"Ada apa dengan Dinda, Arumi?" Dokter Andrean mengerutkan keningnya, menatap penuh tanya pada Arumi. Sedangkan tangannya terulur menarik lengan Arumi, membantunya berdiri.Dokter Andrean mengajak Arumi duduk di bangku tunggu rumah sakit, kemudian ia menyodorkan sebotol air mineral pada Arumi."Minumlah, tenangkan dirimu, Arumi. Ceritakan pelan- pelan, apa yang terjadi pada Dinda?" ucap dokter Andrean pelan."Dinda tertabrak motor, dan kakinya harus segera dioperasi. Saya bingung, Dok. Harus kemana mencari biaya operasinya?" ucap Arumi dengan berderai air mata."Kamu tenang saja Arumi, aku akan mengurus semuanya!" tegas Dokter Andrean.Arumi menatap sayu mata dokter itu, dan ia bisa merasa sedikit tenang. Dokter Andrean telah mengurus semua administrasinya, dan Dinda segera menjalani operasi. Arumi menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Dokter Andrean ikut menemani Arumi, sekaligus memberikan dukungan untuk ibu muda itu."Jangan khawatir, Arumi. Semua akan baik- baik s
Arumi membeku mendengar pertanyaan Dinda. Ia tak tahu harus menjawab apa? Wanita itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar."Dinda, Mama sudah kasih tahu papamu, kok. Tapi semalam papamu masih banyak pekerjaan," ucap Arumi sembari membelai lembut rambut bocah itu."Beneran, Ma? Papa sibuk bekerja, bukan sedang sibuk dengan Tante yang kemarin?"Pertanyaan menohok Dinda, sontak membuat dada Arumi terasa sesak. Arumi kembali menarik nafas dalam, memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk memberi pengertian pada Dinda, suara dokter Andrean membuatnya menoleh."Selamat pagi, Peri Kecil yang cantik!" Dokter Andrean tersenyum manis, menampilkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi.. Dokter ganteng itu berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah boneka panda lucu berwarna pink di tangan kanannya.Arumi dan Dinda menatap dokter itu bersamaan. Tak lama kemudian bibir Dinda terlihat melengkung, mengulas senyum pada dokter itu."Selamat p
"Bagus sekali. Jadi kau memanfaatkan anakmu untuk menarik perhatian dokter Andrean!" Tentu saja Aurel mengenal dokter Andrean. Dokter itu adalah dokter keluarga Aurel yang saat ini tengah merawat mamanya Aurel. Aurel menatap Arumi dengan tajam. Wanita itu juga menarik bibirnya berlawanan, membentuk senyuman penuh penghinaan. Di sebelahnya Ardi berdiri dengan tatapan penuh kemarahan.Terlihat tulang rahangnya yang mulai mengeras, juga tangannya yang terkepal erat."Mas Ardi," ucap Arumi lirih. Ia membalas tatapan suaminya dengan perasaan bersalah. ia masih saja memikirkan perasaan suaminya, padahal dengan tanpa perasaan suaminya mengabaikannya, dan justru menikahi wanita lain.Arumi memberi isyarat pada dokter Andrean untuk melepaskannya. Ragu- ragu dokter Andrean melepaskan tubuh Arumi. "Em, ini tidak seperti yang kalian pikirkan," ucap dokter Andrean, sembari merapikan jas dokternya, "tadi Arumi hampir jatuh dan aku hanya membantunya," imbuhnya.Aurel hanya mengangguk- angguk, semen
"RUMAH INI DIJUAL!" Jantung Arumi terasa berhenti berdetak, saat membaca tulisan yang tertera di atas kertas itu. Siapa yang melakukan ini, sedangkan beberapa hari ini ia berada di rumah sakit, untuk menjaga Dinda.Arumi memapah Dinda turun dari taxi. Ia segera membuka pagar rumahnya dan langsung masuk ke halaman rumah. Sebelah tangannya bergerak cepat merogoh saku bajunya, mengambil kunci rumahnya. Baru saja ia hendak memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci, pintu rumahnya sudah terbuka.Bu Hilda dan Santi nampak keluar rumah sambil menyeret dua buah koper besar. Arumi sangat mengenal koper itu. Koper itu miliknya. Sejenak kening Arumi berkerut, menatap heran pada sang ibu mertua dan adik iparnya itu."Apa yang Ibu dan Santi lakukan di rumahku?" ucapnya keheranan. Tiba- tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Setiap kali ibu mertuanya datang, pasti akan terjadi satu masalah dan dugaannya tak pernah salah."Rumah siap kau bilang?" Bu Hilda menaikkan alisnya sembari sedikit men
"Kau bisa tinggal di rumah kami! Rumah Ibu cukup besar untuk kita tinggali bersama!" Suara Arya reflek membuat Arumi menoleh ke arah belakang. Dunia seakan berhenti berputar, saat ia dapati suaminya itu berdiri di belakangnya, bersama Aurel yang tengah bergelayut manja di lengannya. Rasa sakit di dalam hatinya, tidak dapat diungkapkan dengan kata- kata."Tidak, Mas. Aku tidak mungkin tinggal bersama istri keduamu!" Arumi menggeleng lemah. Membayangkan tinggal bersama mertua yang tidak pernah menyukainya saja seperti mimpi buruk baginya. Apalagi jika ia harus tinggal bersama madunya juga. Tinggal di rumah itu, seperti masuk ke dalam neraka. Tentu saja neraka ciptaan suaminya sendiri.Sayangnya Arumi tidak punya pilihan. Ia tidak mungkin membawa Dinda yang belum benar- benar pulih hidup luntang - lantung di jalanan.Sekuat tenaga ia berontak, tapi hatinya luluh juga menatap putri kecilnya itu. Dipeluknya putri semata wayangnya itu. Tanpa ia sadari dua bulir cairan bening, lolos juga d
"Ada apa, Bu?" Arumi berjalan tergopoh- gopoh menghampiri mertuanya. Begitu sampai di hadapan Hilda, wanita paruh baya itu menyeringai."Enak ya, udah numpang malah santai- santai!" ucap wanita itu dengan bola mata hampir keluar, "apa kamu ga lihat rumah berantakan seperti ini? Cepat bereskan!" "Iya, Bu. Nanti Arumi bereskan. Tapi izinkan Arumi tidur dulu sebentar. Arumi ngantuk banget," ucap Arumi yang sedari tadi terus menguap. Matanya terasa begitu berat. Semalam di rumah sakit, ia memang tidak tidur sama sekali. Dinda terus merintih kesakitan, dan Arumi harus menenangkannya."Jangan banyak alasan untuk menutupi kemalasnmu itu. Kamu bereskan dulu. Baru kamu boleh tidur!" tegas Bu Hilda."Ba–baik, Bu!" Arumi tak ingin banyak berdebat dengan Hilda, lebih baik ia mengalah. Ia segera mengambil sapu dan membersihkan lantai rumah yang kotor dan berdebu. Sebenarnya Arumi heran, di rumah Hilda tidak ada anak kecil, tapi lantai rumahnya sampai berdebu seperti itu. Apa orang di rumah ini ti
Arumi melangkah tertatih menuju ke dapur. perutnya masih terasa sedikit nyeri, tapi ia tetap memaksakan diri untuk memasak makan malam untuk keluarga Ardi. Melewati Santi yang tengah duduk santai di sofa ruang tengah sembari memainkan gawainya. Bisa- bisanya Bu Hilda menyuruhnya yang tengah kesakitan memasak makan malam untuk orang- orang sehat seperti mereka."Santi, bantuin Mbak masak yuk," ucap Arumi."Ih, yang disuruh masak kan Mbak Arumi, kenapa jadi ngajak- ajak aku. kukuku habis perawatan, kalau bantuin Mbak masak nanti rusak," ucap Santi sembari memperlihatkan kuku- kuku lentiknya yang baru saja di manicure. "Tapi perut Mbak masih sedikit sakit, mbak takut masakan Mbak nanti malah ga enak," ucap Arumi."Ya itu sih urusan, Mbak!" sungut Santi, "ga usah sok pasang wajah memelas seperti itu di hadapanku. Santi ga bakal kasihan sama Mbak. Tampang Mbak itu memang cocok seperti tampang pembantu, wajar kalau ibu terus menyuruhmu!" ucapnya sinis.Arumi terpaksa melanjutkan langkahnya
Bu Hilda menghentikan makannya ketika tiba- tiba perutnya terasa melilit. Ia meletakkan sendoknya dan memegangi perutnya dengan kedua tangannya."Ibu kenapa?" tanya Santi saat melihat ibunya berhenti makan.Tak menjawab pertanyaan Santi, Bu Hilda justru berdiri dari kursinya dengan wajah panik. "BROT!" Bau busuk menguar bersamaan dengan suara yang membuat semua orang di meja makan itu kehilangan nafsu makannya."Ibu jorok!" pekik Santi mendelik jijik ke arah ibunya. Aurel yang juga baru saja mau makan dibuat melotot dengan mertuanya itu. Begitupun Ardi, ia melontarkan tatapan tajam ke arah sang ibu.Bu Hilda tak peduli putrinya marah-marah seraya mengibas-ngibaskan tangannya, yang penting rasa sakit di perutnya berkurang dan itu membuatnya lega."Perut Ibu tiba-tiba sakit, mules banget!" ujar Bu Hilda kembali duduk dan hendak melanjutkan makannya.Santi hanya mendengus jengkel dengan tingkah ibunya yang menurutnya sangat tidak sopan itu. Dia dengan kesal menyendok nasi dan bersiap un