Beranda / Romansa / Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku / Bab 12. Cemburu yang Seharusnya Tidak Ada

Share

Bab 12. Cemburu yang Seharusnya Tidak Ada

Penulis: Michaella Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-05 06:14:17

Lucas menghela napas berat dan memijat pelipisnya. Gerakan kecil itu seperti usaha terakhir untuk menjaga agar benaknya tetap jernih, tak terombang-ambing oleh kemarahan yang mulai merambat dari dada ke ubun-ubun. Nada suaranya tetap tenang, meski dari getarannya, jelas dia berusaha menahan emosi.

“Tidak perlu berlebihan, Anna! Jangan pernah berpikir buruk tentang aku,” ucap Lucas seraya menatap dingin ke wajah Anna. “Aku hanya menolong Sophia yang tiba-tiba pingsan di dalam lift. Tidak ada yang lebih dari itu.”

Anna mendengkus lirih. Ekspresinya mencampurkan amarah dan kekecewaan, dua rasa yang tak bisa disembunyikan meski bibirnya tetap terkatup rapat. Matanya tampak tajam dan gelap, menatap Lucas menunjukkan rasa tak percaya.

“Kalian hanya berdua di lift, dan itu hanya sebuah kebetulan?” Nada bicara Anna tajam dan menyayat. Mata wanita cantik itu menyipit, menyelidik seolah hendak membaca kebenaran dari raut wajah tunangannya itu.

Lucas menganggukkan kepalanya dengan yakin tanpa adanya keraguan sedikitpun. “Ya! Itu kebetulan. Dan kalau kau tidak lupa ingatan, kau sendiri yang memintaku menemanimu ke butik di saat aku sedang sibuk. Aku sudah berusaha meluangkan waktu demi dirimu. Sekarang kau menuduhku macam-macam hanya karena menyelamatkan seorang wanita? Ck! Akal sehatmu sudah tidak berfungsi, Anna. Cemburumu tidak masuk akal. Apa aku tidak boleh menolong orang?!” jawabnya dengan nada tajam.

Anna masih menatap Lucas dengan tatapan ragu. Namun, seketika perkataan Lucas membuatnya tersadar bahwa kecemburuan membuat logikanya seakan mati—tak berfungsi dengan baik.

“Aku minta maaf. Aku terlalu cemburu, sampai marah. Padahal kau sudah meluangkan waktu untukku,” ucap Anna, dengan nada sedikit lembut.

Lucas menghela napas panjang. Tidak menanggapi ucapan tunangannya itu yang sudah meminta maaf. Bukan bermaksud mengabaikan, hanya saja rasa cemas dalam dirinya masih menggerogoti karena Sophia ada di dalam ruang pemeriksaan. Ya, di dalam Sophia ditemani oleh Margareth, sedangkan Lucas dan Anna menunggu di luar.

Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Dokter berdiri di ambang pintu, dan membuat Lucas serta Anna berjalan cepat mengampiri sang dokter.

“Bagaimana dengan Sophia?” tanya Lucas cemas.

Anna yang ada di samping Lucas, melirik tunangannya itu, tak suka di kala Lucas menunjukkan rasa cemas pada wanita lain. Namun, dia harus mengendalikan diri, karena tak ingin Lucas marah.

“Maaf, apa Anda suami Nyonya Carter?” tanya sang dokter, yang sontak membuat raut wajah Lucas berubah—termasuk Anna yang tampak kesal.

“Bukan. Aku hanya orang yang membantunya saat lift macet. Bagaimana keadaannya?” tanya Lucas lagi dengan nada tenang. Tak menampik bahwa debar jantungnya berdebar tak karuan, di kala dokter menanyakan itu. Dulu, dia sebagai suami Sophia, tetapi sekarang berubah.

Sang dokter mengangguk. “Tindakan Anda sudah tepat membawa Nyonya Carter ke rumah sakit. Saat ini Nyonya Carter sudah siuman. Beliau sudah membaik. Jika Anda ingin menjenguk, dipersilakan.”

“Terima kasih,” jawab Lucas tampak lega.

“Dengan senang hati, Tuan. Saya permisi.” Dokter itu pamit undur diri, lalu Lucas masuk ke dalam ruang rawat Sophia bersama dengan Anna yang selalu menemani.

Lucas masuk ke dalam ruang rawat, menatap Sophia yang sudah siuman. Tampak Margareth yang selalu ada di samping Sophia menunjukkan rasa perhatian yang luar biasa. Entah, dia tak mengerti hatinya mendorongnya ingin lebih dekat lagi, tetapi geraknya terhenti di kala Anna memeluk lengannya dengan erat—seakan tak ingin dirinya jauh.

“Sophia, kau dibawa ke rumah sakit dengan Lucas. Dia begitu sigap membantumu. Beruntung kau di dalam lift macet itu tidak sendiri. Sekali lagi maafkan aku. Aku sudah meminta asistenku untuk memanggil teknisi memeriksa lift agar tidak ada korban lagi,” ujar Margareth yang masih merasa bersalah.

Sophia terdiam sebentar mendengar apa yang dikatakan oleh Margareth. Kepingan memorinya langsung mengingat kejadian di dalam lift, di mana lift macet, dan rasa panik serta cemas yang mendera, membuatnya jatuh pingsan.

“Terima kasih, Tuan Collins,” ucap Sophia dengan bahasa formal pada Lucas.

Lucas mengangguk singkat, menanggapi ucapan Sophia. “Aku senang kau sudah pulih,” jawabnya dengan nada tenang.

Anna yang berdiri di samping Lucas, tampak tak suka dengan ucapan ramah Lucas pada Sophia. Padahal dia tahu bahwa tunangannya itu selalu bersikap dingin pada orang lain. Hatinya kembali membara dengan api cemburu, tetapi dia berusaha untuk mengatasi.

“Nona Kendrick, aku minta maaf untuk kejadian hari ini,” ucap Sophia berbicara dengan bahasa formal pada Anna.

Anna langsung merasa iba di kala Sophia sudah meminta maaf padanya.

“Aku dilanda rasa takut sampai membuat cemasku muncul. Dan, ya, kalau bukan karena bantuan tunanganmu, aku tidak tahu bagaimana diriku,” jawab Sophia dengan nada tenang.

Anna mulai melukiskan senyuman di wajahnya. “Jangan formal padaku, Sophia. Tidak masalah. Yang penting kau selamat,” jawabnya yang memilih untuk bersikap bijak, meski cemburu masih ada.

Tak lama kemudian, suara derit pintu terdengar menandakan ada orang masuk ke dalam ruangan itu. Tampak semua orang kini menatap Jacob yang sudah muncul. Tatapan pria itu langsung tertuju pada Sophia yang terbaring lemah di ranjang.

“Hi, Sophia,” sapa Jacob ramah.

Mata Sophia melebar tak percaya melihat Jacob ada di depannya. “Jacob? Kau di sini?” tanyanya dengan nada bingung.

Jacob mengangguk. “Ya, Bibiku menghubungiku saat kau pingsan. Aku panik, dan membuatku langsung ke sini.”

Sophia melirik Margareth, meminta penjelasan.

Margareth tersenyum malu. “Sophia, aku meminta Jacob datang, mungkin dia bisa membantumu. Lagipula, kau kan sudah mengenalnya.”

Sophia menghela napas dalam. “Margareth, aku baik-baik saja. Aku tidak mau sampai menyusahkan Jacob.”

“Sama sekali tidak menyusahkanku, Sophia. Aku malah senang Bibiku memberi tahu kau ada di sini. Kebetulan, aku juga ada urusan di sekitar wilayah ini. Jadi, sekalian aku bisa datang,” jawab Jacob dengan nada tenang.

Sophia tersnenyum. “Terima kasih, Jacob.”

“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Jacob cemas.

Sophia mengangguk. “Ya, seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.”

“Dokter bilang Sophia bisa langsung pulang. Kondisinya tidak parah,” sambung Margareth memberi tahu.

Jacob mengangguk. “Aku senang mendengarnya.”

Lucas yang mendengar percakapan antara Sophia dan pria bernama Jacob. Tampak jelas sorot matanya menatap dingin Jacob. Rahangnya bahkan sampai mengetat seakan menunjukkan menahan gejolak api amarah yang membentang di dalam diri. Skspresinya sulit dibaca. Namun, di balik tatapan datarnya, bergemuruh sesuatu yang tak ingin dia akui—cemburu.

Ya, rasa cemburu yang menyesakkan. Meski Lucas tahu tak seharusnya ada perasaan itu, tapi dia sendiri tak mengerti. Dia sadar bahwa dia bukan lagi suami Sophia. Dia dan Sophia telah bercerai. Hubungannya dengan wanita itu telah berakhir dan dia endiri yang memilih jalan itu. Bahkan sekarang dia sedang bersiap menikah dengan Anna, wanita yang telah dijodohkan oleh ibunya.

Namun tetap saja, di kala Lucas melihat Jacob menatap Sophia sehangat itu, dan mendengar nada suara Jacob yang begitu peduli, membuat dadanya terasa nyeri, seperti ada yang meremas bagian paling dalam hatinya.

“Aku akan mengantarmu pulang, Sophia,” ucap Jacob tiba-tiba.

Sophia terkejut. “Jangan, Jacob. Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu. Sungguh, aku bisa pulang sendiri.”

“Aku tidak yakin kau cukup kuat untuk pulang sendiri. Biarkan aku mengantarmu,” ucap Jacob lagi. 

“Jacob, tapi—”

“Sophia, apa yang dikatakan Jacob benar. Kau pasti belum cukup kuat untuk pulang sendiri. Biarkan Jacob yang mengantarmu. Kau tidak usah repot-repot harus memesan taksi,” potong Margareth membujuk.

Jacob tersenyum penuh kemenangan. “Well, Bibiku mendukung aku mengantarmu, Sophia. Jadi, aku rasa kau tidak boleh menolak niat baikku.”

Sophia menghela napas dalam, merasa benar-benar tak enak pada Jacob. Namun, dia sadar bahwa dirinya memang masih lemah. Jika nekat pulang sendiri, khawatir hal buruk menimpa dirinya.

“Baiklah, aku mau diantarmu, Jacob. Terima kasih,” jawab Sophia dengan nada tenang, dan lembut.

Jacob kembali tersenyum, di kala Sophia merima tawarannya.

Lucas kembali mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Pria tampan itu ingin sekali menyela, tetapi semua itu tak bisa. Pun dia ingin berkata bahwa dia bisa saja yang mengantar Sophia. Namun, mulutnya terkunci. Dia hanya menatap seperti orang bodoh Jacob dan Sophia, dengan mata yang semakin gelap, hatinya dipenuhi gejolak yang bahkan tak bisa dia jelaskan pada dirinya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 20. Penuh Rahasia

    Matahari mulai muncul di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang menyelimuti garis langit kota New York. Saat sinar pertama menyentuh permukaan kaca gedung pencakar langit yang menjulang, jalanan mulai berdenyut dengan kehidupan. Udara terasa segar, membawa aroma kopi yang baru diseduh dari kafe di sudut jalan, berpadu dengan wangi manis bunga sakura yang mekar di Central Park.Pelari, mengenakan pakaian berwarna cerah, melintasi jalur setapak, langkah mereka berirama, bergema di tengah kicauan burung yang ceria. Tampak seorang musisi jalanan mengalunkan melodi lembut dengan gitarnya, nada-nada itu melayang di udara seperti bisikan harapan. Pun dari kejauhan, siluet ikonik Patung Liberty berdiri megah, mengingatkan akan ketahanan dan kebebasan.Pagi yang indah di New York, membawa kedamaian jiwa. Sophia duduk di kursi taman bersama dengan Joana. Dia memperhatikan khusus kembar yang bermain dengan anak-anak yang baru dikenal. Ada Amy yang selalu setia menemani kembar.Ya, hari ini

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 19. Tinggal di Apartemen Baru

    “Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 18. Perlawanan Sophia Carter

    “Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 17. Sifat Tegas Sophia Carter

    Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 16. Tak Bisa Mengendalikan Diri

    Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 15. Ciuman Pakasaan

    Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status