak merasakan bahagia seperti saat ini. Sudah sejak kedatangan Miya dalam hidupnya ia tidak pernah tertawa lepas seperti ini. Dara mengantar Mira ke rumahnya. Ia masuk tanpa mengucap salam seperti yang biasa ia lakukan. Mira langsung masuk ke kamarnya, begitu terkejutnya ia saat Miya dengan santainya sedang rebahan di atas kasur miliknya. "APA YANG KAMU LAKUKAN DI KAMARKU, HAH! DASAR PELAKOR MURAHAN!" teriak Mira marah. Miya yang dikatai pelakor murahan tak terima ia langsung menerjang Mira. Ia menjambak rambut Mira dan Mira sengaja tak membalasnya, ia membiarkan Miya melakukan apa yang ingin ia lakukan. Mira langsung merekam tindakan Miya. Tindakan Mira membuat Miya terkejut dan membeku. "Kenapa berhenti?" cibir Mira. "Apa yang kamu lakukan, hah!" tanya Miya gugup. "Tidak ada," jawab Mira. Sambil memasukkan kembali handphone ke saku celananya. "Cepat serahkan handphonemu, apa yang sudah kamu lakukan? Merekam tindakanku 'kan?" tanya Miya sambil terus menggapai Mira yang terus menghindari darinya. Ia enggan harus meladeni orang seperti Miya, ia ingin berendam untuk menyegarkan tubuhnya yang terasa lelah. Tapi begitu terkejutnya ia ketika membuka lemarinya, ternyata tak ada sehelai baju pun miliknya. Mira menatap nanar Miya. pasti semua ini kelakuan pelakor sialan itu. "Kamu kemanakah seluruh pakaianku Miya!" sentak Mira marah. "Aku sudah memindahkannya di kamar bawah, dan kamar ini sudah menjadi milikku bersama Mas Alan," Miya tersenyum bangga. Mira justru menjawabnya dengan sudut bibir atasnya yang terangkat, ia tersenyum sinis. "Oh!" hanya kata itu yang Mira keluarkan dari bibirnya. Lalu Mira keluar dari kamar yang dulu ia tempati bersama Alan suaminya, Miya yang melihat Mira keluar menghentakan kakinya kesal. Awalnya ia ingin melihat Mira kesal dan marah lalu ia akan mengejek sepuasnya. Mira membuka pintu kamar yang ada di lantai bawah, dulu kamar ini biasa ia pakai untuk saudara-saudaranya Alan yang datang berkunjung. Kamarnya tidak seluas miliknya, tapi ini jauh lebih baik daripada ia harus tetap sekamar dengan Alan. Keesokan harinya Mira mendatangi Alan di ruang kerjanya, ia kembali membawa surat cerai di tangannya. Mira tanpa mengetuk langsung masuk ke ruang kerja suaminya. Betapa terkejutnya ia, matanya seketika membola penuh. Nafasnya terasa sesak seketika.Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke