LOGINSophia melangkah keluar dari kamar mandi, dengan memakai bathrobe dan rambut yang dililit oleh handuk. Kembar sedang ada di kamar pengasuh, jadi dia bisa sedikit bersantai, paling tidak untuk sejenak.
Sophia hendak bermaksud mengambil pakaian, tetapi seketika suara nada dering telepon membuatnya langsung menoleh kemudian meraih ponsel itu dan menatap layar sejenak nama ‘Margareth’ terpampang jelas di sana.
Kening Sophia mengerut dalam di kala melihat Margareth menghubunginya. Rasa penasaran di dalam dirinya muncul. Detik itu juga yang dilakukannya adalah meraih ponselnya, dan mengangkat panggilan itu.
“Halo, Margareth,” sapa Sophia dengan suara ramah.
“Sophia, bisakah kau datang ke butikku sore ini? Anna ingin melihat kembali gaun pengantin yang telah kita sepakati beberapa hari yang lalu. Dia sangat bersemangat sekali,” ucap Margareth dengan nada ceria dan bersemangat dari seberang sana.
Sophia melirik ke arah jam dinding berbingkai emas yang menggantung di atas televisi. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore. “Baiklah. Aku akan ke sana. Mungkin aku akan sedikit terlambat. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” jawabnya dengan lembut.
Jujur, Sophia ingin bersantai sejenak untuk satu atau dua jam, lalu mengajak kembar ke taman. Namun, sepertinya dia harus mengurungkan niatnya. Sebab, pekerjaan menantinya. Dia tak ingin menyia-nyiakan pekerjaan yang susah payah dia dapatkan.
“Baiklah. Jangan terlalu lama, ya. Anna sudah tidak sabar,” ujar Margareth lagi sebelum menutup telepon.
Sophia menatap ponsel yang kini sunyi, lalu menoleh ke pintu—di mana kembar dan Amy kini sudah masuk ke dalam kamarnya. Lantas, dia menatap ke arah Caleb dan Chloe yang masih asyik bermain. Tampak jelas di wajah anak kembar itu tergambar kebahagiaan polos khas anak-anak.
Caleb kini sedang berusaha menyeimbangkan dua balok besar, sedangkan Chloe menyodorkan satu balok lagi dengan cengiran lebar. Seketika hati Sophia terasa berat. Dia ingin tetap bersama anak-anaknya, menyaksikan momen kecil seperti ini yang semakin jarang dia nikmati karena kesibukan. Namun, panggilan kewajiban tak bisa dia abaikan.
“Amy,” panggil Sophia pelan.
Seorang perempuan muda dengan rambut dikuncir rapi segera menghampiri. “Iya, Nyonya?” jawabnya sopan.
“Tolong temani Caleb dan Chloe terlebih dulu, ya. Aku harus pergi ke butik Margareth. Jika terjadi sesuatu, tolong segera hubungi aku,” kata Sophia sambil menyentuh lengan Amy.
Amy mengangguk sambil tersenyum sopan. “Baik, Nyonya. Saya akan menjaga kembar sebaik mungkin.”
Sophia berbalik menghampiri kedua anaknya. Dia berlutut, lalu mengusap kepala mereka dengan penuh kasih. “Caleb, Chloe. Mommy ada urusan sebentar. Kalian di sini dulu dengan Amy. Mommy tidak akan lama,” ujarnya dengan nada lembut.
“Okay, Mommy!” sahut anak kembar itu serempak.
Sophia masuk ke kamar mandi lagi, mengganti pakaiannya dengan dress yang simple. Pun dia memakai riasan tipis agar tidak mengulur waktu lama. Detik selanjutnya di kala dia sudah selesai berias, dia segera pergi dan tampak anak kembar itu sama-sama melambaikan tangan mungil mereka ke arah Sophia.
Sophia tersenyum, dan memberikan kiss bye pada kedua anaknya. Hal yang membuatnya tenang anak-anaknya hari ini tidak rewel. Jadi, paling tidak dia bisa pergi dengan nyaman tanpa rasa khawatir. Dia beruntung memiliki Amy, pengasuh yang begitu menyayangi kembar. Biasanya juga Joana turut menjaga kembar, tetapi sahabatnya itu masih memiliki urusan di Paris, sampai belum bisa menyusulnya ke New York.
***
Taksi yang membawa Sophia berhenti di depan butik mewah milik Margareth Alford. Wanita cantik itu mengeluarkan uang tunai, dan memberikan pada sang sopir taksi, lalu kini dia melangkah masuk ke dalam butik mewah itu.
Namun, ketika Sophia melangkah masuk ke dalam, detik itu juga langkahnya terhenti mendadak saat matanya menangkap sosok pria yang dia kenali berdiri tak jauh dari lift. Tampak raut wajahnya berubah. Dia sudah yakin akan bertemu dengan sosok itu. Bagaimana tidak? Sosok pria yang tak ingin dia lihat adalah calon suami dari kliennya.
Lucas berdiri santai mengenakan celana jeans, dan kaos berkerah berwarna navy. Pria tampan itu tak memakai pakaian formal. Dia tampak sangat menawan dan gagah. Kaus itu begitu pas membalut tubuh kekarnya. Dia kini masih belum menyadari kehadiran Sophia.
Seketika jantung Sophia berdetak lebih cepat. Napasnya tercekat. Dia memutuskan menghindar, tetapi belum sempat dia berbalik sepenuhnya, suara berat dan dalam yang sangat dikenalnya menyapa dari belakang.
“Kau ke sini rupanya?” tanya Lucas, dengan suara beratnya.
Sophia menengguk ludah. Tidak ada jalan lain, dia tidak bisa lari sekarang, karena Lucas telah melihatnya. “A-aku—”
“Margareth yang memintamu datang?” ulang Lucas memastikan.
Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Lucas.
“Mereka ada di lantai lima. Aku baru datang. Anna sudah lebih dulu,” ucap Lucas dingin, memberi tahu.
“Ah, begitu.” Sophia kembali mengangguk.
Lucas menekan tombol lift. “Cepatlah masuk.”
Sophia tersentak. “K-kita satu lift?”
“Tujuan kita sama. Kita sama-sama ingin ke lantai lima. Akan sangat lama jika kau harus menunggu. Cepat masuk,” titah Lucas dingin, dan menegaskan.
Sophia terdiam sebentar, keraguan muncul di wajahnya. Wanita cantik itu merasa tak nyaman jika berada di dalam satu lift dengan Lucas. Apalagi dirinya hanya berdua saja dengan pria itu. Namun, apa yang dikatakan Lucas benar bahwa jika dia tidak naik lift sekarang, maka akan membuat Margareth serta Anna menunggunya terlalu lama.
Sophia tak memiliki jalan lain. Dia meneguhkan dirinya bahwa dia datang ke butik Margareth untuk pekerjaan. Detik itu juga, dia masuk ke dalam lift bersama dengan Lucas—dan langsung menimbulkan keheningan yang membentang.
“Kenapa kau datang terlambat?” tanya Lucas lebih dulu, dengan nada dingin, memecah keheningan yang ada.
Sophia mencoba bersikap wajar dan menegakkan tubuhnya tanpa mau mantan suaminya itu. “Aku baru saja menyelesaikan urusan lain.”
Lucas mengangguk singkat, menanggapi.
Keheningan kembali menyelimuti. Sophia berdiri kaku, kedua tangannya menggenggam tali tas erat-erat. Matanya menatap angka-angka lantai yang berubah perlahan, tapi pikirannya berputar cepat. Ada pertanyaan yang menggantung di dadanya, dan sebelum sempat dia tahan, suara hatinya mewujud menjadi kata.
“Kenapa kau tidak datang bersama Anna?” tanya Sophia perlahan, mencoba tetap terdengar tenang meski detak jantungnya mulai terasa tidak stabil setelah kejutan pertemuan tak terduga itu.
Lucas menoleh, mata pria tampan itu tak menampilkan ekspresi yang bisa ditebak. “Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan lebih dulu. Jadi, aku menyusul,” ucapnya singkat, dengan nada yang masih dingin.
Sophia mengangguk kecil. Tak ada lagi kata yang bisa dia keluarkan. Keheningan kembali menyelimuti ruang sempit di dalam lift itu, hanya diselingi suara mekanis lembut dari kabel yang bergerak di poros lift.
Hingga tiba-tiba …
Dukk.
Lift berhenti mendadak dengan hentakan kecil. Tubuh mereka sedikit terguncang ke depan. Lampu di dalam lift berkedip cepat beberapa kali, sebelum akhirnya menyala redup, seolah-olah kehilangan sebagian tenaganya.
Sophia langsung membelalak. “Apa … apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara yang mulai bergetar. Dia melangkah cepat ke panel lift dan mulai menekan tombol-tombol satu per-satu dengan panik. Namun tidak ada reaksi. Angka lantai di layar digital pun tidak berubah.
“Sepertinya lift ini macet,” ucap Lucas datar, dan mencoba tetap tenang sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia menatap layar sebentar, kemudian menghela napas panjang dan mengumpat pelan, “Tidak ada sinyal. Seperti biasa,” lanjutnya dengan nada kesal bercampur umpatan.
Sophia mundur perlahan ke pojok lift. Napas wanita cantik itu mulai memburu. Matanya bergerak gelisah menatap ke segala arah—langit-langit, pintu logam, lantai—seakan mencari jalan keluar yang tak ada. Tangannya mulai gemetar, dan bibirnya bergetar saat dia berusaha berkata sesuatu.
Lucas mengerutkan kening melihat wajah pucat mantan istrinya itu. Dia mengenali ekspresi itu. Itu bukan sekadar ketakutan biasa. “Sophia?” panggilnya lembut. “Hei … lihat aku,” titahnya meminta Sophia menatapnya.
Namun Sophia seolah tidak mendengarkan ucapan Lucas. Wajah wanita itu semakin pucat. Napasnya tersengal. Tangannya terjulur, mencari pegangan di dinding lift. Matanya semakin kabur, dan tubuhnya melemas seperti tak lagi mampu menyangga beban dirinya sendiri.
“L-Lucas a-aku … tidak bisa … bernapas…,” bisik Sophia lemah sebelum tubuhnya terjatuh ke depan.
Lucas bergerak cepat dan menangkapnya sebelum tubuh itu menghantam lantai logam. Pria itu langsung memeluk Sophia dengan erat, menopang kepala Sophia di bahunya. “Sophia! Hei, jangan pingsan! Dengar aku!” katanya panik sambil menepuk pipi Sophia perlahan. Tidak ada respons. Napas Sophia masih ada, tetapi sangat lemah.
Dengan satu tangan, Lucas menekan tombol darurat berkali-kali seraya mencoba melihat ponselnya berharap ada sinyal, tetapi sialnya ada sinyal di dalam lift rasanya itu mustahil. Tampak jelas kepanikan di wajahnya muncul, apalagi melihat Sophia sudah jatuh pingsan.
Ruangan lift yang sempit membuat pasokan oksigen berkurang. Itu yang membuat Sophia tak mampu bertahan. Apalagi wanita itu dilanda rasa cemas dan ketakutan yang mendera. Jadi, wajar jika sekarang Sophia jatuh pingsan.
Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu, hingga akhirnya terdengar suara gesekan logam dari luar. Lift kembali bergerak pelan, dan pintunya perlahan terbuka. Namun Lucas belum sempat merasa lega ketika sosok seseorang berdiri tepat di depan pintu lift—Anna.
Anna menatap Lucas dengan mata yang membelalak, tidak hanya karena keterkejutan, tapi karena cemburu yang menggelegak begitu saja saat melihat Lucas tengah menggendong wanita lain dalam pelukannya.
“Lucas?” panggil Anna cemas.
Lucas menoleh cepat dengan tangan masih mendekap tubuh Sophia.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau … menggendong Sophia?” tanya Anna, matanya bergeser tajam ke wajah Sophia yang pingsan.
“Dia pingsan. Lift macet, dan dia panik. Aku tidak sempat melakukan apa pun selain menangkapnya,” jelas Lucas cepat.
“Ya Tuhan, Sophia.” Margareth muncul, terlihat sangat panik melihat Sophia pingsan.
Lucas menatap dingin Margareth. “Kau harus segera memanggil teknisi. Liftmu macet, dan membuat Sophia ketakutan sampai pingsan.”
“Astaga!” Margareth semakin panik, dan dilingkupi rasa bersalah.
“Kita bawa Sophia ke klinik terdekat sekarang,” kata Anna tegas, meski nada cemburu masih terpatri jelas di suaranya.
“Kita pakai lift yang lain. Jangan lift ini,” tambah Margareth dengan nada cemas.
Lucas hanya mengangguk dan mengikuti Margareth menuju lift yang lain/ Pria tampan itu menggendong Sophia dengan hati-hati. Tampak orang-orang di lorong butik menoleh dan berbisik-bisik, tetapi Lucas tidak peduli. Sementara Anna berjalan cepat, diam-diam menggenggam jemarinya sendiri untuk menahan gejolak emosi.
Setibanya di klinik, dua perawat langsung menghampiri dan membawa Sophia ke ruang pemeriksaan. Lucas menurunkan Sophia ke ranjang pasien dengan lembut, seolah enggan melepaskannya, sebelum mundur perlahan.
Lucas duduk di kursi tunggu, wajahnya tegang, kening berkerut dalam. Sesekali, tangannya menggenggam dan membuka kembali, tanda dia menahan kegelisahan yang mulai membakar pikirannya.
Anna berdiri di sudut ruangan, bersandar pada dinding, menatap Lucas tanpa kata. Ekspresi wajahnya berubah, dari terkejut, menjadi waspada, kemudian terluka. Dia melihat semuanya—wajah cemas Lucas, cara dia menyebut nama Sophia, cara dia memeluknya seakan wanita itu sangat berarti dalam hidup tunangannya itu.
Beberapa menit berlalu. Suasana masih hening hingga akhirnya Anna membuka suara, datar tetapi tajam. “Kenapa bisa hanya kalian berdua di lift?” tanyanya kemudian.
Lucas mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu menghela napas berat. “Aku tidak tahu dia akan datang saat itu juga. Aku hanya ingin menyusulmu, lalu lift macet dan—”
“Dan kau menyelamatkannya. Ya, aku lihat itu. Bahkan aku melihat jelas kecemasanmu.” Anna menyilangkan tangan di dada, dengan raut wajah menunjukkan kecemburan. “Kau terlihat sangat khawatir bahkan lebih dari seharusnya, Lucas!”
Matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti garis langit kota New York. Saat sinar pertama menyentuh permukaan kaca gedung pencakar langit yang menjulang, jalanan mulai berdenyut dengan kehidupan. Udara terasa segar, membawa aroma kopi yang baru diseduh dari kafe di sudut jalan, berpadu dengan wangi manis bunga sakura yang mekar di Central Park.Pelari, mengenakan pakaian berwarna cerah, melintasi jalur setapak, langkah mereka berirama, bergema di tengah kicauan burung yang ceria. Tampak seorang musisi jalanan mengalunkan melodi lembut dengan gitarnya, nada-nada itu melayang di udara seperti bisikan harapan. Pun dari kejauhan, siluet ikonik Patung Liberty berdiri megah, mengingatkan akan ketahanan dan kebebasan.Pagi yang indah di New York, membawa kedamaian jiwa. Sophia duduk di kursi taman bersama dengan Joana. Dia memperhatikan khusus kembar yang bermain dengan anak-anak yang baru dikenal. Ada Amy yang selalu setia menemani kembar.Ya, hari ini
“Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d
“Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f
Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat
Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,
Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai







