Home / Rumah Tangga / Merindu Suamimu / 6. Pengacau Hati

Share

6. Pengacau Hati

Author: Rinai Hening
last update Last Updated: 2023-07-28 15:35:41

Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini.

“Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku.

“Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. 

Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri.

“Gue tungguin di meja gue deh, ya? mau ngajakin Nathan sekalian.” Anin mengedipkan satu matanya lantas menutup pintu. Bagaimana bisa aku menolak ajakan Anin dan Nathan di hari pertama kami bergabung di kantor yang sama.

“Oke, sepuluh menit lagi gue susul,” putusku pada akhirnya.

Belum sampai sepuluh menit, terdengar suara pintu ruang kerjaku dibuka perlahan.

“Sabar Nin,” lirihku sambil menggeser kursor di layar laptop.

“Li- sa,” jelas itu bukan suara Anin. Suara berat yang bisa membuatku merinding seperti ini hanya milik Bang Pino seorang.

Saat aku mengangkat wajah, baru kusadari kalau ini memanglah bukan bunga tidur. Namun memang kenyataan yang harus aku hadapi dengan tangguh dan lapang dada meskipun nantinya akan mengulang rasa perih yang sama.

“P- Pak?” jawabku serupa cicit anak tikus. Bagaimanapun dia adalah suami atasanku, nggak mungkin kan kalau aku panggil dengan sebutan Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tahunan silam. Terdengar sangat alay sekali.

Ah, rasanya memang sudah saatnya aku mengubah panggilan Pino-Pino itu menjadi Fino, agar tak terdengar seperti Meli di usia belia yang masih terjebak di masa lalu dengan segala kenangan yang- jujur saja- masih melekat sampai detik ini. Mungkin awalnya akan sulit terbiasa, tapi sepertinya memang harus aku coba secepatnya.

Fino. Fino. Just, Fino!

Pak Fino, bukan Pino, Pinpin ataupun Bang Pino!

“Ka- kamu kerja di sini?” Dengan satu tangan Bang Fino sedikit menutup pintu. 

Aku hanya memberi anggukan sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. Jujur saja, aku masih bingung dengan pertemuan kami yang di luar prediksi sepert ini. 

“Baru?” tanya Bang Fino mengangkat satu alisnya.

“Baru dimutasi ke pusat sejak hari ini lebih tepatnya,” ralatku cepat-cepat tanpa berani membalas tatapan Bang Fino yang berkemungkinan kembali melemahkan benteng di dalam hatiku.

“Kabar kamu gimana, Lisa?”

Jujur, kini aku membenci suaranya saat memanggil namaku dengan sebutan Lisa yang sangat khas ‘dia’ sekali. Rasanya seperti ditarik pada masa beberapa tahun silam di mana kami berdua masih sama-sama terlena dengan sensasi cinta pertama. Aku terutama, kalau dia, mungkin saja saat itu hanya memanfaatkan keluguanku akan yang hal yang berkaitan dengan asmara.

“Ba- baik, Pak,” jawabku tergeragap lantas melarikan pandangan ke mana saja asal tak terpaku pada binar matanya.

“Pak?” tanya Bang Pino dengan nada meledek.

Ini tak bisa dilanjutkan! Jantungku rasanya hampir meledak setiap kali mendengar suaranya yang masih sama seperti tujuh tahun silam. Di mana aku dibuat bertekuk lutut tak berdaya dengan segala perhatiannya.

“Lis—”

“Terus maunya dipanggil apa? Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tujuh tahun lalu gitu? No! udah beda jauh keadaannya!” potongku tegas saat tak bisa lagi menahan gejolak aneh yang mendadak muncul di dalam kepalaku. “Jelas-jelas Pak Fino suami dari atasan saya, jadi saya harus berlaku sopan kan?”

“Tapi kita kan—”

“Maaf saya sudah ditunggu temen yang lain,” potongku lagi membuang pandangan ke arah meja. “Lagian nggak enak sama Bu Nadia kalau Pak Fino terlalu lama si ruangan saya.”

“Nadia lagi ke kamar kecil sama Nando.”

Oh, jadi nama anaknya Nando. Sebenarnya aku tak perlu tahu, dan memang tak ingin tahu juga. Ckk, lagian kenapa pula pria ini tiba-tiba muncul lagi setelah kejutan tadi sih? Nggak takut sama bininya apa? Percakapan ini harus segera berakhir. Aku benci saat mendengar Bang Fino menyebut nama Bu Nadia ataupun putra mereka. Ada bagian hatiku yang ngilu kala pria itu tanpa sengaja menceritakan keluarga kecilnya. Aneh kan?

"Maaf, Pak, tapi saya sudah ditunggu." Bodoh amat kalau dia menganggapku menghindar. Nyatanya aku memang menghindar kok. Berdekatan dengan ex crush yang dulu aku cintai setengah mati namun kini sudah menjadi suami orang ternyata tak baik untuk kesehatan jantungku. Dasar Meli lemah!!

"Jangan menghindar," sergah Bang Fino menahan lengan kananku.

"Saya nggak menghindar, Pak," kilahku memberanikan diri menatapnya nyalang.

"Tapi, Lis—“

Sial, aku benci situasi seperti ini. Apalagi saat tiba-tiba kedua mataku sepet terasa semakin memanas kala sekilas saja menatap netra teduh milik Bang Fino.

Menghembuskan napas pelan, akhirnya Bang Fino bergeser satu langkah untuk memberiku jalan. Tak mau melewatkan kesempatan, aku langsung membuka pintu hendak keluar. Sayangnya aku justru bertemu dengan Bu Nadia yang sedang menggandeng putranya.

"Kamu di sini, Hesta?" sepertinya Bu Nadia melihat suaminya yang masih mematung di ruanganku. Perempuan cantik itu tersenyum padaku lantas mengalihkan pandangannya pada sang suami. Siapa lagi kalau bukan Bang Fino, aah ... tapi ternyata di sini ia punya panggilan lain yang baru kuketahui. Bang Hesta, not bad, tapi masih terasa asing di telingaku.

"Hmm, aku kira masih jadi ruangan Mbak Yuni. Tadinya mau pinjam Gayatri News edisi terbaru. Ternyata pemilik ruangannya sudah ganti pemilik ya?" Bisa saja nih manusia membual dan mencari alasan dengan cepatnya.

Sumpah, aku tak berani menoleh dan menatap pria jangkung itu ataupun menelaah raut wajah Bu Nadia. Tapi aku bisa merasakan aura dingin saat Bang Fino berjalan melewati bahuku.

"Iya, Melisa ini yang gantiin Mbak Yuni jadi managing editor. Baru hari ini masuk kerja, tadi udah kenalan kan?"

"Udah dong, udah kenal." Saat bertemu lagi beberapa saat lalu, kami berdua memang seolah tersihir karena sama-sama membatu di tempat. Jadi saat Bu Nadia memperkenalkan Bang Fino sebagai ayah dari putranya, aku hanya manggut-manggut sambil menunduk malas.

“Saya permisi duluan ya, Bu. Sudah ditunggu temen yang lain mau makan siang bareng.” Secepat kilat aku menghias wajah datarku dengan senyum ramah. Jangan sampai atasan baruku ini menganggapku bawahan yang tak tahu sopan santun karena memasang wajah tak bersahabat.

“Oh, oke, silakan Meli. Cepet banget akrab sama yang lain ya?”

“Kan dulu sering juga ada kerjaan di kantor pusat, Bu. Apalagi sama Nathan juga satu alumni, jadi kami sudah kenal lama,” seruku masih mempertahankan senyum palsu.

“Alumni mana memangnya?”

Aku memejam sesaat ketika Bang Fino menyambar percakapan.

“Kalau Nathan lulusan UI, kamu juga dong?” suara Bu Nad kembali mengalun.

Duuh, males banget terjebak basa-basi lagi kan! Anin mana sih!

“Iya, gitu deh,” balasku asal.

“Ayah, ayo! Aku udah ngantuk banget ini.”

Oh, God!!  aku harus berterima kasih pada bocah tampan yag menjadi putra atasanku ini. Setidaknya rengekan singkatnya bisa menyelamatkanku dari percakapan tak berfaedah dengan sepasang suami istri yang membuat hatiku kelonjotan tak nyaman ini.

“Mari, Bu. Saya duluan kalua begitu.”

Bu Nadia mengangguk sambil tersenyum, lalu sibuk mengekor putranya yang kini berpindah ke gendongan Bang Fino. Aku sempat melirik keluarga kecil itu saat ketiganya di sebelahku.

Family goals banget kan? harusnya aku ikut senang karena lelaki yang pernah   aku cintai kini hiudp dengan bahagia. Namun anehnya, hatiku malah kalut dan merasa ngilu. Bahkan tanpa sadar sedari tadi aku hanya mematung sambil menekan-nekan dada kiriku demi menenangkan detak nyeri yang lancang datang tak mau pergi.

"Lo kenapa?" tepukan Nathan membangunkanku dari lamunan. 

"Ngelamun?"

"Dikit," jawabku singkat.

"Ngelamun kok pake nangis?"

Anin mengulurkan jari telunjuk untuk mengusap basah di sudut mataku. Sial, ternyata benar aku menangis. Tangisan tak berguna yang lagi-lagi tumpah karena pria sialan yang baru saja mengacaukan hati dan pikiranku.

"Siapa yang nangis?"

"Eh, Pak Hesta. Balik lagi, Pak?" Anin mengangguk hormat. Aku tak perlu repot menoleh, karena sudah tahu siapa pemilik suara itu.

"Iya, mainan si Nando ketinggalan di meja bundanya," suara berat Bang Fino terdengar sangat dekat di sisi kananku. "Tadi siapa yang nangis?"

Aku semakin membuang muka tak ingin pria itu mendapati sembab di wajahku, atau bahkan mendengar dentuman jantungku.

"Melisa tuh, Pak," sahut Anin lagi sembari mengendikkan dagu ke arahku.

"Kelilipan Nin," kilahku mengedipkan kelopak mata beberapa kali sambil mencondongkan wajah ke arah Anin.

"Diih, ada gitu kelilipan sampe mata dua-duanya?" Anin manyun seolah tam percaya dengan kalimatku. Memang sih aju berdusta, tapi tolonglah setidaknya sekali ini saja percaya, Nin!!

"Baru hari pertama pindah ke kantor pusat kok sedih," ujar Bang Fino seakan mengajakku bercanda dengan ramahnya.

Kampret!

***

Rinai Hening

Mbak Mel, kuat-kuatin ya kerja sama cewek yang bikin cemburu sampe ke ubun-ubun…. 😂😂

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Merindu Suamimu   39. Timeless (END)

    Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S

  • Merindu Suamimu   38. Whatta Surprise

    “Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka

  • Merindu Suamimu   37. Get Closer

    "Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n

  • Merindu Suamimu   36. Keputusan

    Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb

  • Merindu Suamimu   35. Deja Vu

    "Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman

  • Merindu Suamimu   34. Petuah Papa

    Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status