Share

Ikhsan Berkhianat

Ya Allah ... kuatkan aku. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan suamiku bermesraan dengan perempuan lain. Kuhirup udara sebanyak mungkin, tak mau kelihatan lemah di hadapan mereka.

Vanya duduk diatas pangkuan suamiku, saling berpelukan dan mereka berci*man.

Kubuka pintu semakin lebar dan tanpa ragu aku masuk ke dalam. Tak kupedulikan baju yang basah karena air hujan. Kuambil high heels yang ada di lantai lalu melemparnya ke arah mereka.

Aarghh!!

Dengan serta merta pasangan laknat itu melepaskan diri. Vanya berteriak kesakitan karena wajahnya kuhantam dengan sepatunya sendiri.

Mas Ikhsan tak percaya aku ada di depannya. Matanya melotot seperti melihat setan. Tanpa banyak kata aku maju ke depan dan menamparnya dengat sekuat tenagaku.

Plak!

"Itu untuk pengkhianatanmu, Mas!" ucapku.

"Dek--," belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menambahinya reward sekali lagi.

Plak!

"Dan ini untuk harga diriku," imbuhku. Nafasku terengah-engah menahan emosi.

"Mbak, gak sopan kamu masuk rumah orang tanpa permisi," teriak Vanya.

Brak!

Kulemparkan kotak sampah yang ada di dekat pintu hingga isinya berhamburan mengotori wajahnya.

"Diam kau j*lang, kau bahkan tak berhak bicara padaku," teriakku.

Setelah itu kurapikan rambutku, seolah tidak terjadi apa-apa, aku berlalu dari hadapan mereka.

Melihat ada secangkir kopi dan minyak goreng yang sudah dibuka diatas nakas, aku menyambarnya dan kembali masuk ke dalam. Kutuang secara berhamburan diatas kasur milik Vanya.

"Sialan! Set*n kau!" teriak Vanya.

"Maaf mengganggu, silakan dilanjutkan lagi," kataku sambil berlalu. Tak lupa kututup pintu dengan kencang hingga menimbulkan getaran suara yang keras.

Baru keluar dari kamar kos itu, kulihat ada beberapa orang yang berkumpul di depan pintu. Mungkin mereka terganggu mendengar suara berisik.

"Ada apa, mbak? Kok sepertinya ada keributan?" tanya Seseibu penasaran.

"Ada ulat bulu dan buaya darat di dalam, Bu," ucapku sesopan mungkin.

Mereka semua hanya saling tatap bingung. Biarlah yang penting aku sudah melampiaskan emosiku hari ini.

****

Kususuri setiap jalan dengan deraian air mata, biarlah hari ini aku menangis sepuasnya. Besok aku harus bangkit, tak boleh lagi ada air mata untuk pengkhianat itu.

Kupanjatkan doa KepadaNya agar memberikanku kekuatan dan keikhlasan. Aku juga memohon agar dimampukan dan diangkat derajatku agar bisa mengangkat kepala kepada mereka yang sudah menyakitiku. Bukankah doa orang yang teraniaya akan diijabah?

Ingatanku kembali pada dua tahun yang lalu. Dimana Mas Ikhsan berjuang memenangkan hatiku. Segala macam cara dia lakukan untuk bisa membuatku jatuh hati kepadanya.

Awal mula kami bertemu karena dikenalkan oleh seorang teman. Di pertemuan pertama dia sudah menyukaiku, itu yang pernah dia katakan. Kegigihan Mas Ikhsan yang akhirnya membuatku luluh.

Masih kuingat betul bagaimana dia berjanji kepadaku. Saat aku menerima cintanya, dia bersumpah akan selalu setia dan membahagiakanku, bahkan dia mengatakan itu di depan orangtuaku.

Dan kini dia telah menghancurkan kepercayaanku. Dia tidak bisa melihat pengorbananku.

Bagaimana perjuanganku agar keluarganya bisa menerimaku, aku rela diperlakukan seperti babu, aku diam meskipun mereka sering mencaciku, dan aku juga rela berbagi penghasilan dengan Ibunya.

Tidak, aku tidak mau berjuang lagi. Sudah cukup selama ini aku berjuang mempertahankan rumah tanggaku sendirian.

****

Kudengar suara tangisan Raka saat memasuki rumah. Ternyata Bapak berusaha menenangkan bayiku. Sedangkan ibu mertua merengut, mulutnya juga tak berhenti mengomel.

"Dasar menantu edan! Pergi ke mana saja kamu?!" teriaknya padaku.

"Berisik, bayi cengeng!!" pekiknya pada bayiku.

"Cukup, Bu. Jangan mengumpat cucumu sendiri!" ucapku.

"Dari mana kamu? Lihat bajumu basah, lantai jadi kotor semua," cerocosnya tak berhenti.

"Naila, kamu dari mana? Ini Raka dari tadi tak berhenti menangis" tanya Bapak khawatir.

"Kamu ganti baju dulu, setelah itu baru gendong anakmu," kata Bapak.

Gegas aku mengambil baju lalu masuk kamar mandi. Secepat kilat kubersihkan tubuhku tak mau bayiku menangis terlalu lama. Terdengar suara motor Mas Ikhsan saat aku telah selesai.

"Udah, Pak. Raka biar saya gendong," pintaku.

Bapak lalu menyerahkan Raka padaku. Kubawa anakku ke dalam kamar untuk kuberi asi. Mas Ikhsan masuk, menatapku kikuk.

"Nai-," ucap Mas Iksan.

"Biarkan aku memberikan asi ke anakku dulu, Mas," selaku.

Mas Ikhsan lalu menyugar rambutnya kasar. Entah karena hasratnya terputus ataukah karena menyesali perbuatannya. Namun, aku yakin dia menikmatinya.

Raka telah tertidur, aku tak mau membuatnya terbangun dari tidurnya karena itu aku meminta bicara suamiku di luar kamar.

Aku menatap Mas Ikhsan tajam, dia terlihat salah tingkah. Tak mau menunggu terlalu lama, aku pun bersuara," Aku menunggumu, Mas. Cepatlah bicara,"ucapku.

"Nai ... aku khilaf, tapi kami baru melakukannya kali ini," jelasnya.

"Maksudku ... cuma sebatas itu, tidak lebih," Mas Ikhsan kesulitan menjelaskan.

"Itu karena aku mengganggumu. Jika tidak, kalian pasti sudah melakukan lebih," ucapku tegas.

"Kalian telah berkhianat di belakangku. Dan untuk sebuah pengkhianatan aku tidak bisa memaafkan," lanjutku.

"Naila, kamu jangan gegabah. Aku sudah minta maaf, tidakkah kamu ingin mempertahankan rumah tangga ini?" kata Mas Ikhsan mulai meninggi.

"Selama ini itu yang aku lakuin, Mas. Mempertahankan rumah tangga. Tak peduli bagaimana buruknya sikap Ibu dan ipar padaku. Meskipun kamu lebih sering membela mereka dari pada aku." Menahan sesak di dada kuungkapkan semua.

"Dan sekarang aku tak mau lagi berjuang sendiri karena pengkhianatanmu itu," lanjutku.

"Apa maksudmu, Nai? Kamu mau kita berakhir begitu saja?" tanya Mas Ikhsan tak percaya.

"Yang pasti aku akan pergi dari sini." ucapku tegas.

"Tidak, aku tidak mengijinkan!" ucap suamiku lantang.

"Egois sekali kamu, Mas! Kuminta menjauhi Vanya tak kamu hiraukan. Tapi kamu juga memintaku bertahan," ucapku.

"Setuju atau tidak aku akan tetap pergi, aku akan kembali ke rumah orangtuaku," lanjutku.

"Aku bilang tidak!" teriak Mas Ikhsan lantang.

Mendengar suara kami bertengkar, akhirnya Bapak keluar dari kamar diikuti Ibu di belakangnya.

"Ada apa ini, Ikhsan? Kenapa kalian saling berteriak?" tanya Bapak.

"Tadi Naila kembali ke rumah dalam keadaan basah. Aku yakin ada masalah diantara kalian." imbuh Bapak.

"Rumah ini kehilangan ketenangannya sejak kedatangan mantu tak tahu diri ini, Pak." Kembali ibu memprovokasi.

"Cukup,Bu. Jangan menambah keruh suasana,"ucap Bapak dan Ibu hanya mencebik.

"Katakan, Ikhsan. Kenapa kalian bertengkar?

"Naila ingin keluar dari rumah ini, Pak?" ucap Mas Ikhsan.

"Kenapa?" tanya Bapak.

"Mas Ikhsan berselingkuh di belakangku, Pak," kataku tertunduk.

"Bohong, Pak. Aku khilaf. Aku dan Vanya hanya--" Mas Ikhsan tak dapat melanjutkan kalimatnya.

"Mereka hanya saling berpelukan dan berciuman, Pak. Aku memergoki mereka berdua di dalam kamar kost," jelasku dengan menahan rasa sesak di dada.

Plak!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status