Sudah setengah jam aku menunggu di teras rumah Erna, tapi belum juga kembali. Aku memutuskan untuk kembali pulang bersama Fito, dan bersiap diri untuk bertemu dengan Azam.Langkah kaki dengan cepat melangkah, hatiku begitu bahagia bisa mendengar suara Azam lagi. Apalagi, dia ingin mengajak aku dan Fito bermain.Baru saja sampai di pagar rumah, Mas Bo'eng berdiri dengan bermain ponsel di tangannya. Ia menoleh ke arah kami saat mendengar langkah kakiku."July, apa kabar?" tanyanya tanpa rasa berdosa.Dadaku mulai berdegup kencang, amarah menjalar perlahan begitu saja. Aku merasakan sedih yang teramat saat menatap matanya. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku berbalik arah dan menghapus air mata secara kasar. Aku tak ingin ia tahu jika aku sedang menangis."Mau ke mana? Aku dari tadi menunggu kamu di sini," ucapnya lagi. Langkahku terhenti, diam bergeming. Dada bergetar hebat, air mata menetes kembali saat mendengar suara Mas Bo'eng. Sakit hati ini. Apa? Dia mengucapkan "Aku Kamu" barusan?
Tubuhku melemas, tulang-tulang terasa tidak dapat menopang berat badanku lagi. Ada apa ini? "Kejadian apa, Mbak?" tanyaku."Sebelum berangkat, lampu belakang Erna tiba-tiba aja putus dua kali. Lalu, saat dia mengecek bahan bakarnya, kunci motor malah tertinggal di bawah jok motor." Mbak Asih mengingat-ingat kejadian kemarin pagi, saat dia sedang menemani Erna."Terus? Kok, dia bisa tetep pergi?""Iya, dia mengambil kunci duplikat dari dalam. Mungkin aja, itu sebagai pertanda sebenarnya, kalau dia dilarang pergi," imbuhnya."Mbak udah melihat mereka?" tanyaku."Sudah. Kemarin aku dan suami yang melihat kejadiannya secara langsung, kasihan mereka," jawabnya. Mata Mbak Asih mulai berkaca-kaca.Erna dan Mitta dilarikan ke rumah sakit terdekat, keadaan mereka benar-benar kritis dan sampai saat ini belum sadar."Bang Wendra apa sudah tau tentang ini?" Pikiranku sudah kacau."Sudah. Bang Irwan—suami Mbak Asih—yang memberikan kabar padanya lewat WA. Erna sempet bilang sama aku, ada yang mengi
Kematian tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Tua, muda, bahkan bayi baru lahir pun, tak luput dari proses kematian. Aku masih menangis di ruang tunggu, depan kamar ICU Erna dan Mitta. Tepukan pundak membuatku menoleh, ternyata Azam yang berdiri di sampingku.Spontan aku menangis di pelukannya saat Azam duduk, aku sudah tidak mengingat di mana Mas Bo'eng dan juga Fito."Kita bantu doa untuk mereka, ya. Jangan terlalu ditangisi, kasian Erna dan Mitta nantinya." Azam mengelus kepalaku. Ada ketenangan dan juga damai mengalir perlahan.Aku melepaskan pelukanku, harusnya aku tidak boleh bersikap seperti itu. Apalagi di tempat umum seperti ini."Maaf, aku meluk kamu.""Gak apa-apa. Oh, ya, tadi di depan aku ketemu sama Mas Arka—hanya Azam yang memanggil nama sebenarnya Mas Bo'eng—lagi main sama Fito di taman."Tadi sebelum berangkat ke rumah sakit ini, aku sempat mengirim pesan pada Azam kalau Erna kecelakaan."Oh, iya, Zam. Kemarin aku lupa, maaf, ya."Azam menghela napas dengan berat. Mene
Azam mengantarkan aku pulang ke rumah kontrakan. Sebelum pulang, ia mengajak aku dan Fito makan di restoran mewah. Sontak, aku enggan menurunkan kakiku.Azam mengetuk kaca jendela mobil. "Ada apa?" tanyanya. Azam mematung diluar mobil, sedangkan tanganku menahan pintu agar tidak terbuka. Aku hanya menggeleng, saat kaca pintu turun sedikit."Ayo, kasihan Fito pasti udah lapar," imbuhnya. Aku melirik Fito sekilas."Tapi, aku berpakaian seperti ini ...," lirihku.Azam tertawa dan masuk kembali ke dalam mobil. "Maaf, aku lupa. Bagiku, kamu itu tetep manis, kok, berpakaian seperti apa juga." Azam masih terkekeh.Aku menghela napas, "Aku memang memalukan, ya." Menatap keluar jendela sambil menyenderkan kepala."Baju yang kemarin gak dipakai?" tanyanya. Aku menoleh, lalu menghela napas kembali."Diambil sama Mami. Katanya, aku gak pantas pakai baju itu," keluhku. Aku sengaja memberitahu tentang kejadian itu pada Azam. Karena, aku ingin ia tahu bagaimana kelakuan ibunya. Meskipun dari dulu, a
Suami tidak tahu malu! Harusnya, tugas mencari nafkah itu adalah tugas utama seorang suami! Bukannya hanya tidur, makan, ngerokok, main game, dan bahkan selingkuh!Mas Bo'eng, Risa, Rian, dan nyonya besar itu, kembali lagi ke kontrakan ini dengan tidak malu. Bahkan, mereka dengan sengaja merubah interior yang sempat aku rombak beberapa waktu lalu.Lebih parahnya lagi, nyonya besar itu mengaku-ngaku kepada tetangga yang bertanya, kenapa mereka kembali lagi? Mertuaku itu mengatakan, kalau kontrakan ini masih miliknya."Apa-apaan kalian?!" sungutku. Mereka tidak menghiraukan ucapanku, memasukkan barang-barang yang diangkut dengan mobil sewaan."Kenapa kalian ke sini lagi?! Ini rumahku, aku yang membayarnya untuk setahun mendatang!"Mereka tetap tak peduli, meski jeritanku memekakkan telinga. Aku membanting beberapa gelas hingga pecahannya menyebar ke lantai."Hey! Kenapa barang-barang Mami di pecahin?!" bentak mertuaku.Memang tidak tahu malu! Rian dan Mas Bo'eng menabrak bahuku dengan s
Entah sudah berapa banyak, air mata yang sudah ku teteskan di sepanjang perjalanan rumah tanggaku bersama Mas Bo'eng. Selain air mata, ia juga menoreh luka yang cukup dalam dan panjang di hatiku. Mungkin, waktu pun tidak akan bisa mengobati lukaku.Aku semakin larut dalam kabut dendam, tenggelam hingga ke dasar benci. Hati terluka parah. Kecewa pada kehidupan, terlunta pada kebodohan. Ah, aku benci drama kehidupan ini. Kenapa aku yang selalu mengeluarkan air mata kesedihan? Sedangkan mereka terbuai oleh kejahatannya.Pukul sembilan malam, aku keluar kamar. Kalau tidak mendesak, aku juga enggan membuka pintu. Derit pintu kamar membuat mertuaku dan juga Mas Bo'eng menoleh, rupanya mereka tengah asik makan bakso.Tatapanku tak lepas dari tumpukan-tumpukan dus yang masih berjejer di ruang tamu, persis kapal pecah! "Kalian punya otak gak, sih?!" umpatku.Mereka menoleh lalu melanjutkan makan malamnya kembali, bisa-bisanya mereka makan dengan kondisi berantakan seperti itu! Tidak ada jawaba
"Kenapa?! Gak seneng? Jangan kurang ajar sama orang tua!" Mertuaku melengos begitu saja.Bisikan-bisikan itu kembali terdengar, menyuruhku untuk mendorong tubuh mertuaku, menginjaknya, dan membungkam mulutnya dengan senjata tajam!"Kenapa cuma berdiri! Beresin rumah ini!" teriaknya dari dapur. Aku hanya menoleh sesaat, lalu berjalan keluar.Umpatan dan teriakan mertuaku mengiringi langkah kakiku, sepanjang jalan tetangga menatapku. Aku sudah terbiasa menahan malu karena ulah mertuaku itu.Aku bisa gila bila berlama-lama di rumah itu! Berjalan sekitar tiga meter dari rumahku, baru menemukan gang, dan memesan ojek pangkalan."Bang, ke rumah sakit Pelita, ya. Berapa?" tanyaku pada ojek langganan."Mau jenguk Mbak Erna, ya?" Aku hanya mengangguk."Ayo, Fito di depan apa di belakang sama Mama?" tanya Bang Avan, ojek langganan kami."Sama Mama," jawab Fito."Berapa, Bang?" tanyaku kembali."Sudah, naik aja, Mbak. Aku juga sekalian mau jenguk Mbak Erna, kemarin belum sempat ke sana."Akhirny
Ada yang menepuk-nepuk pundakku, aku merasakan kantuk yang begitu besar. Ah, rupanya aku tertidur. Aku memicingkan mata menyisir pandangan ke ruangan ini. Erna dan Mitta masih tak bergerak, aneh. Apakah tadi aku bermimpi?"Permisi, Mbak. Kami mau memeriksa pasien," ujar perawat yang baru saja datang."Oh, iya, Sus. Silahkan," jawabku seraya menjauhkan tubuh dari ranjang mereka.Sejak kapan aku tertidur? Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah pukul satu siang."Keluarga pasien ada di mana, Mbak?" Salah satu perawat itu bertanya padaku."Suaminya masih di Malaysia, Sus. Kalau keluarganya ada di depok kalau tidak salah," jawabku."Berarti, malam ini tidak ada yang menemani pasien lagi, dong?"Aku hanya diam. Kasihan mereka, bahkan saat kritis seperti ini, tidak ada siapa pun yang menemani. Aku tidak tahu di mana keluarga Erna. Saat ingin keluar, mataku melihat tas Erna. ‘Tas itu ... apakah mimpi tadi sungguhan? Aku bahkan tidak tau Erna memakai tas yang mana. Apaka