Share

5. Surprise

Author: Rinai Hening
last update Last Updated: 2023-07-24 15:50:24

"Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini.

"Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kata Mbak Ajeng?" Aku balik bertanya.

"Iyalah, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar.

"Rumor says it, bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku.

"Ya ... kan, rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," akuku sembari mengulum senyum.

"Tuuh kan bener," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik.

"Berengsek! sakit Nath!"

"Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu."

"Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku tersenyum manis karena kepindahanku ke kantor pusat disambut bahagia oleh kedua sahabatku, meskipun belum serah terima secara resmi.

"Entar kalau udah official, kita-kita ditraktir dong, Bu Redaktur Pelaksana," goda Anin sambil mengguncang lenganku. Anin dan perut gratisannya dari dulu memang sudah tersohor seantero Gayatri.

"Beres pokoknya, beres." Aku menaikturunkan alis. “Kalian mau ditraktir apa hayuk aja, starbucks gimana?”

"Ya udah buruan kelarin sarapannya, abis itu kita nyebrang," seru Anin sambil mengendikkan dagu ke seberang jalan, di mana gedung tempat kami bekerja berada.

Makanan sudah tandas, hanya menyisakan potongan daun selada yang memang menjadi musuhku selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia. Sedangkan di sebelahku, Nathan langsung melanjutkan kegiatann makannya. Tadi dia bilang kelaparan, makanya pesan dua porsi, eh ternyata sekarang malah hampir menyerah saat harus menghabiskannya.

"Masih ada lima belas menitan lagi, Anin. Santai dikit ah," gerutuku setelah membersihkan ujung bibir dengan selembar tissue.

"Lo lupa kalau Bu Nad itu perfectionist banget, telat satu detik juga doi bakalan tau, Mel," kelakar Anin disambut gelak tawa Nathan.

"Eh iya ya? duh gue nggak tau, kan belum pernah jadi 'anaknya' langsung."

"Laaah makanya, buruan deh makannya. Anak pindahan kayak lo kan malah harus persiapan juga buat kenalan ke tim yang lain. Jangan sampe duluan Bu Nad yang naik ke lantai tujuh."

Ah... iya, Bu Nad si paling perfectionis, itu adalah panggilan para staf kantor untuk Bu Nadia, pimpinan redaksi kami yang baru menjabat menggantikan posisi ayahnya. Mungkin sekitar delapan atau sembilan bulan ke belakang beliau memimpin Gayatri Publishing. Aku bahkan belum pernah sekalipun bertemu secara langsung dengan boss cantik yang satu itu. Hanya sekilas saja melihatnya dari foto-foto yang disebar anak-anak kantor lewat percakapan grup.

Kalau boleh jujur, Bu Nadia ini sangat cantik, masih muda juga. Mungkin usianya hanya terpaut lima atau enam tahun di atasku. Dari wajahnya sih terlihat kalem, tapi entah lagi kalau nanti bekerja secara langsung di bawah naungannya. Namun ada satu hal yang mengganjal, wajah Bu Nadia ini rasanya tak asing bagiku. Pokoknya sangat-sangat familiar deh, sayangnya aku lupa, di mana tepatnya pernah melihat atau bertemu beliau.

"Tapi Bu Nadia baik, kan?" tanyaku lagi pada Anin dan Nathan begitu kami keluar dari resto.

"Baik kok, asal kerjaan lo beres tanpa cela." Nathan yang pertama kali menjawab.

"Gue sih yakin kerjaan Meli pasti tanpa cela, kalo nggak, nggak bakalan dia naik jabatan kayak sekarang. Iya tak?" goda Anin sambil menjawil daguku. Beruntungnya aku punya mereka berdua di kantor pusat, setidaknya hari-hari pertama di kantor tak akan sekaku bayanganku semula.

"Woiya jelas dong, setidaknya gue bakal dapat ruangan sendiri, bukan lagi kubikel."

Aku terbahak sambil mengibaskan rambut panjangku hendak meledek. Namun satu tanganku gegas ditarik mundur oleh Anin saat sebuah mobil hitam melintas di sebelah kami dan berhenti di lobby kantor.

"Sstt ... stt ... tuh kan Bu Nad udah dateng," seru Anin mengendikkan dagu ke arah mobil yang baru saja berhenti. Gadis itu langsung menyeret tanganku agar kami bertiga berjalan sedikit lebih cepat.

Benar, itu memang Bu Nadia yang kami bicarakan barusan. Setelah menutup pintu belakang mobil, perempuan cantik itu membuka pintu depan mobil di sebelah kursi penumpang. Satu detik kemudian seorang anak kecil melompat keluar dan menggandeng tangan Bu Nadia. Lucu sekali, itu pasti anaknya, usianya sekitar enam atau tujuh tahun.

"Ayo buruan!" Anin kembali menarik tanganku saat berbelok di pintu utama. Nathan sendiri malah sudah berjalan beberapa meter di depan kami dan menekan tombol lift untuk kami.

"Kenapa sih, nyapa aja nggak apa-apa kali, Nin. Nggak bakalan kena SP," dengkusku pada Anin.

"Kerjaan gue ada yang kurang, gue baru inget kalau ada satu naskah yang belum gue kirim email. Anjir sumpah, anjir!!" Ternyata karena Anin yang kelupaan dengan kerjaannya sendiri, tanganku sampai jadi korban tarik-tarikan gini. Ckk ... ini anak nggak sembuh-sembuh juga ternyata penyakit 'the power of kepepet'-nya.

“Kebiasan banget lo!” 

"Bye, Jagoan, nanti siang ayah jemput ya. Sekarang ikut sama bunda dulu."

Deg ... suara itu!

Aku membeku seketika hingga tanpa sadar menarik pergelangan tanganku dari genggaman Anin. Bodoh amatlah kalau gadis itu sampai memekik gemas.

"Mel, ayo!"

"Lo duluan aja deh, Nin," ucapku tanpa menoleh lagi. Karena perhatianku langsung tersita pada suara familiar yang baru saja kudengar. Suara yang berasal dari balik kemudi mobil yang ditumpangi Bu Nadia tadi.

Tak mau dihantui rasa penasaran, aku langsung mundur beberapa langkah dan berhenti di depan meja resepsionis. Tersenyum basa-basi pada dua gadis yang menjaga di sana, masih gadis yang sama dengan beberapa tahun silam. Meski sebelumnya aku bekerja di kantor cabang, aku juga terhitung sering berkunjung ke kantor pusat untuk kepentingan pekerjaan. Jadi wajar saja kalau aku tak asing dengan wajah-wajah pekerja di gedung ini. Apalagi untuk bagian front liner.

"Ayo langsung naik, Nak." Kali ini suara pelan Bu Nadia yang terdengar. Perempuan itu melambaikan tangan sekilas ke arah mobil lalu melangkah masuk bersisian dengan putranya.

Aku melongokkan kepala ke depan lobby, tapi sayang aku tak sempat melihat pria di balik kemudi yang suara beratnya mendadak mengacaukan pikiranku.

"Pagi, Bu Nadia."

"Pagi,"

"Pagi, Bu Nad,"

"Iya, pagi,"

Sapaan demi sapaan saling bersahutan menyambut kedatangan pimpinan redaksi Gayatri Publishing. Aku yang sempat membeku kembali menormalkan raut wajah kemudian ikut tersenyum dan menyapa beliau.

"Pagi," sapaku melebarkan senyum.

"Pagi juga," balas Bu Nadia ikut tertular senyum. Sambil berlalu menuju lift, aku ikut mengantre di belakang Bu Nadia dengan beberapa karyawan lain. Tak sepenuhnya karyawan Gayatri, tapi juga ada staff dari perusahaan lain yang ada di lantai dua dan tiga gedung ini.

"Ke Gayatri juga, Mbak?" tanya Bu Nadia dengan ramah saat aku ikut berhenti di lantai tujuh. Wajar beliau merasa asing dengan wajahku, meski sudah kupoles sedemikian rupa pagi ini. Kami memang tak pernah bertemu secara langsung, kalaupun pernah itu hanya lewat pertemuan daring alias virtual meeting.

"Eh iya, Bu Nadia. Hmm... saya Melisa Hanum yang dimutasi ke pusat perhari ini," jawabku sedikit kikuk sambil mengangguk hormat.

"Astaga, kamu Melisa Melisa itu. Sorry, sorry ... saya beneran pangling ini. Setau saya kamu pake kacamata soalnya."

Pasti Bu Nadia membaca resume milikku yang ada di bagian HRD. Memang waktu itu aku masih mengenakan kacamata silinder, tapi sekarang jarang kugunakan karena bisa kuatasi dengan lensa kontak. Lebih modis saja menurutku daripada harus mengenakan kacamata.

“Dulu emang pake kok, Bu. Sekarang udah nggak lagi.”

“Pantesan anak-anak dari kemaren udah rame aja ngomongin kamu, ternyata secantik ini.” Aku membalas pujian Bu Nadia hanya dengan ringisan lebar.

“Ayo masuk barengan, sekalian saya kenalin ke tim baru kamu.”

Aku mengangguk penuh semangat setiap kali atasanku ini memperkenalkanku ke semua staff di lantai tujuh. Ada satu dua orang yang sudah aku kenal sebelumnya, tapi juga ada staff baru yang benar-benar baru aku lihat hari ini. Satu hal yang membuat pagiku semakin ceria, ternyata Nathan masuk menjadi salah satu senior editor di timku, lain halnya dengan Anin yang lebih ke tugas-tugas jurnalistik.

“Mel, sebelum jam makan siang ke ruangan saya di sebelah ya, ada hal yang harus saya jelaskan langsung sebelum serah terima sama Yuni,” pesan Bu Nadia saat meninggalkan ruanganku sambil menggandeng putra tampannya yang sedari tadi sibuk dengan miniatur mobil di tangannya.

“Siap, Bu.”

 Setengah hari pertama ternyata cepat sekali berlalu. Setelah menyalakan laptop, menyusun rencana kerja juga merapikan beberapa berkas di meja baruku, aku gegas menuju ke ruangan Bu Nadia yang berada persis di sebelah ruanganku sepuluh menit sebelum jam makan siang. Hanya mengetuk dua kali, aku langsung mendorong pintu begitu mendengar suara Bu Nadia yang mempersilakan aku masuk. Keputusan yang sepertinya aku sesali karena mengakibatkan dentuman hebat yang menyerang jantungku. Karena di sana, bukan hanya wajah tenang Bu Nadia yang menyambutku, melainkan ada satu sosok yang pagi tadi membuat kacau syaraf di otakku.

“Lis- Lisa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Merindu Suamimu   39. Timeless (END)

    Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S

  • Merindu Suamimu   38. Whatta Surprise

    “Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka

  • Merindu Suamimu   37. Get Closer

    "Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n

  • Merindu Suamimu   36. Keputusan

    Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb

  • Merindu Suamimu   35. Deja Vu

    "Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman

  • Merindu Suamimu   34. Petuah Papa

    Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status