"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali.
Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya.
Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk.
Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, takdir memang tidak ada yang pernah bisa menduga.
Namun, walau Liam merasa yakin wajah perempuan itu terlihat tidak asing, dia tidak mungkin mengatakannya begitu saja. Perempuan itu bisa-bisa besar kepala dan mengejek dirinya.
Itulah yang membuatnya kesal sepanjang rapat tadi pagi. Setiap melihat wajah Merry, Liam berusaha menahan dirinya dari memaksa perempuan itu untuk mengakui perbuatannya dan meminta maaf padanya. Tapi, kalau dia melakukan itu, dia akan terlihat sangat bodoh.
Siapa sangka kalau kesempatan itu akan muncul dengan cepat? Perempuan itu sendiri yang menggigit umpannya tanpa Liam perlu bersusah payah menebarnya.
Namun, Liam tidak akan mengaku begitu saja. Dia harus membalas Merry atas perbuatannya telah meninggalkan dirinya begitu saja.
"Kenapa kamu hanya terdiam? Apakah dugaan saya benar, kamu sudah merayu bosmu bahkan di hari pertama kamu bekerja?" tanya Liam tersenyum miring.
Kali ini, Merry tidak lagi melihat tatapan tajam penuh ancaman, melainkan binar jahil. Namun tetap saja, Merry tidak bisa merasa tenang begitu saja.
"Bu-bukan, bukan itu maksud saya, Pak. Maafkan saya kalau bapak mengira saya bermaksud menggoda bapak. Saya benar-benar tidak ada maksud untuk menggoda bapak. Saya mana berani melakukan hal itu!" ucap Merry cepat memberikan alasan.
Liam tertawa renyah, "Sebenarnya tidak masalah kalau kamu bermaksud menggoda saya. Hal itu tidak aneh, karena saya memang memiliki wajah yang sangat memukau. Bukan begitu?"
Merry terdiam mendengar ucapan narsisistik yang keluar dari mulut Liam. Oh ya Tuhan, dia sama sekali tidak mengira akan mendengar kalimat norak dari mulut pria sekelas Liam. Rasa tegang di hatinya langsung menghilang, berganti dengan rasa geli. Ingin sekali Merry menjawab kalau Ashton jauh lebih ganteng daripada wajah bosnya. Tapi, kalau Merry melakukan itu, dia khawatir suasana hati Liam yang sudah membaik akan terjun bebas kembali. Dia tidak mau membuat masalah di hari pertamanya bekerja.
"Hahaha, tentu saja. Wajah bapak memang sangat memukau," ucapnya dengan tawa palsu yang dipaksakan.
Liam hanya senyum-senyum, kemudian dia kembali meraih kotak makan dan memakannya. Kelihatannya suasana hatinya sudah membaik dan kembali normal. Ah tapi, mana Merry tahu bagaimana suasana hati bosnya yang baik dan normal? Hari ini baru merupakan hari pertamanya bekerja.
Merry akhirnya melanjutkan makan kembali. Walau suasana kembali hening, kali ini bukan lagi keheningan yang canggung dan menyeramkan, melainkan keheningan yang terasa ringan dan menyenangkan. Entah kenapa Merry merasa, walau awalnya menyebalkan, bosnya cukup baik dan profesional.
Tanpa sadar, senyum tipis terulas di bibirnya. Namun dengan cepat senyum itu kembali memudar. Ah, jadi ... apakah bosnya bukan merupakan pria yang sama yang ditemuinya Sabtu malam lalu? Walau merasa lega, tetap saja ada sedikit rasa kecewa di salah satu sudut hatinya. Tapi setidaknya berkurang satu hal yang perlu dikhawatirkan olehnya.
***
Saat jam kantor selesai, Merry memutuskan untuk pergi janjian bersama Dawn dan Cathy. Mereka janjian untuk bertemu di sebuah rumah makan yang sedang populer sekalian makan malam.
"Merry, sini!" panggil Dawn saat Merry memasuki rumah makan.
Merry tertawa bahagia melihat wajah kedua sahabatnya. Dia pun langsung berlari kecil menuju meja mereka.
"Sudah lama kalian sampainya?" tanya Merry mencium kedua pipi sahabatnya bergantian kemudian duduk di kursi yang masih kosong.
"Nggak juga sih, paling setengah jam," jawab Dawn menyesap es kopi americano yang dipesannya.
"Ya ampun, sorry banget! Tadi tuh gue udah mau jalan keluar, tapi bos gue manggil lagi," ucap Merry merasa tak enak hati.
"Gue sih, nggak masalah cuma setengah jam. Cathy sudah nunggu di sini selama satu jam," lanjut Dawn menyeringai.
Merry terpekik kaget. "OMG, Cathyyy, sorry banget yaaaa! I'll make up to you! Lo mau makan apa malam ini gue yang traktir!"
"Deeeuu, mentang-mentang udah dapat kerja. Udah bisa traktir-traktir," goda Dawn.
"Seriusan guee!" balas Merry.
"Nggak usah, Mer. Gue udah pesan makanan, dessert, es kopi, air putih, sama es krim. Saking lama nunggu kalian berdua," ucap Cathy.
"Serius lo udah makan sebanyak itu? Masih lapar?" tanya Merry terkejut. Biasanya Cathy ketat dengan jadwal dietnya.
Cathy mengangguk, "Lain kali aja traktirnya. Gue ogah kalau cuma ditraktir di restoran yang murah meriah."
Dawn tertawa mendengar jawaban Cathy. Sedangkan Merry berdecak, "Gue kira nolak ditraktir sama gue karena emang baek. Nggak tahunya mau morotin gue." Tapi setelah itu, dia pun ikut tertawa.
Tak lama kemudian, Merry memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman. Sambil menunggu pesanan tiba, mereka pun kembali berbincang-bincang.
"Jadi, gimana hari pertama lo bekerja?" tanya Dawn memulai perbincangan.
"Gue pikir sih, lancar-lancar aja ya. Semua pekerjaan yang diberikan ke gue bisa gue selesaikan. Eh tapi, kalian berdua jangan kaget ya," ucap Merry memandang dengan saksama wajah kedua sahabatnya.
"Sudah pasti kami berdua bakalan kaget lah," jawab Dawn.
"Kali ini ada apa?" tanya Cathy yang selalu tanpa basa-basi. Seperti biasa, penampilan selalu sempurna, kemeja putih yang tersetrika rapi, rambut panjang yang dicepol dan membiarkan beberapa anak rambut terurai di kedua sisi wajahnya. Parfumnya pun masih tercium.
"Tapi janji kalian nggak akan heboh setelah mendengar cerita gue."
"Ah elah, lama! Bilang aja sih, ada apa!" omel Dawn yang penampilannya lebih chic dan boyish. Celana panjang bahan, kemeja hitam lengan pendek dan rambut bob.
Merry meringis mendengar omelan Dawn. Namun dia tetap melanjutkan ceritanya, "Bos gue di kantor wajahnya mirip sama cowok malam itu!"
Selama detik-detik awal, Cathy dan Dawn hanya terpaku mendengarnya. Otak mereka belum memahami maksud ucapan Merry. Cowok malam itu siapa?
Namun mereka berdua lekas langsung memahami mengingat Merry memang jarang sekali pergi hang out bersama cowok-cowok. Bisa dibilang, Merry tidak pernah kencan buta dengan cowok manapun saking bucinnya sama Ashton.
Cathy menutup mulutnya dengan mata terbelalak. Dawn terpekik pelan sambil memegang kedua pipinya.
"Seriusan? Terus gimana ceritanya? Mirip doang apa dia memang cowok itu?" cecar Dawn.
"Mirip doang, udah gue tanyain langsung ke orangnya," jawab Merry polos.
"Lo tanyain langsung?" tanya Cathy terkejut. "Bagaimana tepatnya?"
"Yaaa, gue bilang aja langsung, kalau bapak mirip sama cowok yang bertemu Sabtu malam kemarin. Dan kalian tahu nggak jawaban dia apa? Asli nyebelin banget! Masa dia bilang kalau gue lagi ngerayu dia? Terus dia dengan narsisnya bilang kalau wajahnya memang sangat memukau sehingga wajar kalau gue ngerayu dia di hari pertama gue bekerja. Asli nyebelin banget kan?"
Cathy dan Dawn saling pandang. Namun setelah semua cerita terserap sempurna ke dalam otak, mereka berdua serempak tertawa ngakak.[]
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se