Tiga bulan sudah aku berjualan sayur matang milik Erna, uang yang aku dapatkan dari keuntungan, telah aku sisihkan tanpa sepengetahuan Mas Bo'eng dan ibunya. Lambat laun, aku mulai berpikir, jika memasak sendiri akan jauh lebih untung. Tapi, ada rasa tidak enak di hati. Bagaimana kalau Erna tidak suka? Uang yang kudapatkan dari penjualan, sudah mulai terasa jumlahnya.
"Kalau masak sendiri, pasti jauh lebih banyak keuntungannya. Selain itu, aku, kan, sudah ada pelanggan tetap," ucapku dalam hati. Tapi, aku takut Erna jadi salah paham padaku.Beberapa hari lalu, Azam datang ke rumah ini, memberikan kesempatan kepada Mas Bo'eng untuk mengelola usaha konter barunya nanti. Rencananya, Azam akan membuka cabang di dekat sini. Setidaknya, suamiku ada pekerjaan.Azam juga menyuruh Mas Bo'eng untuk mengontrak rumah, atau tinggal di dalam kios baru nanti. Ibu mertuaku membujuk Mas Bo'eng untuk memberikan gaji pertamanya nanti, sebenarnya aku tidak mempersoalkan hal itu. Toh, kewajiErna menyuruhku untuk datang melihat konter baru secepatnya, emosi meluap bercampur sedih. Kenapa Mas Bo'eng tidak juga berubah? Erna memboncengku dengan motornya, saat sampai di depan konter itu, aku hanya melihat karyawan lainnya.Menurut Erna, ada sekitar empat karyawan termasuk Melly. Namun, hanya ada dua yang sedang berjaga. Aku pun tidak melihat adanya Mas Bo'eng.Melly adalah seorang perempuan berumur sekitar 18 tahunan. Rumahnya tak jauh dari konter ini. Ibunya Melly adalah langganan Erna."Mau cari apa, Mbak?" tanya perempuan berhijab maron pada kami."Mas Bo'eng sama Melly di mana?" tanyaku langsung. Terlihat ia begitu terkejut dan menoleh ke belakang lalu temannya berdiri mendekati kami.Konter ini terbilang cukup luas, karena dua ruko dijadikan satu. Etalase disusun leter L, aku dan Erna berdiri dekat sekat penghubung pintunya."Emm. Mbak siapa? Mas Bo'eng belum datang, Melly hari ini juga tidak masuk." Perempuan itu bernama Siti. Aku tak bisa membendung emosi lagi."Ke ma
Dasar pecundang sejati, aku hanya bisa bersembunyi dan terus berlari dari kenyataan. "Manusia lemah dan bodoh. Sudah mendapati siksaan batin sedemikian rupa, masih saja mau bertahan dengan keadaan ini." Mungkin kalian pun juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Ya, benar! Aku memang bodoh. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, akhirnya diri ini terjebak di dalam prahara kebodohanku sendiri.Erna menatapku iba, tanpa menceritakan tentang sumber tangisanku, ia sudah tahu permasalahannya. Tangannya meraih bahuku dan memeluknya. "Sabar, ya, Jul. Tuhan sedang menguji, tetap percaya pada-Nya." Aku membenamkan kepalaku di pelukannya."Kurang apa aku, Na? Selama ini, aku gak pernah menuntut apa pun dari Mas Bo'eng. Aku dengan ikhlas menerima semua kekurangannya," ucapku sambil tergugu. Erna mengusap-usap bahuku."Kekurangan kamu adalah terlalu sabar! Pemaaf!" rutuknya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang gak neko-neko, Na.""Justru itu, si Bo'eng mengambil kesempatan atas kelemahanmu!" t
Setelah selesai, Azam mengantarkan kami pulang. Hari ini, aku begitu bahagia bisa menemaninya. Azam mengatakan, bahwa ia habis berbelanja untuk kebutuhan konter barunya. Membeli beberapa alat untuk menservis HP. Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Sedangkan Fito, tengah asyik bermain mainan baru yang dibelikan oleh Azam tadi.Kami melewati konter Mas Bo'eng, sekilas aku melihat suamiku sedang memangku perempuan itu. "Ada apa?" tanya Azam yang tanpa sadar mengikuti arah mataku."Gak ada apa-apa," jawabku asal."Rencananya, aku ingin memasang cctv di sana." Hatiku berdebar. Seolah Azam tahu apa yang sedang aku pikirkan."Oh. Oh, ya, Zam ... Melly itu siapa yang masukin kerja?" tanyaku iseng. Entah kenapa, saat menyebutkan nama perempuan itu, hatiku begitu sakit sekali. Tenggorokan tiba-tiba begitu tercekat.Azam mengerutkan dahi, "Melly? Siapa dia?" Pertanyaan Azam membuatku bertanya-tanya, apa semua hak telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku? Dari memilah karyawan, hing
Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me
Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya."Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku."Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?""Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian."Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali."July! Buatin kopi!" teriaknya."Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.Tanpa berkata apa pun, aku mengambi
Pukul satu siang, saat aku sedang membantu Erna merajang sayuran untuk esok, suara Mas Bo'eng terdengar begitu melengking dari dalam rumah kontrakan mertuaku. Mungkin saja ibunya mengadu seperti biasa."Juliii! Sini lu!" teriak suamiku."Loh, itu suara si Bo'eng? Pasti mertuamu ngadu, tuh, ke dia.""Paling juga tar malam si Risa bakalan nambahin." Aku berjalan pulang ke rumah, Fito masih bermain di dalam. Setelah pamit, aku langsung berlari kecil sampai ke pintu dapur. Benar saja, Mas Bo'eng sudah ada di sini."Kenapa?" tanyaku pada lelaki itu.Mas Bo'eng duduk di sofa ruang tamu, awalnya ia membulatkan matanya seperti ingin menerjang musuhnya. Namun, detik kemudian ia terperangah melihatku. Mas Bo'eng menatapku dari ujung rambut, hingga ke ujung kaki sambil melongo."K-ka-kamu, kamu kenapa?" tanyanya dengan tergagap. Sudah lama sekali Mas Bo'eng tidak berbicara memakai "aku kamu" denganku, selama ini dia hanya memakai "lu gue" saaj. Namun, hari ini berbeda.Hatiku puas dan senyum dal
~Jangan pernah memulai sebuah hubungan hanya karena kamu kesepian. Sebab, ketika kau sadar cinta mulai tumbuh perlahan, maka itu akan terasa sangat menyakitkan.~***Ketika sampai di rumah Erna, Fito berlari mendekatiku. Mungkin, anak itu heran kenapa aku membawa buntalan baju ke rumah ini. Aku menyeka kembali air mata yang hampir mengering di pipiku."Sudah, kamu suapi Fito makan dulu, terus sekalian kamu juga makan. Baru nanti kita cari kontrakan," tutur Erna sambil menyerahkan piring lengkap dengan lauknya ke tanganku."Terima kasih banyak, Na. Kebaikan kamu, tidak akan pernah habis terbayar sepertinya.""Jangan bilang seperti itu. Sudah sepatutnya kita saling tolong, kan?"Aku menyuapi Fito, lalu menyuapi diriku sendiri. Makanan yang masuk tidak terasa di tenggorokan ini, padahal rasa lapar sudah dari tadi terasa. Akhirnya, aku tidak bernapsu untuk makan. Hanya Fito yang menghabiskannya.Erna sibuk memasak, sedangkan Mitta mewarnai buku gambarnya. Suami Erna telah mengijinkan aku
Tiga panggilan tak terjawab dari Azam, sengaja tidak mengangkatnya. Berkali-kali Mas Bo'eng dan keluarganya menyakitiku, perhatian Azam semakin membuatku tenggelam ke dalam cinta masa laluku."Angkat, loh. Itu Azam nelpon." Erna seperti gregetan melihatku, ia mencoba meraih ponsel tetapi aku menepis tangannya."Untuk apa diangkat? Aku takut," jawabku."Takut apa?" tanyanya. Dering teleponku sudah taj berbunyi. Pesan masuk bertubi-tubi dari Azam, hanya mengirimkan huruf "P" saja."Coba dibuka dan balas, kasian, loh."[P][P]Pesan "P" dari Azam, hingga 19 kali. Terlihat Azam sedang mengetik.Belum sempat membalas pesannya, ia mengirimkan kembali pesan baru. [July, ada apa? Kenapa gak mau angkat? Kamu marah?][Gak, Zam. Mana mungkin aku marah sama orang baik seperti kamu.][Besok kita bicarakan lagi, ya.] Pesan terakhir Azam."Erna, apa aku ini jahat?" tanyaku. Pandangan mataku masih menatap foto Azam sambil mengusapnya."Jahat kenapa?" Aku tahu, Erna pasti melihat apa yang sedang kulak