"Apapun yang terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata, berikan senyummu. Kadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka."***"Memangnya, abis ini kalian mau ke mana?" tanya Kak Okta sambil mengunyah makanannya."Ke mall aja, ajak Fito main.""Kita ikut, dong. Sudah lama, nih, aku sama Ibu gak ke mall.""Iya, kita siap-siap aja," timpal Ibal tak tahu malu."Yuk, ibu juga sekalian mau lihat-lihat."Akhirnya, aku tidak bisa melarang keinginan mereka. Mana mungkin aku tega, sedangkan ini adalah kesempatan kami untuk dekat kembali. Menjalin silaturahmi yang sempat menjauh, bahkan hampir terputus oleh keadaan."Baiklah, aku menunggu di dalam mobil aja, ya." Tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku segera menggendong Fito.Lagi-lagi tangan Ibal seperti disengaja, menyentuh jemariku. Aku segera menepisnya, dan berjalan keluar rumah. Dasar laki-laki tidak tahu malu, baru juga menjadi suami kakakku, tetapi tingkahnya sudah genit!Sepuluh menit kemudian, terlihat bayangan mereka ke
( Fakta Tentang Suami Kak Okta )*******Sudah dua jam kami mengitari mall ini, perlengkapan bayi pun sudah dibeli semua. Aku sengaja membelikan semua kebutuhan calon keponakan baruku.Dari pakaian, tempat tidur yang bisa bergoyang, peralatan mandi, hingga stroller bayi. Tidak ada yang kurang satu pun, aku tak ingin keterbatasan ekonomi membuat calon bayi itu menderita secara perlahan seperti Fito, anakku.Tanpa basa-basi, Ibal mengambil tas bayi dan gendongannya."Cih! Dasar tak tahu malu!" desisku."Fito mau beli apa?" tanyaku pada Fito yang dari tadi memandangi tumpukan mainan."Itu." Tunjuknya ke salah satu mainan.Aku mengambilnya dan langsung menaruhnya ke meja kasir, lagi-lagi Ibal menjajarkan barang yang ia pilih tadi di samping mainan Fito."Plastiknya dipisah aja, Mbak." Ibal bersuara kembali setelah aku membayar tagihan semuanya. Aku memutar bola mata dengan malas, ia malah menyunggingkan sebuah senyuman.Tidak ada rasa terima kasih, atau sekedar berbasa-basi untukku. Bukan
( Korban rumah tangga )*****Tanpa terasa, waktu begitu cepat berlalu. Sudah satu bulan aku berkerja di tempat Ambar, selama itu juga aku tidak tahu tentang kabar Azam maupun suamiku dan keluarganya. Sejak hari itu, aku tidak lagi berkunjung ke rumah ibuku. Malas rasanya melihat suami Kak Okta, beberapa kali kakakku menelepon menyuruhku datang. Namun, aku menolaknya dengan alasan sibuk bekerja.Pundi-pundi rupiah telah aku kumpulkan, sudah lebih dari cukup rasanya jika ingin membuka usaha. Tetapi, kata Ambar nanti saja kalau modal benar-benar matang. Sebenarnya aku berniat untuk mencari rumah, tetapi Ambar menahanku lagi. Katanya, lebih baik aku menumpang tinggal dengannya saja, tunggu aku sudah memiliki rumah baru pindah. Lucu memang, kenapa bukan adik-adiknya saja yang ia suruh tinggal di sini. Hahaha. Aku tertawa tanpa sebab.***"Jul, Okta kapan lahiran?" tanya Ambar saat kami sedang duduk di kursi taman."Katanya, sih, kalau gak salah denger bulan depan. Gak tau juga, memangnya
( Kenangan Terakhir )*****Aku memandangi bayi mungil yang sedang tertidur di atas ambal tanpa kasur, memang tidak layak sekali untuk berbaring di sana. Rumah ini, tidak ada barang-barang berharga, selain piring-piring, gelas, dan panci-panci yang tergantung di dinding rumah."Anakmu itu, apa gak sakit tidur di situ?" tanyaku. Pandangan mata tetap tertuju pada manusia kecil itu."Sudah biasa," ucap ibunya Eka.Keterbatasan ekonomi, membuat mereka terpaksa hidup menderita. Menahan rasa malu dan cemoohan orang-orang disekitarnya, bahkan tak segan-segan Eka dan keluarganya dihina habis-habisan. Mereka selalu menyindir, tentang Eka yang memiliki anak yang banyak, suami pemalas, dan lain sebagainya. Itu yang kudengar dari cerita Eka."Kasian, loh. Apa suamimu itu, tidak pernah sekali pun membeli kasur untuk anak-anaknya?" tanyaku lagi.Eka hanya menggeleng, bagaimana nasib kakakku nanti? Bisa-bisa, Kak Okta yang bekerja dan menghidupi suaminya. Aku membuang napas dengan berat. Setelah cuku
( Menginap di Hotel )"Hidup itu seperti mengendarai sebuah sepeda. Untuk menjaga keseimbangan kamu harus terus bergerak."~ Albert Einstein ~*****"Sebaiknya kamu istirahat aja dulu, mungkin kamu itu kecapean." Aku membuatnya untuk berdiri, tetapi lagi-lagi Ambar bersikap aneh."Gak! Gak mau, kita tidur di kamarmu aja, ya!" serunya.Tiket sudah dipesan, mau tak mau aku batalkan dan membiarkannya hangus. Aku dan Ambar berjalan beriringan, langkahnya seperti orang ragu. Sebentar-sebentar ia berhenti, mengamati setiap jengkal rumahnya, lalu ketakutan lagi. Aku jadi bingung sendiri dengan tingkah lakunya malam ini.Sementara Fito masih di kamar Mbak Ina seperti biasanya, aku benar-benar semakin menjauh dari anak itu."Jul, nanti sebagian uangku, kamu simpen, ya." Ambar menyerahkan beberapa kartu ATM padaku. "PINnya dicatat biar gak lupa," sambungnya lagi.Ambar memberitahu PIN ATM miliknya, semua akses pribadinya. Bahkan, sampai tempat penyimpanan emas pun tak luput dari sebutannya. Satu
( Hotel Berhantu )****Aku terbangun pukul tujuh malam, keadaan kamar begitu gelap. Fito tertidur pulas di sampingku, entah sejak kapan. Televisi masih menyala, membuat ruangan ini begitu temaram oleh pantulan cahayanya. Aku menyalakan lampu, dan membereskan sisa-sisa makanan yang ada di atas ranjang, bekas makan Fito tadi.Tidak ada panggilan ataupun pesan dari Pak Mamat, apakah dia tidak lapar? Aku bergumam sendiri. Kakiku melangkah ke kamar mandi, bersiap diri untuk makan malam dan ke rumah almarhumah Erna nantinya.Aku menyalakan kran air, memenuhi bathtub dan menaruh beberapa tetes esensial oil aromaterapi ke dalamnya. Aku berendam selama 15 menit sambil memejamkan mata, tidak lupa memutar lagu instrumen Fur Ellise dari Beethoven, untuk merilekskan tubuh.Namun, baru saja aku menikmatinya, suara ketukan terdengar dua kali. Aku membuka mata dan menajamkan pendengaran, sayup terdengar suara rintihan dari balik tembok kamar mandi ini."Siapa yang nangis itu, ya?" ucapku tanpa sadar
( Cibiran Tetangga )*****Aku memandangi rumah Erna dari celah kecil yang ada di dapur. Ingin menangis sepuasnya, aku begitu merindukan Erna malam ini. Masa-masa sulit yang pernah aku lalui, teringat kembali. Hampir saja aku menangis, tetapi mendengar suara Fito buru-buru menghapus embun yang ada di mataku."Ma, udah." Fito mendekatiku."Iya, Nak. Ayo, kita ke kamar lagi.""Papa," ucapnya tiba-tiba. Aku mengerutkan dahi, seolah mengancam untuk tidak menyebutkan panggilan itu."Sudah malem ini, ayo, kita tidur!" sentakku.Namun, Fito malah berlarian ke ruang tamu, tempat berkumpulnya orang-orang tidak tahu malu itu. Mau tidak mau, aku pun mengikutinya."Hey, sini. Wah, sekarang gantengan, ya, anak papa!" Fito duduk di pangkuan Mas Bo'eng. Baru kali ini, Fito diperlakukan seperti itu."Fito abis dari mana aja?" Selidik mertuaku."Fito! Ayo, tidur udah malem!" bentakku."Wih, tumben sekarang bisa kasar sama anak, ya?" Mertuaku mencibir kembali."Ya, sudah! Mama mau tidur dulu," ujarku t
( Membungkam mulut nyinyir )"Roda kehidupan berputar mengikuti porosnya. Semua akan merasakan pergantian status, meskipun dengan waktu yang lambat."~ Amoy Shanghai ~***Setelah selesai makan, aku dan Fito tak langsung pulang. Kami membeli beberapa buah dan sayuran untuk stok selama kami menginap, Pak Mamat sudah aku bekali uang untuk tiga hari ke depan. Merasa semua sudah cukup, aku memutuskan untuk kembali ke kontrakan.Hanya 15 menit jarak tempuh, memasuki area kontrakan, aku langsung memarkirkan kendaraan roda dua ini. Semua mata memandang kami, ketika kaki ini turun dari mobil sport milik Ambar.Sengaja aku hanya memanggil Bang Avan, lalu menitipkan padanya untuk dibagikan ke semua tukang ojek yang ada di pangkalan saat itu."Wah, terima kasih banyak, Mbak. Kok, jadi merepotkan begini? Sayang, loh, uangnya." Bang Avan membawa sepuluh bungkus sekaligus di kedua tangannya."Gak apa-apa, Bang. Sekali-kali, mumpung lagi ada rejeki. Ini semua halal, kok," sindirku untuk para lelaki