Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini.
“Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku.
“Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino.
Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri.
“Gue tungguin di meja gue deh, ya? mau ngajakin Nathan sekalian.” Anin mengedipkan satu matanya lantas menutup pintu. Bagaimana bisa aku menolak ajakan Anin dan Nathan di hari pertama kami bergabung di kantor yang sama.
“Oke, sepuluh menit lagi gue susul,” putusku pada akhirnya.
Belum sampai sepuluh menit, terdengar suara pintu ruang kerjaku dibuka perlahan.
“Sabar Nin,” lirihku sambil menggeser kursor di layar laptop.
“Li- sa,” jelas itu bukan suara Anin. Suara berat yang bisa membuatku merinding seperti ini hanya milik Bang Pino seorang.
Saat aku mengangkat wajah, baru kusadari kalau ini memanglah bukan bunga tidur. Namun memang kenyataan yang harus aku hadapi dengan tangguh dan lapang dada meskipun nantinya akan mengulang rasa perih yang sama.
“P- Pak?” jawabku serupa cicit anak tikus. Bagaimanapun dia adalah suami atasanku, nggak mungkin kan kalau aku panggil dengan sebutan Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tahunan silam. Terdengar sangat alay sekali.
Ah, rasanya memang sudah saatnya aku mengubah panggilan Pino-Pino itu menjadi Fino, agar tak terdengar seperti Meli di usia belia yang masih terjebak di masa lalu dengan segala kenangan yang- jujur saja- masih melekat sampai detik ini. Mungkin awalnya akan sulit terbiasa, tapi sepertinya memang harus aku coba secepatnya.
Fino. Fino. Just, Fino!
Pak Fino, bukan Pino, Pinpin ataupun Bang Pino!
“Ka- kamu kerja di sini?” Dengan satu tangan Bang Fino sedikit menutup pintu.
Aku hanya memberi anggukan sebagai jawaban atas pertanyaannya tadi. Jujur saja, aku masih bingung dengan pertemuan kami yang di luar prediksi sepert ini.
“Baru?” tanya Bang Fino mengangkat satu alisnya.
“Baru dimutasi ke pusat sejak hari ini lebih tepatnya,” ralatku cepat-cepat tanpa berani membalas tatapan Bang Fino yang berkemungkinan kembali melemahkan benteng di dalam hatiku.
“Kabar kamu gimana, Lisa?”
Jujur, kini aku membenci suaranya saat memanggil namaku dengan sebutan Lisa yang sangat khas ‘dia’ sekali. Rasanya seperti ditarik pada masa beberapa tahun silam di mana kami berdua masih sama-sama terlena dengan sensasi cinta pertama. Aku terutama, kalau dia, mungkin saja saat itu hanya memanfaatkan keluguanku akan yang hal yang berkaitan dengan asmara.
“Ba- baik, Pak,” jawabku tergeragap lantas melarikan pandangan ke mana saja asal tak terpaku pada binar matanya.
“Pak?” tanya Bang Pino dengan nada meledek.
Ini tak bisa dilanjutkan! Jantungku rasanya hampir meledak setiap kali mendengar suaranya yang masih sama seperti tujuh tahun silam. Di mana aku dibuat bertekuk lutut tak berdaya dengan segala perhatiannya.
“Lis—”
“Terus maunya dipanggil apa? Bang Pino atau Bang Pinpin seperti tujuh tahun lalu gitu? No! udah beda jauh keadaannya!” potongku tegas saat tak bisa lagi menahan gejolak aneh yang mendadak muncul di dalam kepalaku. “Jelas-jelas Pak Fino suami dari atasan saya, jadi saya harus berlaku sopan kan?”
“Tapi kita kan—”
“Maaf saya sudah ditunggu temen yang lain,” potongku lagi membuang pandangan ke arah meja. “Lagian nggak enak sama Bu Nadia kalau Pak Fino terlalu lama si ruangan saya.”
“Nadia lagi ke kamar kecil sama Nando.”
Oh, jadi nama anaknya Nando. Sebenarnya aku tak perlu tahu, dan memang tak ingin tahu juga. Ckk, lagian kenapa pula pria ini tiba-tiba muncul lagi setelah kejutan tadi sih? Nggak takut sama bininya apa? Percakapan ini harus segera berakhir. Aku benci saat mendengar Bang Fino menyebut nama Bu Nadia ataupun putra mereka. Ada bagian hatiku yang ngilu kala pria itu tanpa sengaja menceritakan keluarga kecilnya. Aneh kan?
"Maaf, Pak, tapi saya sudah ditunggu." Bodoh amat kalau dia menganggapku menghindar. Nyatanya aku memang menghindar kok. Berdekatan dengan ex crush yang dulu aku cintai setengah mati namun kini sudah menjadi suami orang ternyata tak baik untuk kesehatan jantungku. Dasar Meli lemah!!
"Jangan menghindar," sergah Bang Fino menahan lengan kananku.
"Saya nggak menghindar, Pak," kilahku memberanikan diri menatapnya nyalang.
"Tapi, Lis—“
Sial, aku benci situasi seperti ini. Apalagi saat tiba-tiba kedua mataku sepet terasa semakin memanas kala sekilas saja menatap netra teduh milik Bang Fino.
Menghembuskan napas pelan, akhirnya Bang Fino bergeser satu langkah untuk memberiku jalan. Tak mau melewatkan kesempatan, aku langsung membuka pintu hendak keluar. Sayangnya aku justru bertemu dengan Bu Nadia yang sedang menggandeng putranya.
"Kamu di sini, Hesta?" sepertinya Bu Nadia melihat suaminya yang masih mematung di ruanganku. Perempuan cantik itu tersenyum padaku lantas mengalihkan pandangannya pada sang suami. Siapa lagi kalau bukan Bang Fino, aah ... tapi ternyata di sini ia punya panggilan lain yang baru kuketahui. Bang Hesta, not bad, tapi masih terasa asing di telingaku.
"Hmm, aku kira masih jadi ruangan Mbak Yuni. Tadinya mau pinjam Gayatri News edisi terbaru. Ternyata pemilik ruangannya sudah ganti pemilik ya?" Bisa saja nih manusia membual dan mencari alasan dengan cepatnya.
Sumpah, aku tak berani menoleh dan menatap pria jangkung itu ataupun menelaah raut wajah Bu Nadia. Tapi aku bisa merasakan aura dingin saat Bang Fino berjalan melewati bahuku.
"Iya, Melisa ini yang gantiin Mbak Yuni jadi managing editor. Baru hari ini masuk kerja, tadi udah kenalan kan?"
"Udah dong, udah kenal." Saat bertemu lagi beberapa saat lalu, kami berdua memang seolah tersihir karena sama-sama membatu di tempat. Jadi saat Bu Nadia memperkenalkan Bang Fino sebagai ayah dari putranya, aku hanya manggut-manggut sambil menunduk malas.
“Saya permisi duluan ya, Bu. Sudah ditunggu temen yang lain mau makan siang bareng.” Secepat kilat aku menghias wajah datarku dengan senyum ramah. Jangan sampai atasan baruku ini menganggapku bawahan yang tak tahu sopan santun karena memasang wajah tak bersahabat.
“Oh, oke, silakan Meli. Cepet banget akrab sama yang lain ya?”
“Kan dulu sering juga ada kerjaan di kantor pusat, Bu. Apalagi sama Nathan juga satu alumni, jadi kami sudah kenal lama,” seruku masih mempertahankan senyum palsu.
“Alumni mana memangnya?”
Aku memejam sesaat ketika Bang Fino menyambar percakapan.
“Kalau Nathan lulusan UI, kamu juga dong?” suara Bu Nad kembali mengalun.
Duuh, males banget terjebak basa-basi lagi kan! Anin mana sih!
“Iya, gitu deh,” balasku asal.
“Ayah, ayo! Aku udah ngantuk banget ini.”
Oh, God!! aku harus berterima kasih pada bocah tampan yag menjadi putra atasanku ini. Setidaknya rengekan singkatnya bisa menyelamatkanku dari percakapan tak berfaedah dengan sepasang suami istri yang membuat hatiku kelonjotan tak nyaman ini.
“Mari, Bu. Saya duluan kalua begitu.”
Bu Nadia mengangguk sambil tersenyum, lalu sibuk mengekor putranya yang kini berpindah ke gendongan Bang Fino. Aku sempat melirik keluarga kecil itu saat ketiganya di sebelahku.
Family goals banget kan? harusnya aku ikut senang karena lelaki yang pernah aku cintai kini hiudp dengan bahagia. Namun anehnya, hatiku malah kalut dan merasa ngilu. Bahkan tanpa sadar sedari tadi aku hanya mematung sambil menekan-nekan dada kiriku demi menenangkan detak nyeri yang lancang datang tak mau pergi.
"Lo kenapa?" tepukan Nathan membangunkanku dari lamunan.
"Ngelamun?"
"Dikit," jawabku singkat.
"Ngelamun kok pake nangis?"
Anin mengulurkan jari telunjuk untuk mengusap basah di sudut mataku. Sial, ternyata benar aku menangis. Tangisan tak berguna yang lagi-lagi tumpah karena pria sialan yang baru saja mengacaukan hati dan pikiranku.
"Siapa yang nangis?"
"Eh, Pak Hesta. Balik lagi, Pak?" Anin mengangguk hormat. Aku tak perlu repot menoleh, karena sudah tahu siapa pemilik suara itu.
"Iya, mainan si Nando ketinggalan di meja bundanya," suara berat Bang Fino terdengar sangat dekat di sisi kananku. "Tadi siapa yang nangis?"
Aku semakin membuang muka tak ingin pria itu mendapati sembab di wajahku, atau bahkan mendengar dentuman jantungku.
"Melisa tuh, Pak," sahut Anin lagi sembari mengendikkan dagu ke arahku.
"Kelilipan Nin," kilahku mengedipkan kelopak mata beberapa kali sambil mencondongkan wajah ke arah Anin.
"Diih, ada gitu kelilipan sampe mata dua-duanya?" Anin manyun seolah tam percaya dengan kalimatku. Memang sih aju berdusta, tapi tolonglah setidaknya sekali ini saja percaya, Nin!!
"Baru hari pertama pindah ke kantor pusat kok sedih," ujar Bang Fino seakan mengajakku bercanda dengan ramahnya.
Kampret!
***
Mbak Mel, kuat-kuatin ya kerja sama cewek yang bikin cemburu sampe ke ubun-ubun…. 😂😂
Ini benar-benar mau gila. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak fokus pada wajah si mempelai wanita. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pestanya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja
"Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh.Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga."Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir.“Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?"Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hat
"Selalu ada rasa yang tak tuntas jika itu tentang dia," gumamku lirih saat membaca sepenggal kalimat dalam naskah terjemahan yang pagi ini masuk ke emailku untuk final check. Kenapa kalimat itu seolah menyindirku ya, atau aku saja yang terlalu sensitif belakangan ini. Jujur saja, satu minggu pertama bekerja di kantor pusat membuat jantungku sedikit tak sehat. Bagaimna tidak, aku dan Bang Fino seolah berbagi peran menjadi Tom and Jerry yang hobby main petak umpet. Pokoknya apapun akan kulakukan demi tak bertemu dengan lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatiku berdebar menyedihkan. Sepertinya pernyataan Anin yang menyebutkan bahwa suami boss kami itu jarang muncul di kantor tak berlaku lagi. Karena belum ada setengah jam yang lalu pria jangkung itu mondar mandir di depan ruang kerjaku. "Mel, makan!" pekik suara Nathan jelas terdengar saat ia membuka pintu kaca di ruang makan kerjaku. "Gue lagi ngejar deadline, Nath. Satu jam lagi gue kirim ke bagian printing," dustaku sambil
"Elo kok jadi diem mulu dari tadi, Mel?" Nathan menoleh sesekali ke arahku ketika kami sedang dalam perjalanan pulang. Nathan yang menawarkan tumpangan karena Anin hari ini dijemput sang kekasih tercinta. Aku hanya berdeham singkat merespon pertanyaannya. "Gue ada salah ngomong ya?" "Pikir aja sendiri!" semburku menahan kesal. Jalanan di depan kami masih sangat padat merayap. Padahal aku sengaja mengambil lembur beberapa jam, dengan harapan jalanan bisa sedikit lengang. Namun ternyata prediksiku salah besar, ibu kota dan jalanan macetnya tak pernah lekang dimakan waktu. "Hah?" Nathan menautkan alisnya saat kembali menoleh ke arahku. "Makan malam dulu deh, sumpek gue liat macet. Tapi lebih sumpek lagi kalau ada temen gue ngambek!" Nathan dan kepekaannya memang juara. Apalagi dia masih mengingat kebiasaan ngambekku yang selalu bisa diredakan dengan makanan lezat. Buktinya sekarang, pria itu malah membelokkan arah mobilnya ke salah satu mall dan menarik lenganku menuju restoran Jepang
"Kopi atau rotinya nggak cocok sama selera kamu?" tanya Mas Hanif ketika kami berdua duduk bersebelahan di dalam mobilnya.Sore ini aku mengiyakan tawaran Mas Hanif yang berniat mengantarku pulang karena kedua sahabatku yang lain, Anin dan Nathan melanjutkan kencannya dengan pasangan masing-masing. Daripada aku menjadi nyamuk di antara mereka lebih baik aku pulang saja kan? Berteman dengan bantal dan kasur sepanjang malam minggu sepertinya bukan ide buruk untuk dicoba."Eh gimana maksudnya, Mas?"Tak langsung menjawab, Mas Hanif malah tersenyum tipis saat sekilas menoleh padaku. "Kamu jadi lebih pendiam sejak balik dari coffee shop. Saya kira karena rasanya kurang cocok sama selera kamu.""Oh..." aku paham maksudnya. "Bukan karena itu kok, rotinya super duper enak. Kopinya juga," imbuhku sambil mengangkat paper bag berisi roti dan beberapa kue lain yang dibawakan oleh Mas Hanif untukku. Tak hanya untukku sebenarnya, Anin dan Nathan juga mendapat bingkisan serupa. Kata Mas Hanif untuk
“Untungnya hatiku baik-baik saja sejauh ini,” jawabku mencari aman. Padahal kalau mau jujur, aku bisa saja mengatakan hatiku sedang hancur terkoyak karena kenyataan kini Bang Fino sudah menjadi suami dari atasanku di kantor. “Kalau baik-baik saja, kenapa harus berbohong?” “Bohong?” ulangku mengerutkan kening. Bang Fino tertunduk sambil tersenyum miring. “Bohong tentang suami pecemburu kamu. Kamu bohong kan waktu itu? karena yang aku dengar … kamu sendiri saat ini?” Aku memejam sejenak, menggali ingatan saat makan siang beberapa waktu lalu. Ketika teman-temanku tanpa sengaja membahas tentang kesendirianku setelah berpisah dengan Bayu, lalu … terkuaklah semuanya. Nathan sialan! Sambil mengulur waktu aku meraih gelas tinggi yang berisi leci mojito dan menyesapnya pelan. “Ya begitulah,” balasku pelan lantas merebahkan punggung pada sandaran kursi. Bang Fino menatapku tanpa putus. Namun ia juga bungkam seribu bahasa seolah sedang membaca gerak tubuhku dalam pikirannya. “Sejak kapan?”
"Astaga, Bu Boss, butek banget sih, itu muka atau air kobokan basi sih?" goda Nathan begitu aku melewati meja kerjanya."Sialan! gue kepret juga lo ya...""Heh, jangan judes-judes, ntar jodohnya jauh baru tau rasa ya!" sambung Nathan masih punya nyali.Aku mendelik sambil berkacak pinggang di sebelah mejanya. "Kadang gue heran deh sama Windy, kenapa dia bisa ketipu sama cowok mulut ember kayak lo, Nath?"Bukannya tersinggung, Nathan justru tergelak kencang sampai beberapa staff lain menoleh ke arah kami. Aku sontak melempar satu buah stabilo dan tepat mengenai keningnya."Elo serem kalau lagi banyak deadline, Mel. Kacau ya meeting tadi, sampe bikin lo sensitif gini?" Nathan bergidik saat mengambil stabilo yang kulemparkan tadi."Bukan karena deadline atau meeting tadi sih," gumamku lantas menarik kursi di depan meja sahabatku ini."Terus karena apa?" Kali ini wajah Nathan berubah menjadi mimik yang lebih serius.'Karena mantan pacar yang kini jadi suami atasan muncul lagi!' teriak bat
Ternyata benar, bercerita bisa membuat beban pikiran kita berkurang secara drastis. Terbukti dengan entengnya pikiran dan hatiku setelah berkeluh kesah panjang kali lebar dengan Nathan kemarin sore. Meski akhirnya sahabatku itu malah kalap setelah mendengar semua ceritaku, terutama tentang pertemuan-pertemuan kebetulanku dengan Bang Fino. Entah itu saat di area parkir kantor, di coffee shop Mas Hanif atau di apartemen yang kutinggali. Kata Nathan aku harus super duper hati-hati dengan pria beristri yang punya gelagat seperti Bang Fino. "Kalau sampai seorang pria beristri mendadak deketin mantannya lagi, kemungkinan besar perselingkuhan akan terjadi di antara mereka. Hati-hati, Meli." Begitu pesan Nathan sesaat sebelum kami berpisah karena dia melanjutkan sesi makan dan jalan-jalan dengan Windy. Sedangkan aku langsung beranjak pulang karena merasa kekenyangan. Aku hanya tergelak saat mendengar Nathan mewanti-wanti. Ya kali, aku mau dijadikan selingkuhan dari suami boss sendiri, diih .