Aku tertegun menatap Ambar juga sekeliling ruangan kamar ini. Benar. Aku hanya mimpi. Perlahan, tanganku mengusap kasar air mata yang mulai mengering di wajahku."Ada apa?" tanyanya lagi. Ambar terlihat begitu khawatir."Aku mimpi Azam ...," lirihku."Hmm. Kirain kenapa." Ambar menghela napas dengan kasar."Tapi begitu nyata, sampai aku nangis gini.""Beban di pundakmu itu terlalu berat, July. Sudah, tenang aja. Besok kamu pun akan melupakan rasa sakit itu, meskipun secara perlahan.""Iya, carikan aku tamu yang royal, Mbar.""Tenang aja, Jul. Tanpa kamu minta pun, aku bakalan kasih yang kakap. Gak mungkin aku kasih yang brekele. Hahaha." Aku dan Ambar tertawa bersama.Aku jadi teringat kembali dengan almarhum Erna, tapi aku tak mungkin menangis di depan Ambar."Ya, sudah. Aku ke kamar lagi, deh.""Iya."Hanya Erna yang bisa membuatku tertawa lepas, aku menumpahkan rasa rindu pada Erna lewat air mata. Meminta kepada Tuhan, agar dirinya dimudahkan dan dijauhkan dari siksa kuburnya.Aku
Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu dari luar kamar, membuat aku dan Fito segera keluar. Mbak Ina dan Ambar sudah siap, kami bergegas ke garasi lalu masuk ke dalam mobil. Tentu saja, tugas membuka dan menutup pintu adalah tugas satpam di rumahnya."Nanti sekalian kami beli baju," ucap Ambar ketika mobil sudah melaju."Iya, untung aja semalem dapet dari Aldo, ya.""Itu simpen aja dulu, pakai uangku dulu aja.""Belum apa-apa, hutangku sudah menumpuk nanti," keluhku."Idih, ini bukan utang. Tenang aja, aku yang beliin."Aku dan Ambar duduk di bangku depan, sedangkan Fito dan Mbak Ina duduk di bagian tengah. Mobil Ambar terdapat TV kecil di setiap jok bangku—sisi belakangnya—jadi Fito anteng menonton.***"Yeee, sudah sampai kita. Ayo, turun!" seru Ambar.Dulu, mall ini banyak menyimpan kenangan bersama ibu dan kakakku. Ah, kenyataan membuatku sulit bernapas jika mengingat semua itu. Langkahku terhenti ketika melihat bapak-bapak tua memegang mangkuk tepat di pintu masuk, tanganku mencari sesuatu
"Seberat apapun beban masalah yang kamu hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tidak pernah melebihi batas kemampuanmu."***Dengan rasa percaya diri, aku melangkah masuk ke klub "The Angel" itu, para perempuan malam banyak yang lebih muda dariku. Alasan mereka memilih jalan ini pun, tak jauh berbeda denganku. Ada juga anak dari orang kaya, yang rusak karena salah bergaul, karena tidak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.Aku tahu, banyak yang iri dan tidak suka dengan kehadiranku. Tapi, karena mereka tahu aku adalah temannya Ambar—pemilik klub malam tempatnya bekerja—perempuan-perempuan itu memilih menghindar dariku."Hey, Naya!" jerit Mona, salah satu senior di klub ini. Badannya masih terjaga meski usianya sudah berkepala empat. Wajah cantik bukan hal utama di klub ini, goyangan dan makeup tebal adalah prioritas utama kami."Iya." Aku membalas lambaian tangannya dan menuju tempatnya duduk."Mana si Mami?" tanyanya ketika aku sudah berada tepat di sampingnya.
Aku pulang membawa senyum merekah sepanjang waktu, kebetulan besok adalah tujuh harian Erna. Aku menjadi sedih kembali, dalam hati berjanji padanya akan datang berziarah ke makamnya setelah urusanku selesai di sini."Mamaaa!" teriak Fito yang lagi bermain di taman depan bersama Mbak Ina."Halo, sayangnya mama." Kedua tangannya direntangkan, tanda meminta gendong."Ambar sudah pulang, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ina."Sudah, barusan juga.""Oke, titip Fito bentar, ya.""Iya, Mbak."Aku setengah berlari masuk ke dalam rumah dan segera memasuki kamar Ambar.Tok! Tok! Tok!"Ambar, boleh masuk gak?" ucapku."Masuk aja," jawabnya dari dalam.Pintu terbuka, hawa dingin dari AC pun menguar menusuk persendian."Cieee, cerah amat mukanya?" goda Ambar. Aku hanya tersenyum simpul."Makasih banget, Mbar. Semua berkat kamu, tadi Aldo kasih aku duit. TIGA PULUH JUTA!" jeritku dengan histeris."Hahaha. Uang segitu gak ada arti apa-apa bagi Aldo, Naya!""Tapi, uang segitu amat besar untuk siapa pun, kan?
Sayup-sayup suara rintihan terdengar begitu menyayat hati, berganti menjadi suara yang menyeramkan. Lengkingan tawa memekakkan telinga, di mana aku? Gelap menyelimuti.Apakah aku sudah mati? Kenapa begitu gelap? Di mana aku? Panik? Tentu saja aku panik dan hampir menangis, mengingat dosa yang belum terkikis. Fito! Di mana Fito? Kenapa begitu hening?"Ambaaar! Fito! Mbak Ina!" jeritku berulang kali. Tetap tak ada jawaban. Aku menelisik ke sekeliling, hanya pekat tanpa pendar cahaya sedikitpun."Juliii ...," lirih kecil terdengar samar."S-ssi-siapa?" tanyaku dengan mata awas. Aku meraba dengan langkah gemetar, menggeser tapak kaki sepelan mungkin. Takut, jika ada lubang atau semacamnya."Tolong aku, July ...." Suara itu terdengar sangat dekat, seperti suara Erna."Erna? Apakah itu kamu?" tanyaku dengan menahan tangis. Sebab, tenggorokanku sudah terasa sakit. Untuk menelan air liur pun seakan tak mampu."Tolong aku, Bang Wendra sudah membuatku seperti ini. Dia harus membayar dosanya! To
Ambar adalah dewa penolongku, sama seperti Erna yang selalu ada di saat aku butuhkan. Wanita ambisius itu tengah bersedih ketika aku baru saja sampai."Kenapa? Keliatannya, kamu lagi kurang enak badan, ya?" tanyaku buru-buru menghampiri.Sofa mewah itu, membuatku sedikit ragu untuk menghempaskan bokong. Ambar berselonjoran di sana, sofa berlapis emas menambah kesan elegan dan berkelas bagi pemiliknya."Suamiku meninggal," ucapnya hampir tak terdengar."Innalilahi. Bagus, dong? Kenapa sedih?" tanyaku. Ya, Ambar pernah bercerita jika ia menunggu suaminya itu meninggal, karena sebagian harta milik orang terkaya di Jakarta itu, akan menjadi bagian milik Ambar nantinya."Anak dan istri Om Frank mengubah surat wasiat itu, aku kalah karena mereka kuat. Sia-sia semuanya!" dengusnya."Untung aja kamu pinter, Mbar. Sebagian kecil anak perusahaan milik suamimu, sudah kamu amankan.""Iya, tapi tetap aja aku tidak rela. Cuma lima cabang yang sempat aku amankan," ucapnya kembali.Ambar banyak menga
"Ada saatnya kita harus bertindak, ada saatnya kita harus diam dan menunggu."~ Sepositif ~****"Apakah kamu tidak mau bercumbu denganku, Sayang?" tanya Andrian tepat di telingaku. Tangannya meremas bokongku, hampir menyingkap mini dress yang kupakai.Aku segera menurunkan kembali tangannya, "Maaf, aku harus kerja. Hansen sudah menungguku di room." Aku segera mengganti pakaian dengan lingerie yang ada di dalam tas.Andrian masih bergelayut manja di belakang tubuhku, "Sebentar aja, apakah aku tidak sekaya Aldo? Makanya kamu tidak mau melayaniku?" Bibirnya telah menempel di bahuku, menyapu pelan hingga aku bergidik merinding.Buru-buru aku memakai lingerie dan keluar begitu saja, aku tidak ingin Hansen menungguku. Room 302, aku membukanya dan menemukan laki-laki berpakaian jas berwarna putih, celana panjang dengan warna serupa tengah duduk dengan satu kaki menopang di kaki satunya. Kedua tangannya direntangkan ke sisi sofa. Betapa maskulin pria itu."Masuklah," ucapnya. Laki-laki itu b
Aku mengikuti Hansen, keluar dari klub. Sebelum pergi, ia menyuruhku untuk berganti pakaian. Dengan senang hati, aku menuruti kemauannya. Karena, aku tidak harus melayaninya di atas ranjang. Celana jeans berpadu dengan kaus putih, aku sempat mencari keberadaan Andrian di tempat ganti. Namun, sepertinya ia telah meninggalkan klub ini.Hansen telah menungguku di dalam mobil sport miliknya. Awalnya aku sempat bingung dan ragu, tetapi lelaki itu dengan sigap membukakan pintu untukku."Masuklah, tenang saja. Aku tak akan menculikmu. Kau terlalu istimewa untuk disakiti." Kata-katanya membuatku baper."Mau ke mana kita?""Sudah, duduk diam tanpa banyak bertanya, akan membuatmu aman," godanya."Tapi, tugasku hanya menemani bernyanyi dan memuaskan Bapak selama lima jam saja, dan ini tersisa dua jam lagi.""Panggil aku Hansen saja, dua jam lagi, ya? Emm, sepertinya waktu begitu cepat, ya, berputar? Tenang saja, aku sudah menambah jam bookingan pada Ambar," tukasnya.Hansen tersenyum simpul, ent