Beranda / Romansa / Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku / Bab 10. Rasa Rindu dan Benci Melebur Menjadi Satu

Share

Bab 10. Rasa Rindu dan Benci Melebur Menjadi Satu

Penulis: Michaella Kim
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-04 20:36:52

Setelah tiba di hotel, Sophia mendorong pintu kamar dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya menenteng dua kantong belanjaan berisi camilan dan es krim kesukaan anak-anaknya. Langkah kakinya yang semula tergesa mulai melambat saat mendengar tawa kecil dari dalam kamar.

“Mommy datang!” seru Caleb dan Chloe dengan riang, melihat ibu mereka.

Sophia tersenyum, melihat kembar menghampirinya dari balik sofa. Caleb dan Chloe melompat-lompat kecil sambil menyambut kedatangannya. Mata mereka berbinar, pipi mereka merah merona karena kegirangan.

“Mommy!” pekik keduanya bersamaan.

“Ini es krim dan camilan kalian,” ucap Sophia menunjukkan dua kantong di tangannya.

Caleb dan Chloe tampak bahagia melihat dua kantong belanja yang ditunjukkan oleh ibu mereka. Detik itu juga, mereka langsung meraih kantong plastik yang berada di tangan Sophia, lalu duduk di sofa empuk dengan antusias yang sulit dikendalikan.

Chloe membuka wadah es krim stroberinya dengan tangan kecil yang sedikit belepotan, sedangkan Caleb mencolek es krim cokelatnya dengan sendok plastik berwarna hijau.

“Hmm ... enak!” seru Chloe dengan suara riang sambil menggoyangkan kedua kakinya yang menggantung di tepi sofa. Pipinya mengembung seperti hamster karena tak sabar mengunyah.

“Iya! Ini paling enak yang pernah aku makan!” tambah Caleb, dengan mulut belepotan cokelat hingga ke hidung. Dia tertawa sendiri melihat pantulan wajahnya di sendok.

Sophia duduk di samping mereka, membiarkan dirinya bersandar lelah pada sandaran sofa. Mata wanita cantik itu memandangi wajah ceria kedua buah hatinya yang begitu polos dan lugu. Ada senyum yang perlahan mengembang di bibirnya. Satu hari yang melelahkan bisa terasa ringan hanya dengan menyaksikan tawa tulus dari anak-anak itu.

“Mommy lihat, aku bisa makan tanpa tumpah!” seru Chloe bangga, meski pada kenyataannya tetesan merah muda sudah mengotori bajunya sedikit.

“Bagus sekali, Sayang,” ucap Sophia sambil tersenyum, lalu mengulurkan tisu dan menyeka sisa es krim yang menempel di dagu putrinya itu.

Namun, tak lama kemudian, Caleb yang duduk di samping Chloe menoleh. Tatapan bocah laki-laki itu berubah, tak lagi hanya dipenuhi kegembiraan es krim, melainkan ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Mata bulatnya yang bening menatap ke arah Sophia dengan serius, bibir mungilnya bergerak perlahan.

“Mommy,” panggil Caleb dengan suara pelan.

“Hmm?” sahut Sophia lembut sambil menoleh ke arahnya, alisnya sedikit terangkat.

“Ada apa, Sayang?” tanya Sophia lembut.

“Kenapa tadi Mommy minta kami pergi dari supermarket? Padahal kami belum selesai ambil camilan yang kami mau?” ujar Caleb hati-hati, dengan nada bingung dan polos. “Mommy tidak suka ya, lihat kami banyak ambil makanan?” tanyanya dengan pelan.

Pertanyaan itu menghantam pelan hati Sophia. Dia terdiam sejenak, matanya menatap kedua anaknya secara bergantian. Chloe yang semula asik menjilati sendok, kini ikut menoleh dan menatapnya penuh harap.

Sophia menghela napas kecil. Wanita cantik itu meletakkan tangannya di atas kepala Caleb, mengusap rambut halus bocah itu dengan kasih sayang, lalu menggeleng cepat-cepat, menepis segala prasangka yang mungkin terlanjur timbul dalam benak anak-anaknya.

“Bukan, Sayang. Mommy tidak akan pernah melarang kalian mengambil camilan atau makanan kesukaan kalian. Mommy senang lihat kalian bahagia,” ucap Sophia dengan lembut, mencoba menjaga agar suaranya tidak terdengar berat.

Sophia meraih tisu lain dan kembali membersihkan sisa es krim di wajah Chloe sambil melanjutkan, “Tadi itu, Mommy tiba-tiba dapat telepon penting dari klien. Mereka meminta Mommy segera datang ke lokasi untuk membahas pekerjaan.”

“Klien?” Chloe memiringkan kepala, ekspresinya bingung. “Apa itu klien?”

Sophia terkekeh pelan. “Klien itu orang yang bekerja sama dengan Mommy, Sayang. Mereka butuh Mommy untuk bantu urusan pekerjaan.”

Caleb menyipitkan mata. “Tapi ... bukankah kita ke New York untuk liburan?” tanyanya lagi, kali ini lebih lirih, seolah takut menyalahkan.

Sophia mengangguk pelan. Senyumnya tipis, tetapi matanya menyimpan bayangan lelah dan kepedihan yang berusaha disembunyikan.

“Kita memang liburan. Tapi Mommy juga ada tugas yang harus Mommy selesaikan di sini. Mommy sudah bilang, kan? Kita ke New York bukan hanya untuk jalan-jalan saja, tapi juga karena Mommy ada janji kerja,” jawab Sophia lembut.

Caleb tampak merenung. Tangannya yang masih menggenggam sendok kecil bermain-main dengan es krim yang mulai mencair. Setelah beberapa detik, dia mulai menganggukkan kepala pelan.

“Ya … aku ingat. Tapi kalau Mommy kerja terus, kapan kita bisa liburan bersama?” tanya Caleb polos. “Aku ingin lihat taman kota. Katanya ada air mancur!” lanjutnya dengan antusias.

Sophia menahan napas sejenak, lalu tertawa kecil dan mencubit hidung putranya dengan lembut. “Setelah kerjaan Mommy selesai, kita semua akan pergi ke taman itu. Kita akan makan hotdog, lihat air mancur, dan naik kereta kecil itu bersama-sama. Mommy janji.”

“Yay!” seru Chloe, melompat dari duduknya dan memeluk pinggang Sophia. “Mommy janji!”

Sophia memeluk putrinya erat-erat, lalu mengulurkan tangan untuk meraih Caleb dan menarik Chloe ke dalam pelukan hangat itu juga. Mereka bertiga terdiam sejenak dalam dekapan, hanya suara desiran AC dan tawa samar dari televisi yang menyala tanpa volume terdengar di latar.

Dalam hatinya, Sophia berdoa agar janji-janji kecil itu bisa dia tepati. Bahwa segala rasa lelah, beban kerja, dan kenangan pahit yang membayang di kota ini tak akan menghalangi kebahagiaan dua malaikat kecilnya. Sebab sejatinya, semua yang dia lakukan … hanyalah untuk anak-anaknya.

Sementara itu, di sisi lain, suasana jauh berbeda dari kehangatan yang menyelimuti kamar hotel tempat Sophia dan anak-anaknya berada. Tampak Lucas baru saja tiba di apartemennya. Dia melepas jasnya dengan gerakan cepat, lalu melonggarkan dasi yang sejak siang terasa mencekik. Dasi itu terjatuh di sofa tanpa dia hiraukan.

Langkah pria tampan itu membawa tubuh tegapnya masuk ke ruang kerja, sebuah ruangan yang rapi, dingin, dan terorganisasi sempurna seperti pemiliknya. Dia menghempaskan tubuh ke kursi putar, menyandarkan punggung sambil menarik napas dalam. Sorot matanya gelap, tajam, tetapi sekaligus tampak lelah. Jemarinya mengetuk permukaan meja, mengiringi aliran pikirannya yang berputar tak karuan.

“Kenapa aku merasa kau menyembunyikan sesuatu dariku, Sophia?” gumam Lucas perlahan, mengingat pertemuan tak terduga mereka di supermarket siang tadi. “Kau tampak gugup saat aku bertanya. Bahkan tanpa kau berkata apa pun, aku bisa melihatnya.” Suara Lucas nyaris seperti desis, rendah, tetapi mengandung tekanan emosional yang tak bisa ditutupi. Dia menggeleng pelan, senyum pahit menghiasi bibirnya.

Dengan gerakan malas, pria tampan itu membuka laci di bawah meja. Niat awalnya hanya mencari dokumen kerja—kontrak yang harus dia periksa sebelum rapat esok hari. Namun, jari-jarinya malah menyentuh sesuatu yang asing. Sebuah amplop cokelat lusuh terselip di antara tumpukan berkas formal. Dahinya langsung berkerut.

Pria itu menarik amplop itu perlahan dan membukanya. Terlihat di dalamnya, tersimpan sejumlah foto lama, sebagian sudah menguning di tepinya. Saat matanya menangkap salah satu foto di antara tumpukan itu, tubuhnya menegang. Tangannya berhenti bergerak, bahkan napasnya pun seolah tertahan.

Di foto itu, Lucas berdiri berdampingan dengan seorang wanita muda yang tersenyum cerah dalam balutan gaun putih elegan yaitu Sophia.

“Rupanya aku masih menyimpan foto ini,” ucap Lucas pelan.

Lucas menatap foto itu tanpa berkedip. Pandangan matanya menusuk, penuh luka yang belum sembuh. Di foto itu, dia dan Sophia berdiri di altar, dengan wajah penuh harapan dan cinta. Senyum Sophia begitu manis, dan Lucas dalam balutan jas abu-abu tampak menatap Sophia dengan penuh rasa memiliki. Namun semua itu kini hanya tinggal potret, artefak masa lalu yang menyakitkan.

Hati Lucas langsung mencelos. Rasa yang telah lama ditekan muncul kembali ke permukaan, bagai bara yang kembali disulut. Dia mengepalkan rahangnya. Dadanya terasa sempit, seolah ruangan itu menekannya dari segala arah.

Lucas meremas foto itu, jemarinya mencengkeram erat hingga sudut-sudut kertasnya terlipat kasar. Dia melemparkannya ke meja dengan gerakan penuh amarah. Kertas itu melayang ringan, lalu mendarat dengan bunyi nyaris tak terdengar.

“Berengsek ...,” gumam Lucas dengan penuh kebencian. “Kenapa aku harus melihat ini lagi?” tanyanya dengan nada marah.

Dia lalu berdiri dari kursinya dengan kasar, dorongan emosi membuat tubuhnya terasa panas. Langkahnya membawanya ke jendela besar yang menghadap cakrawala kota. Di balik kaca jendela itu, dia hanya melihat bayangannya sendiri—seseorang yang pernah percaya, pernah mencinta, dan akhirnya dikhianati.

“Sophia ... kau menghancurkan segalanya,” bisik Lucas nyaris tak terdengar. “Kenapa kau mengkhianatiku setelah kuberikan semua kepercayaan padamu?” lanjutnya meracau penuh emosi.

Lucas menunduk, tertawa pelan dengan suara parau, seperti tawa orang yang menyerah, bukan karena lemah, tetapi karena terlalu lama menahan luka yang tak bisa ditambal. Lantas, dengan mendadak, tawa itu berubah menjadi kemarahan yang meledak.

“Kenapa aku harus mengingat pelacur itu lagi?!” teriak Lucas begitu frustasi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 19. Tinggal di Apartemen Baru

    “Ingin minum?” tanya Jacob menawarkan wine pada Sophia, tepat di kala wanita itu sudah selesai berdansa. Meski dia tak menyukai di kala MC mengumumkan pertukaran pasangan saat dansa, tetapi dia harus menghargai acara bibinya itu.Sophia berdeham sebentar, berusaha mengatur emosi dalam dirinya. Dia harus tetap tenang, tak ingin sampai Jacob mengetahui bahwa tadi dia sempat berdebat dengan Lucas. Tidak. Dia tidak akan pernah membiarkan siapa pun tahu tentangnya dengan Lucas.“Tidak, Jacob. Aku sedang tidak ingin minum alkohol,” tolak Sophia lembut, pada Jacob.Jacob mengangguk, menanggapi ucapan Sophia.“Hm, Jacob, apa kau keberatan mengantarku kembali ke hotel sekarang? Aku merasa sedang kurang sehat,” ujar Sophia lembut.“Kau sedang kurang sehat? Apa yang kau keluhkan?” Jacob dengan penuh perhatian, menyentuh kening Sophia. Pria tampan itu menunjukkan jelas rasa cemas yang membentang di dalam diri.Sophia tersenyum lembut. “Aku hanya sedikit pusing. Maaf, aku tidak bisa terlalu lama d

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 18. Perlawanan Sophia Carter

    “Sophia? Kenapa wajahmu kesal seperti itu?” tanya Joana di kala melihat Sophia masuk ke dalam kamar. Dia yang sedang berkutat pada iPad-nya langsung meletakan iPad-nya ke atas meja, dan menatap Sophia dnegan tatapan bingung serta terselimuti rasa penasaran yang membentang.Sophia menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Aku tadi tidak sengaja bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth, Joana.”“Kau bertemu dengan ibu Lucas di butik Margareth?” ulang Joana memastikan, dengan raut wajah terkejut.Sophia mengangguk, menanggapi ucapan Joana.Joana terdiam sebentar. “Kau berada di lingkungan kelas atas. Kau berkenalan dengan Margareth Alford yang merupakan designer ternama. Jadi, aku tidak heran kalau kau bertemu dengan ibu Lucas.”Sophia menghela napas dalam. “Ya, menjadi fashion designer adalah impianku. Aku harus menerima segala konsekunsi termasuk kembali bertemu dengan mantan suamiku berseta keluarganya.”Joana menyentuh tangan Sophia. “Tidak banyak yang aku katakan padamu selain kau harus f

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 17. Sifat Tegas Sophia Carter

    Bel pintu apartemen berbunyi nyaring membuat Lucas menghela napasn kasar. Pria tampan itu sejak tadi hanya diam duduk di sofa sembari menatap kosong. Suara ding-dong itu berulang-ulang, semakin membuat kepalanya berdenyut. Dengan napas berat, dia akhirnya bangkit dari sofa dan menyeret kakinya menuju pintu.“Sayang, kau lama sekali membua pintu,” kata Sarah, ibu Lucas, dan langsung masuk ke apartemen putranya itu.Lucas menatap dingin ibunya yang datang ke apartemennya. “Mom tahu dari mana aku ada di sini?” tanyanya dengan nada kesal. Dia sedang malas untuk diganggu, tetapi ibunya malah muncul.“Mommy tadi tanya sekretarismu, dan dia bilang kau kemungkinan di apartemenmu yang ini, Jadi, Mommy langsung datang saja,” jawab Sarah dengan senyuman di wajahnya, tetapi seketika dia menyadari bahwa ada yang tak beres dengan raut wajah putranya. “Sayang? Apa kau sedan gada masalah? Wajahmu sangat kusut sekali,” lanjutnya dengan nada khawatir.Lucas hanya menatap ibunya sekilas, ekspresinya dat

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 16. Tak Bisa Mengendalikan Diri

    Sophia menutup pintu kamar hotel dengan cukup kencang, suara pintu tertutup cukup bergema di lorong hotel—menggema seperti jeritan hatinya sendiri. Lantas, tanpa sempat melepas sepatu atau merapikan dirinya, wanita itu berjalan cepat ke arah tempat tidur.Begitu mencapai ranjang, tubuh Sophoa terjatuh dengan lemas. Kepalanya terbenam ke bantal, dan pelan—bahunya mulai bergetar. Tangis itu, yang sejak tadi hanya bergetar di dada, akhirnya pecah kembali.“Kenapa dia harus datang lagi?” bisik Sophia lirih di sela isakan. “Kenapa dia harus menciumku seperti itu, seolah aku ini adalah miliknya.”Sophia menutup wajahnya dengan kedua tangan, jari-jarinya gemetar. Tubuhnya mengejang, seperti tak mampu lagi menahan tekanan yang menumpuk. Ada rasa marah. Ada rasa dipermalukan. Ada luka lama yang terkoyak tanpa ampun. Lucas—pria yang dulu dia cintai, yang telah menceraikannya, dengan tanpa dosanya menciumnya secara brutal dan panas.Hati Sophia benar-benar hancur, dan remuk. Dia merasa diinjak,

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 15. Ciuman Pakasaan

    Sophia menatap ke cermin, berusaha mengatur napasnya. Sungguh, dia merasa tak nyaman berada di sana. Ingin rasanya dia berlari sekencang mungkin. Namun, di sisi lain, dia ingin fokus pada kariernya. Hanya saja dia membenci lingkungannya yang mengharuskan dirinya kerap bertemu dengan Lucas. Entah, harus sampai kapan dia terus menerus bertemu dengan mantan suaminya itu. Perasaan tak nyaman selalu kerap masuk ke dalam diri, meski dia berusaha selalu mengendalikan dirinya.Sophia membasuh matanya dengan air bersih, lalu dia berbalik dan hendak bermaksud meninggalkan toilet, tetapi seketika langkahnya terhenti di kala ternyata Lucas berdiri di ambang pintu toilet. Ya, dia jelas ingat bahwa dirinya masuk ke dalam toilet wanita. Namun, kenapa bisa Lucas ada di sini? Otaknya benar-benar sekarang menjadi blank.“Lucas, k-kau kenapa di sini?” bisik Sophia, dengan suara yang pelan nyaris tidak terdengar, tapi cukup untuk memotong udara dingin yang memenuhi ruangan kecil itu.Lucas dengan santai

  • Merindukanmu, Dalam Jerit Tangisku   Bab 14. Kecemburan yang Sulit Diatasi

    Waktu menunjukkan pukul lima sore. Sophia kembali ke hotel. Dia melangkah pelan menyusuri lorong menuju kamarnya, masih dengan map proposal dari Margareth di tangan. Sesampainya di dalam, suasana hangat langsung menyambutnya.“Yeay, Mommy pulang!” seru Caleb dan Chloe di kala melihat Sophia sudah pulang.Sophia tersenyum bahagia selalu mendapatkan sambutan dari anak-anaknya. Dia membalas pelukan anak kembarnya itu, dan tatapannya teralih pada Joana yang ada di hadapannya.“Joana? Kau sudah datang?” tanya Sophia cukup terkejut.Joana tersenyum. “Kejutan. Urusanku di Paris sudah selesai. Jadi, aku bisa langsung ke sini.”Sophia mendesah kesal. “Kenapa kau tidak bilang padaku?”“Well, aku ingin memberikan kejutan,” jawab Joana, dengan senyuman di wajahnya, menunjukkan gigi putihnya.“Bibi Joana sudah datang.” Caleb dan Chloe kini memeluk erat Joana.Joana kembali tersenyum, dan memeluk kembar tak kalah erat.Sophia terdiam sebentar. “Caleb, Chloe, bisa kalian ke kamar Amy dulu? Mommy dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status