BAB 17Lima belas menit berlalu, belum ada tanda-tanda Dazel akan segera tiba. Perlahan Airin merebahkan badannya, suhu ruangan yang sejuk membuat matanya mulai diserang rasa kantuk. Ia pejamkan mata dan menekan kuat dadanya untuk mengurangi debaran yang tak kunjung mereda.Baru saja ia hampir terlelap, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu, dibiarkannya beberapa saat hingga kembali terdengar suara ketukannya dan setelah yakin berasal dari pintu kamarnya, ia pun perlahan bangkit dan berjalan untuk membukakannya.Dengan rasa berdebar Airin membuka daun pintu dengan perlahan sekali, seraut wajah yang sangat ia rindukan ke ini benar-benar nyata ada di hadapannya.“Hai ....” Begitu sapa Dazel saat telah memasuki kamar dan Airin kembali menutup pintunya.Mereka berdiri berhadapan, tetapi Airin hanya menunduk dan kedua jari tangannya saling bertaut. “Hei, kenapa? Katanya kangen? Sini ....” Tanpa menunggu jawaban Dazel menarik Airin ke dalam pelukannya. Airin pasrah saja saat Dazel me
BAB 18Guyuran air hangat kembali memulihkan tenaga Airin yang sempat habis terkuras tadi, Airin selesai lebih dulu dan gegas keluar dari kamar mandi meninggalkan Dazel yang masih membersihkan diri.Airin terkekeh saat kembali memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan kembali mengenakannya. Lututnya masih terasa gemetaran dan perutnya pun terasa sangat lapar sekali. Permainan Dazel benar-benar membuatnya bertekuk lutut dan lupa siapa dirinya dan siapa Dazel.Dazel keluar dari kamar mandi dengan segaris senyum di bibirnya, dilihatnya Airin yang sedang merias diri di depan cermin dan ia berkata dalam hati, “Aku harus bisa memilikimu, Airin. Kamu perempuan yang mampu menyita semua pikiranku. Aku sangat mencintaimu dan inginkan kamu menjadi istriku.”“Yank ....” Airin memanggil Dazel manja.“Ya, kenapa, Sayang,”“Aku—lapar,”“Ya sudah, habis ini kita makan dulu, Sayang,”“Tapi tolong bantu keringkan rambut aku dulu, Yank,” pinta Airin yang masih membalut rambutnya yang basah meng
BAB 19Deg! Airin terkejut bukan kepalang saat mendengar kalau ternyata Bram sudah ada di Jakarta tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Keringat dingin tiba-tiba saja mengalir dari pelipisnya, kupingnya berdengung menandakan ia sedang panik.Airin menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan, berkali-kali ia lakukan itu untuk meredam gejolak perasaannya. Perasaan takut mendera hatinya, perlahan ia mencium aroma tubuhnya sendiri ia takut ada aroma laki-laki yang menempel di badannya dan tercium oleh Bram.[Halo, Mi, Sayang kamu enggak papa?] Terdengar nada cemas pada suara Bram saat beberapa detik lamanya tak ada jawaban dari istrinya.“E—enggak, Sayang, sebentar aku menepi dulu, Pi.” Masih dengan pikiran kalut Airin menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tak terlalu ramai.Setelah mematikan mesin mobilnya ia kembali mengatur napas dan mencoba meredam debaran dalam dadanya yang semakin menjadi.“Papi di mana? Sudah di rumah?” tanyanya setelah merasa sudah mulai dapat menguasai dir
BAB 20“Tih, lo, enggak papa?” tanya Airin demi melihat sahabatnya seperti tak selera makan.“Maksudnya?”“Lo, kek enggak selera gitu makannya, atau mau pesan yang lain? Bentar, kita pesan—““Eh, enggak usah ... cukup, kok,” Ratih memotong ucapan Airin yang bersiap melambaikan tangannya pada pelayan. “And then? Ada apa? Kita bukan baru kenal. Gue udah paham banget sifat lo dan begitu juga sebaliknya. Please, tell me why?”“Hmm ... makan dulu, ya? Gue janji pasti cerita.”“Oke, tapi lo juga harus makan,”“Oke ... oke, Tuan Puteri,” jawab Ratih seraya memajukan badannya ke arah Airin yang seketika mencebikkan mulutnya. Akhirnya dengan susah payah Ratih mencoba menelan suap demi suap makanan demi tak mengecewakan Airin yang telah memesan begitu banyak makanan untuk lunch mereka. Setelah merasa cukup, mereka menyudahi makan siang mereka dan masih ada beberapa menu yang tak tersentuh, Airin berinisiatif untuk membungkusnya dan menambah beberapa menu ikan goreng juga nasi putih untuk dib
BAB 21Tok ... tok ... tok!Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya.“Masuk saja ....” Dengan menahan rasa sakit Airin menjawab.“Ibu ... loh, Bu Airin kenapa?” Mitha yang baru saja membuka pintu sembari membawakan segelas air putih hangat, terlonjak kaget melihat Airin sedang meringkuk di sofa dan meringis menahan sakit hingga wajahnya pucat.“Mitha, tolong saya, Mit.” Airin meringis kesakitan.“Apa yang harus saya lakukan, Bu?”“Perut saya sakit, Mit.”“Ibu coba minum dulu, ya, mudah-mudahan air hangat ini bisa meredakan sakitnya, Bu.” Mitha membantu Airin duduk dan memberikan segelas air putih hangat lalu Airin meminumnya.“Sakitnya seperti apa, Bu?” “Melilit, Mit, sakit banget.”“Saya coba pijit telapak kakinya, ya, Bu?” Mitha menawarkan dan dijawab Airin dengan anggukan. Lalu ia berselonjor dan Mitha mulai memijat di bagian telapak kakinya.Pijatan Mitha sedikit meredakan rasa sakit yang tadi begitu menyiksa.“Pijatanmu enak juga, Mit, kamu bisa mijit?”“Ah, sedikit, Bu.
BAB 22Pagi ini Bram bangun lebih awal dari biasanya, sedangkan Airin yang terbiasa bangun lebih pagi, kali ini terlihat sangat nyenyak sekali tidurnya dan Bram tak ingin membangunkannya. Dirabanya kening Airin yang sedikit terasa lebih panas dari biasanya, sepertinya Airin agak demam dan kalau sampai setelah sarapan dan minum obat pereda demam masih juga belum membaik, Bram akan membawa Airin ke rumah sakit tanpa harus menunggu persetujuan Airin yang agak susah diajak berobat setiap kali badannya merasa kurang sehat dengan alasan takut jarum suntik. Perlahan Bram menyelimuti tubuh istrinya dan setelah itu ia turun ke dapur, ia ingin membuat sarapan untuk istrinya dengan tangannya sendiri. Selama ini Airin selalu mengurusi semua keperluannya dengan sempurna, kali ini Bram ingin merawat istri tercintanya itu dengan penuh cinta seperti yang ia terima selama ini dari Airin. “Selamat pagi, Pak,” sapa Bu Nah terheran-heran saat melihat Bram masuk ke dapur sepagi ini. “Pagi, Bu Nah. Bu
BAB 23Tiga hari sudah Airin terbaring lemah di rumah sakit dan selama itu pula Bram tak pernah beranjak dari sisinya. Ia dengan telaten menyuapi, mengelap badan, dan mengurus semua yang Airin perlukan.Hari ini kondisi Airin sudah lebih baik dari sebelumnya. Ia sudah bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi. Rasa melilit di bagian perut sudah tak lagi terasa seperti kemarin. “Pi, aku mau pulang,” ucapnya saat Bram menyuapi makan siang untuknya. “Ya, Sayang, kita tunggu visit dokter dulu, ya, setelah itu nanti kita konsultasikan apakah sudah boleh pulang atau tidak.”“Tapi aku udah enakan, Pi, perutku juga udah enggak sakit lagi.”“Sabar, ya, Sayang,” bujuk Bram penuh kasih sayang, “Habiskan dulu makanannya, ya, setelah ini ada visit dokter kita bicarakan, oke?”“Hemm ....”Airin menghabiskan sisa makan siangnya dengan sedikit malas. Sesekali matanya melirik ponsel yang ia letakkan di samping tempat tidur. Ini hari keempat tak ada kabar dari Dazel sejak batal bertemu tempo hari. Sampa
Bab 24Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga segar pun masih bertaburan di atasnya. Orang-orang berbaju hitam yang tadi memenuhi area pemakaman untuk menghadiri acara pemakaman seorang wanita, satu per satu telah meninggalkan pemakaman. Kini, tinggallah seorang lelaki duduk termenung di samping batu nisan yang bertuliskan : REGINA PUTRI WULANDARILahir : Majalengka, 03 Januari 1989Wafat : Jakarta, 09 Februari 2022Lelaki itu adalah Dazel. Lelaki yang beberapa jam lalu masih memeluk tubuh istrinya yang semakin melemah. Ya, Dazel adalah seorang suami dengan dua orang anak. Ia sebenarnya lelaki baik yang begitu menyayangi keluarganya. Namun, sejak empat tahun yang lalu, tepatnya sejak Egi—panggilan—untuk Regina, divonis menderita leukimia stadium empat, hidupnya serasa hancur apalagi kedua anaknya masih sangat memerlukan perhatian penuh dari seorang ibu. Dazel berusaha mencari pengobatan yang terbaik untuk istrinya. Tak pernah sekalipun ia lalai mengurusi pengobatan dan