Share

Bab 2_Hampa

BAB 2

Siang itu Airin masih bergelut dengan setumpuk file yang harus ia periksa. Ada beberapa desain terbaru harus ia cek sebelum lanjut ke produksi dan pameran. Ada dua cabang baru yang peresmiannya baru akan dilaksanakan bulan depan.

Airin sangat ulet dalam menjalankan bisnisnya ini. Sebenarnya ia tidak mempunyai dasar ilmu berbisnis. Namun, wanita itu memiliki bakat di bidang desain.

Dulu, ia sempat bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan di bidang fashion, sempat bercita-cita ingin menjadi seorang desainer ternama. Namun, keadaan ekonomi keluarga menghentikan langkah dan cita-citanya.

Pendidikannya berhenti hanya sampai di bangku SMA saja, setelah itu dia mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen hingga kecelakaan yang menimpa sang ayah dan akhirnya ia menerima pinangan Bram.

Setelah menikah, Bram memboyong Airin untuk tinggal di Jakarta. Bram sangat memanjakan Airin yang kala itu masih sangat muda, dua puluh satu tahun. Dua orang anak Bram yang keduanya perempuan, dari pernikahan sebelumnya sudah berkeluarga dan usianya masih di atas usia Airin.

Mereka tidak mempermasalahkan pernikahan ayahnya dengan perempuan yang jauh lebih muda, bahkan di bawah usia mereka, karena mereka sadar ayahnya butuh seseorang untuk menemani di hari tua. Sementara mereka masing-masing sudah memiliki keluarga dan ikut suami yang kebetulan dua-duanya mendapat jodoh orang luar.

Saat kumpul keluarga pun mereka tetap bersikap hormat pada Airin dengan memanggilnya Mami dan menyaksikan sendiri bagaimana kebahagiaan ayahnya beristrikan Airin yang lembut dan penyayang. Begitu pun dengan Kenzo, mereka menyayangi anak kecil itu sebagai adik kandung satu bapak.

Airin yang biasa bekerja dan tak suka berleha-leha, mengutarakan keinginannya untuk membuka toko baju kecil dan disetujui oleh Bram dengan satu syarat Airin tak boleh kecapean.

Toko baju yang semula kecil dan hanya toko baju biasa di sebuah mal, berkembang pesat dan Airin mulai menambah usahanya dengan membuka sebuah butik dan bekerja sama dengan beberapa desainer. Sementara toko baju ia serahkan pada orang kepercayaannya untuk dikelola, tetapi Airin setiap satu minggu sekali datang untuk mengontrol perkembangan usaha dan para karyawannya.

Tak heran kalau semua karyawan sangat dekat dan menghormatinya karena sikap Airin yang selalu memperlakukan semua karyawannya dengan baik.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan di pintu membuat Airin berpaling, tampak Mitha —orang kepercayaannya—di butik, berdiri di ambang pintu seraya tersenyum dan berkata, “Bu, di depan ada Bu Ratih. Mau menunggu di depan atau biar saya antar ke sini?”

“Oh, sudah datang, ya? Bilang tunggu sebentar, ya, saya segera ke depan.”

“Baik, Bu.”

“Terima kasih, Mitha.”

“Sama-sama, Bu.”

Saking fokusnya Airin memeriksa beberapa file, sampai-sampai ia lupa bahwa hari ini ada janji dengan Ratih, sahabatnya. Kebetulan sudah waktunya makan siang, jadi Airin memutuskan untuk makan siang dengan sahabatnya itu.

Gegas ia memisahkan file yang sudah diperiksa dan yang belum untuk dilanjutkan lagi nanti setelah pergi dengan sahabatnya itu.

“Hai, Beib.” Ratih langsung menghampiri Airin begitu wanita bertubuh mungil ini tiba di tempat ia menunggu seraya melihat-lihat koleksi terbaru di butik sahabatnya ini.

“Aduh, sorry, bikin lo nunggu, lama, ya?” Airin merasa tak enak membuat Ratih menunggunya.

“Aishh ... kek sama siapa aja, lo.” Ratih menimpali seraya mengibaskan tangannya.

“Gimana kalo kita makan siang di cafe biasa? Lo juga belum makan, ‘kan?” Airin menawarkan.

“Yoklah.”

“Eh, pake mobil gue aja, ya, mobil lo taro sini.”

“Ok, nggak masalah.”

Lalu kedua perempuan modern itu melangkah dengan anggun keluar butik menuju mobil Airin yang ada di pelataran parkir.

“Butik, lo lumayan rame juga, ya, Rin.”

“Ya, Alhamdulillah. Disyukuri.”

“Lo enak, Rin. Hidup lo beruntung banget. Punya suami tajir, baik, sayang banget sama lo, pengertian, anak yang manis, pintar. Aaah ... udah paket komplit bener idup, lo. Lah, gue? Punya laki doyan main cewek doang buat apa? Bagusan juga gue tendang duluan sebelum gue kena tendang.” Ratih terkekeh di akhir kalimat yang diucapkannya.

“Sabar, itu artinya dia gak baik buat lo, Tih. Lo masih muda, cantik, nikmati dulu kesendirian lo. Jan kebelet kawin lagi, lo, ya.” Airin menimpali dengan sedikit candaan.

“Kalo gue kebelet anu gimana, dong.”

“Anu, apaan?”

“Ya, anu ... hilih ... hahaha,” Ratih yang agak sedikit nyablak meledakkan tawanya sementara Airin hanya senyum-senyum seraya fokus menyetir.

Tak lama mereka tiba di sebuah kafe yang sudah sering kali mereka kunjungi. Meja dengan posisi paling pojok menjadi pilihan untuk menikmati makan siang kali ini. Tempat itu menjadi favorit mereka setiap kali bertemu atau hanya untuk sekadar melepas penat dengan pekerjaan masing-masing.

“Kerjaan lo, gimana, Tih?”

“Alhamdulillah, kalo urusan kerjaan gue lancar, Rin. Cuma urusan anu aja gue mentok, hahaha ....” Ratih menjawab sekenanya yang membuat Airin geleng-geleng kepala.

“Eh, Rin, minggu depan gue ada tugas ke luar kota satu minggu. Kalo kerjaan gue kelarin sebelum satu minggu itu, gue ada waktu ‘kan buat jalan-jalan di sana. Susul gue, ya, please ....” Ratih berkata seraya menangkupkan kedua tangannya.

“Ke mana?” tanya Airin masih dengan mode cueknya.

“Surabaya.”

“Hmm ... nanti, ya, gue liat jadwal dulu, kalo bisa, ya, gue mesti izin paksu juga.”

“Pasti diizini, lah, laki lo ‘kan pengertian, gak kaya laki gue! Apa-apa gak boleh! Ini itu gak usah! Eh, ujungnya dia yang bedebah! Dulu sering tanya di mana, Yank? Gue pikir dia perhatian ma gue, ternyata cuma buat memastikan aja posisi gue di mana, biar dia leluasa jalan sama gundiknya!”

“Hahaha ... sabar, Bu, sabar. Sepertinya Ibu butuh makan dulu, deh. Eh, sebentar ... Ibu bilang apa tadi? Laki gue? Cieee ... cieee ... ada yang belum move on, nih ....” Airin menggoda Ratih yang masih terlihat geram saat ingat akan kelakuan mantan suaminya.

“Ish, najong! Amit-amit ... amit-amit.” Ratih mengentakkan kaki dan mengetuk-ngetuk kepalan tangannya pada meja yang membuat Airin terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu.

“Udah, kita makan dulu, tuh, udah datang pesanan kita.”

“Makan banyak, nih, gue.”

“Lapar banget?”

“No, kalo inget ini, nafsu makan gue naik drastis.” Ratih berkata seraya menyendokkan nasi ke dalam piringnya.

Airin senyum-senyum melihat tingkah sahabatnya, hanya dengan Ratih ia sering ketemu dan jalan bareng. Sudah hampir satu tahun ini sahabatnya menyandang gelar single parents, suaminya selingkuh dengan teman satu kantornya dan Ratih memilih untuk melepaskan ketimbang memaafkan. Mungkin karena mereka belum memiliki anak sehingga Ratih dengan keyakinan penuh memilih berpisah.

Airin menarik napas panjang, ucapan Ratih tadi yang mengatakan dirinya sangat beruntung, hidupnya sempurna, paket komplit. Aamiin. Hanya itu yang bisa ia jawab, tanpa Ratih tahu keadaan batinnya yang hampa.

Mereka asyik menikmati menu makan siang yang terasa sangat nikmat. Sejenak Airin melupakan apa yang bergejolak dalam hatinya belakangan ini. Ia harus mengisi dulu perutnya karena setelah ini masih banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status