Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me
Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya."Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku."Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?""Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian."Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali."July! Buatin kopi!" teriaknya."Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.Tanpa berkata apa pun, aku mengambi
Pukul satu siang, saat aku sedang membantu Erna merajang sayuran untuk esok, suara Mas Bo'eng terdengar begitu melengking dari dalam rumah kontrakan mertuaku. Mungkin saja ibunya mengadu seperti biasa."Juliii! Sini lu!" teriak suamiku."Loh, itu suara si Bo'eng? Pasti mertuamu ngadu, tuh, ke dia.""Paling juga tar malam si Risa bakalan nambahin." Aku berjalan pulang ke rumah, Fito masih bermain di dalam. Setelah pamit, aku langsung berlari kecil sampai ke pintu dapur. Benar saja, Mas Bo'eng sudah ada di sini."Kenapa?" tanyaku pada lelaki itu.Mas Bo'eng duduk di sofa ruang tamu, awalnya ia membulatkan matanya seperti ingin menerjang musuhnya. Namun, detik kemudian ia terperangah melihatku. Mas Bo'eng menatapku dari ujung rambut, hingga ke ujung kaki sambil melongo."K-ka-kamu, kamu kenapa?" tanyanya dengan tergagap. Sudah lama sekali Mas Bo'eng tidak berbicara memakai "aku kamu" denganku, selama ini dia hanya memakai "lu gue" saaj. Namun, hari ini berbeda.Hatiku puas dan senyum dal
~Jangan pernah memulai sebuah hubungan hanya karena kamu kesepian. Sebab, ketika kau sadar cinta mulai tumbuh perlahan, maka itu akan terasa sangat menyakitkan.~***Ketika sampai di rumah Erna, Fito berlari mendekatiku. Mungkin, anak itu heran kenapa aku membawa buntalan baju ke rumah ini. Aku menyeka kembali air mata yang hampir mengering di pipiku."Sudah, kamu suapi Fito makan dulu, terus sekalian kamu juga makan. Baru nanti kita cari kontrakan," tutur Erna sambil menyerahkan piring lengkap dengan lauknya ke tanganku."Terima kasih banyak, Na. Kebaikan kamu, tidak akan pernah habis terbayar sepertinya.""Jangan bilang seperti itu. Sudah sepatutnya kita saling tolong, kan?"Aku menyuapi Fito, lalu menyuapi diriku sendiri. Makanan yang masuk tidak terasa di tenggorokan ini, padahal rasa lapar sudah dari tadi terasa. Akhirnya, aku tidak bernapsu untuk makan. Hanya Fito yang menghabiskannya.Erna sibuk memasak, sedangkan Mitta mewarnai buku gambarnya. Suami Erna telah mengijinkan aku
Tiga panggilan tak terjawab dari Azam, sengaja tidak mengangkatnya. Berkali-kali Mas Bo'eng dan keluarganya menyakitiku, perhatian Azam semakin membuatku tenggelam ke dalam cinta masa laluku."Angkat, loh. Itu Azam nelpon." Erna seperti gregetan melihatku, ia mencoba meraih ponsel tetapi aku menepis tangannya."Untuk apa diangkat? Aku takut," jawabku."Takut apa?" tanyanya. Dering teleponku sudah taj berbunyi. Pesan masuk bertubi-tubi dari Azam, hanya mengirimkan huruf "P" saja."Coba dibuka dan balas, kasian, loh."[P][P]Pesan "P" dari Azam, hingga 19 kali. Terlihat Azam sedang mengetik.Belum sempat membalas pesannya, ia mengirimkan kembali pesan baru. [July, ada apa? Kenapa gak mau angkat? Kamu marah?][Gak, Zam. Mana mungkin aku marah sama orang baik seperti kamu.][Besok kita bicarakan lagi, ya.] Pesan terakhir Azam."Erna, apa aku ini jahat?" tanyaku. Pandangan mataku masih menatap foto Azam sambil mengusapnya."Jahat kenapa?" Aku tahu, Erna pasti melihat apa yang sedang kulak
Pukul tujuh pagi, aku telah siap untuk berjualan. Akan kutata kembali hati yang hancur ini. Mas Bo'eng tidak mencariku hingga detik ini, aku masih berharap ia mencari kami. Benci dan sedih tercampur menjadi satu.Saat kakiku melangkah keluar rumah, pintu belakang rumah mertuaku terbuka. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah Erna, dan bersembunyi di balik tirai sambil mengintip apa yang akan dilakukan mertuaku.Langkahnya mengarah ke halaman rumah Erna, buru-buru aku masuk lebih dalam lagi. Erna yang tengah memajang sayur-sayur yang telah matang ke etalase depan, sempat heran menatapku berlari kecil."Ernaaa!" jerit mertuaku dari luar."Iya. Tunggu!" jawabnya."Sayur, dong. Perkedel kentang lima, sayur asamnya sebungkus aja, sama telur sambal, deh, tiga." Mertuaku menyerahkan uang lembaran pada Erna."Semuanya tiga puluh ribu," ucap Erna dan menyerahkan kembaliannya. Tak lama mertuaku pun kembali ke rumah.Erna masuk ke dalam untuk mengambil sayuran yang masih ada di dapur, melihat k
"Mengeluh hanya akan membuat hidup kita semakin tertekan, sedangkan bersyukur akan senantiasa membawa kita pada jalan kemudahan."****Kami sama-sama terdiam hingga suara Fito mencairkan suasana. "Mama," Fito memelukku. Sejak pulang tadi, aku belum sempat mencium ataupun menggendongnya.Suara Azam terdengar, "Fito lagi apa?" tanyanya disela-sela keheningan kami. "Coba video call, angkat, gih." Mau tidak mau aku mengangkatnya."Halo Fito," panggil Azam. Fito dengan cepat meraih ponselku. Hampir saja terjatuh."Om Azam, cini," sapanya."Iya, Sayang. Nanti Om ke sana, ya. Kita beli mainan lagi yang banyak, mau?" Fito mengangguk kegirangan. Jeritannya memekakkan telinga."Tanya mamanya, mau ikut gak?" Pertanyaan Azam membuat pipiku terasa memerah."Mauuu! Tante Erna juga mau ikut, boleh gak?" teriak Erna dari kejauhan. Sontak, membuat mataku melotot ke arahnya."Boleh, kok. Ya, sudah. Siap-siap, gih." Rupanya, Azam serius dengan perkataannya."Sayang, kamu lagi telepon siapa?" Suara Lisa
( AZAM ADITYA )Jika suatu hari, aku menghilang tanpa jejakApakah kau akan mencarinya?Tentu saja "Tidak" adalah jawaban terbaiknya.Aku mengagumi dirimu tak terbatas waktuBeribu resah menyelimuti benakkuApakah kau rindu padaku?Ah, berkali-kali aku menulis lalu merobeknya kembali. Bahkan, kata-kata indah pun tak mampu menyamai gadis manis bermata sipit itu. Dia adalah July, aku mengenalnya saat sekolahku mengadakan pertandingan antar sekolah.Gadis itu berkali-kali terkena bola basket, namun ia tak merasakan kesakitan. Aku selalu memperhatikannya, tingkahnya yang ceroboh membuatku tertawa-tawa sendiri. Ada 17 sekolah lain yang turut meramaikan acara tersebut. Aku yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS, dengan leluasa bisa mencaritahu tentang gadis itu.Tidak ada yang menonjol darinya, selain kecerobohan yang ia buat. Aku selalu mengikuti ke mana gerak langkahnya, tentu saja ada banyak hal yang membuatku semakin penasaran dengannya. July ternyata seumuran denganku, hanya berbed