Share

BAB 5

MESIN CUCI

Toxic

Tak lama kudengar suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Kulihat tangannya menenteng plastik makanan. Ibu mertua langsung berseri melihat kedatangan anak laki-lakinya.

"Lala … Ayah bawa martabak coklat keju kesukaan kamu. Sini, Nak!" panggil Mas Riza pada putri sulung kami. Aku yang sedang mencuci piring bekas makanku tak menoleh sama sekali.

"Lho … Lala itu sudah makan. Paling-paling juga nggak dimakan wong sudah kenyang. Sini ambil lemek kecil aja buat Lala. Biar nggak dibejek-bejek tangannya. Yang di kotak biar buat Tika. Dia juga suka martabak coklat keju."

Ibu mertua menyaut kotak martabak di tangan Mas Riza. Dengan langkah anggun dia berjalan ke rak dapur mengambil lemek kecil sebagai alas martabak untuk Lala.

Seperti biasa, Mas Riza tak mampu berbuat banyak menghadapi ibunya. Kulihat Lala sedikit kecewa dengan perbuatan ibu mertua. Apalagi hanya sepotong kecil saja yang sang nenek ulurkan ke tangannya.

Matanya mengerjap melihat potongan martabak yang ibu ambilkan. Sepertinya dia sengaja memilihkan bagian kecil untuk anakku. Sedangkan yang sekotak itu dia simpan di lemari dapur.

Ujung martabak yang aku yakin menjadi pilihan terakhir setiap orang saat menyantap martabak itu diberikan pada anakku. Rasanya sakit sekali, sudut hatiku berontak melihat sikap tak berotak Ibu mertua.

"Tak usah, Bu. Lala sudah kenyang. Sudah sikat gigi pula! Lagi pula kalau cuma secuil pinggiran martabak, ibunya masih bisa beli berkotak-kotak tanpa harus merampas jatah orang!" ujarku bengis sambil menahan tangan ibu mertua yang hendak meraih tangan Lala.

"Memangnya anakku siapa, harus diberi jatah martabak yang semua orang ingin menyingkirkannya."

Mata ibu mertua membelalak mendengar ucapan pedasku. Biarlah aku dicap menantu durhaka, apalagi kalau anak-anakku yang diinjak harga dirinya seperti ini. Panas betul hatiku melihat pemberian ayahnya justru dimasukkan ke dalam lemari yang tinggi.

Seolah ketakutan anakku akan mengambilnya, padahal selama ini kedua anakku tak akan memakan apapun yang bukan diberikan olehku. Jadi tak mungkin mengambil makanan yang jelas-jelas sudah diletakkan di tempat yang sulit.

"Bun …," panggilan lirih Mas Riza terdengar. Tak kuhiraukan suara itu. Kuraih Risa dan menuntun Lala ke kamar. Samar-samar masih dapat kudengar ibu mertua yang menceramahi anaknya.

Silahkan, Mas. Dengarkan tausiyah dari ibumu dengan baik. Sesekali jadilah aku yang tiap hari mendengar ibu mertua ceramah bagaimana menjadi istri solehah idaman surga. Sedangkan surganya sendiri tak terlihat sama sekali hilalnya.

***

Jam setengah tiga pagi aku keluar dari kamar. Kulangkahkan kaki menuju ke kamar mandi dengan kutahan rasa kantukku. Inilah mengapa aku ingin sekali pindah ke rumah sendiri. Ingin sekali aku membuat kamar mandi di kamar.

"Tenang, Mas. Nanti pulang kerja aku langsung aja ke kosan kamu. Besok aku off day satu hari. Nanti kuberi alasan pada orangtuaku. Bilang saja ada meeting dengan karyawan satu kabupaten. Pasti ibuku percaya. Pokoknya kamu tenang saja, Mas."

Samar-samar kudengar suara Tika di dalam kamarnya tengah menelepon seseorang. Alisku bertaut mendengar perkataannya. Aku mencium aroma ketidakberesan pada adik iparku itu.

Tapi buru-buru kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Bukan urusanku, lagi pula bodo amat dia mau berbuat apa. Toh ibunya akan selalu mendukung apapun yang dilakukan putri manisnya.

Selesai dari kamar mandi aku menuju ke kamar untuk melaksanakan ibadah sholat malam. Saat melewati kamar Tika, kulihat pintu kamar yang tiba-tiba terbuka. Tika membelalakkan mata melihatku. Sepertinya dia tak menyangka aku berada di depan kamarnya.

"Heh, Mbak. Nguping ya?" tanyanya dengan suara meninggi. Bahkan anak itu masih menggunakan baju kerjanya. Kubalas tuduhannya dengan mencebik sinis.

"Iya dong. Awas kebablasan ya… ada apa-apa ditanggung sendiri, dilarang sambaaat… apalagi sambat ke Mas Riza" jawabku dengan menyunggingkan senyum ancaman.

Aku sendiri heran bisa-bisanya ide mengerjai Tika muncul begitu saja. Padahal aku hanya mendengar sepotong saja kalimat yang Tika ucapkan saat bertelepon dengan seseorang.

"Awas kamu, Mbak! Suka banget ngurusin hidup orang. Pasti kamu sengaja nguping ya. Kamu takut, kedok kamu kebongar. Diam-diam suka ketemuan sama pria lain di belakang Mas Riza!"

Aku tersenyum meremehkan. Tika menatapku dengan mata melotot. Polesan make up-nya terlihat luntur di sana-sini. Apalagi bulu matanya yang terlihat tidak wajar.

"Aku tantang kamu punya bukti kalau aku benar-benar ketemuan sama cowok lain di luar sana! Aku tunggu ya," ujarku sambil berlalu dari hadapannya. Secepat kilat Tika menutup pintu dengan keras.

Like mother, like daughter. Sama-sama sawan suka banting-banting pintu!

***

Kuperiksa satu per satu buku ulangan anak didikku. Setelah selesai dikoreksi, nilai mereka kuisikan di buku analisis. Rasanya lega sekali melihat presentasi hasil ulangan matematika kali ini lebih dari 90%.

Suasana di kantor lumayan sepi. Hanya ada Bu Kinanti yang kelasnya juga sedang diisi oleh guru lain, sama sepertiku. Kulihat dari tadi dia tersenyum menatap layar ponselnya.

"Udaah … buruan minta dihalalin, Mbak. Biar nggak nanggung banyak dosa zina mata," ujarku mengejeknya. Bu Kinanti yang masih gadis itu hanya tersenyum simpul.

Dia memang guru baru di sekolah ini. Baru lulus kuliah dan melamar menjadi guru honorer sambil menunggu jadwal tes CPNS tahun berikutnya.

Tak lama kulihat layar ponsel yang berkedip. Memang selama sekolah aku selalu menggunakan mode senyap agar tak menganggu rekan lain atau anak didikku saat berada di dalam kelas.

Mas Riza mengirimiku pesan.

[ Bun, sibuk? Tika mau pinjam motor kamu buat kerja hari ini. Nanti dia ke sekolah kamu buat nukar motor. Nggak papa, kan?]

Tak ada niatan untuk membalas pesan suamiku. Tanpa menunggu jawabanku pun pasti adiknya yang sok itu tetap kemari untuk menukar motornya. Mungkin dia malu menggunakan motor lamanya hingga menginginkan motor baruku yang pasti masih kinclong.

Padahal dulu saat aku ingin meminjam motornya, berbagai alasan tak masuk akal dikemukakannya. Aku sadar, itu hanya alasan agar aku tak bisa menggunakan motor itu saja.

Tak lama kulihat Tika dengan jaket kuning gadingnya sudah meluncur di halaman sekolahku. Kuambil kunci motor dengan malas. Sebenarnya ada rasa sayang saat membiarkan Tika menggunakan motor itu.

Tapi jika aku melarang dia meminjamnya, entah sindiran sepedas apa yang akan keluar dari mulut Tika dan ibunya. Aku tak bisa membayangkannya.

"Pulang kerja langsung pulang ya, Tik," ujarku pelan. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya.

"Tik?" ulangku. Barangkali dia tak mendengar, aku masih berpositif thinking. Hebat sekali bukan?

"Bawel. Belum juga berangkat! Lagi pula motor ini juga yang beli Mas Riza. Masa adiknya nggak boleh make!" jawabnya judes. Aku memutar bola mata malas.

"Dengarkan kataku. Buka telinga kamu lebar-lebar. Motor itu aku yang beli, bukan kakakmu. Jadi kamu jangan sembarangan kalau bicara."

Dengan gerak cepat Tika melajukan motornya dengan cepat dan berlalu dari hadapanku. Boro-boro ucapan terima kasih. Tidak menampakkan wajah juteknya saja sudah beruntung.

Rupanya gadis ini tak tahu aku membelinya dengan uangku sendiri. Karena Mas Riza dilarang ibunya saat akan membelikanku sepeda motor baru.

Ibu mertuaku beralasan aku cukup jalan kaki saja ke sekolah. Tak perlu motor apalagi harus membeli baru. Karena aku sudah kesal, nekat saja aku membelinya dengan uangku sendiri. Toh kebutuhan harian sudah menjadi tanggung jawab Mas Riza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status