"Hei, Vit. Cepat kamu hubungi Tika! Tadi sudah Ibu telepon HPnya nggak aktif. Siapa tau sekarang aktif!" perintahnya. Nadanya yang ketus tadinya membuatku menolak perintah itu. Tetapi mengingat Tika pun membawa motorku, aku cepat mengambil ponselku di kamar.
Kucoba menghubungi nomor Tika. Tak ada tanda-tanda dia mengaktifkan ponselnya. Lama-lama kurutuk adik iparku itu.Kurang ajar sekali kalau dia memang sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Kenapa pula dia membawa motorku?"Gimana? Dijawab nggak?"Aku menggeleng. Ibu mertua kembali meracau. Kalimatnya sudah beralih ke mana-mana. Aku yang tak mau tambah pusing melihat tingkahnya, segera beranjak ke kamar. Khawatir juga Risa menangis saat terjaga dan mencariku jika tak ada di sisinya."Dasar menantu tak berguna! Disuruh menghubungi Tika malah ngeloyor pergi. Nggak ada etikanya sama sekali!" sembur ibu mertua. Aku masih mampu mendengar kalimat umpatannya. Kali ini aku harus memaklumi, mengingat dia sedang panik dengan keberadaan anak kesayangannya.Rasa khawatirku hanya pada motorku yang dipakai gadis itu. Jika ada apa-apa dengannya, tentu saja aku sendiri yang rugi. Mungkin terdengar jahat, tetapi nyatanya gadis itu susah sekali untuk mendapat perlakuan baik dariku.Dua jam setelah itu, suara motor Mas Riza masuk ke halaman rumah. Aku yang penasaran kembali beranjak dari kamarku. Bagaimanapun aku juga harus memastikan keberadaan motor itu.Wajah Mas Riza menyiratkan sesuatu yang buruk tengah terjadi. Aku mendadak lemas, mengingat motor itu baru hitungan bulan kubeli dengan uangku sendiri."Tika sudah pulang dari sore. Semua temannya nggak ada yang tahu dia pergi ke mana. Sudah kucari di sekitar tempat dia kerja, bahkan beberapa tempat temannya sudah kudatangi. Nihil," ujar Mas Riza dengan lesu. Ibu mertua menangis histeris. Jujur jika tadi aku hanya mengkhawatirkan motor yang dipakai Tika, sekarang aku ikut khawatir tentang nasib anak itu.Tangisan Ibu membuat suasana bertambah tak karuan. Seandainya dia bisa diam, tak lepas kontrol seperti ini mungkin kepala kami sedikit dingin, tentu saja mudah menemukan solusi dari hilangnya Tika ini. Sayangnya rasa cintanya pada putri kesayangannya membuat suasana makin kacau. Kami harus mencari solusi sekaligus memberi ketenangan pada wanita itu."Yah. Tadi pagi aku nggak sengaja denger Tika mau mampir ke tempat temannya. Bahkan dia sepertinya mau menginap. Karena besok dia off satu hari," ucapku dengan ragu. Bagaimana pun aku harus memberikan informasi itu. Siapa tahu memberi petunjuk keberadaan Tika sekarang.Ibu menghentikan tangisannya dan menatapku tajam. Aku menangkap sinyal hal buruk akan terjadi padaku. Wanita itu mendekat seraya mengacungkan telunjuknya padaku."Kenapa kamu baru bilang sekarang, hah? Kalau kamu tadi pagi langsung bilang pasti Tika tak kuijinkan pergi menginap di tempat temannya! Dasar guru b*doh! Tak ada ot*k sama sekali. Gara-gara kamu keberadaan Tika jadi tak jelas begini!" teriak ibu mertua padaku.Aku membelalak lebar mendengar makian tak manusiawi wanita itu. Mas Riza pun demikian, dia menampilkan wajah yang kaget dengan reaksi yang Ibu tunjukkan. Meski seperti yang sudah-sudah, dia tak bisa berbuat banyak terhadap apa yang dilakukan oleh ibunya. Aku sama sekali tak menyangka dia bisa mengucapkan kalimat sekasar itu padaku. Aku berbalik kembali ke arah kamar. Tak kuhiraukan panggilan Mas Riza. Kali ini ibunya benar-benar keterlaluan. Sama sekali tak ada harga diriku baginya.Dan Mas Riza, sikapnya yang tetap diam saat harga diriku dijatuhkan membuat hatiku remuk tak berbentuk.Pagi ini aku tak melakukan aktivitas seperti biasanya. Sengaja aku hanya menyiapkan makanan untuk Risa dan Lala. Mbak Minah, pengasuh mereka sudah kumintai tolong untuk memandikan mereka di rumahnya. Aku benar-benar marah dengan kejadian tadi malam. Semalaman aku sulit sekali memejamkan mata. Entah jam berapa aku bisa terlelap tidur hingga terbangun dengan kepala berdenyut nyeri dan mata yang membengkak sempurna. Lengkap sudah keadaanku pagi ini. Beruntung Lala dan Risa sangat pengertian dan mau diurus Mbak Marni meski setiap pagi aku yang bisa menyiapkan segala kebutuhan mereka. Kuabaikan kewajibanku memasak untuk seluruh anggota keluarga ini. Lantai rumah pun tak aku sapu sama sekali. Biar saja mereka tahu aku yang dikatai guru b*doh ini sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Saat aku keluar dari kamar, kulihat Mas Riza berdiri dengan tatapan mata sayu. Ada rasa kasihan mengingat semalaman dia tak kunjung masuk ke kamar lagi. Pasti ibu mertua memintanya mencari keberadaan Tika.
Tika Ditemukan 1"Makanya, Riza itu lama-lama tahu. Sebusuk apa istri yang dinikahinya," cemooh ibu mertuaku. Bapak mertua memegang lengan ibu, mengisyaratkan agar wanita itu diam. "Jangan ikut campur dengan urusan anak-anak. Tak baik. Lagi pula bukankah lebih baik kita fokus dengan urusan Tika? Mengapa merepotkan diri mengurusi hal yang seharusnya tak menjadi persoalan?" ucap Bapak Mertua dengan suara pelan penuh tekanan. Kudengar Ibu mencebik sinis. "Biarin, Pak. Sekali-kali dia perlu tahu. Jangan mentang-mentang sudah PNS …""Assalamu'alaikum," ucap seorang dari depan rumah.Ibu mertua langsung berlari ke arah depan. Disusul bapak mertua dan Mas Riza. Aku yang memang akan pergi ke sekolah segera menuju ke depan. "Benar ini rumah Kartika Pratiwi?" Seorang lelaki berpakaian polisi berdiri di depan pintu. Satu orang lagi berdiri tak jauh dari mobil patroli polisi. Ibu mertua luruh ke lantai. Beruntung Mas Riza dan bapak menangkap tubuhnya. Aku melirik pemandangan itu sekilas tanpa
Di sekolah aku tak fokus sama sekali.Teman-temanku yang seolah mengerti dengan masalahku tidak ada yang bertanya apapun. Aku hanya merenung di balik meja komputer. Memainkan keyboard tanpa kegiatan bermakna. Mereka paham, bahwa dalam keadaan seperti ini aku lebih suka diam. Tentu nanti akan kuceritakaan kalau sudah tepat waktunya. Yang jelas saat ini aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Toh berita kehilangan Tika semalam pasti sudah sampai di telinga banyak orang. Apalagi ibu yang selalu memakiku dengan keras, menyalahkanku karena tidak menyampaikan informasi yang kudengar pasti sangat mudah terdengar di telinga tetangga.Beberapa kali Mas Riza meneleponku. Tak kuangkat, karena jujur saja aku masih sakit karena dia membentakku dan tak mampu membelaku di depan ibunya.Kubiarkan lelaki itu menimbun rasa bersalahnya tinggi-tinggi. Kali ini aku benar-benar tak ingin mengalah. Dia sudah kelewatan. Aku tak akan membiarkan diriku dipecundangi seperti tadi. Setelah kejadian ini, aku benar
"Bun. Nanti aku ganti motor yang dihilangkan Tika. Tolong Bun. Jangan bersikap seperti ini!" pinta Mas Riza. Aku menatapnya dengan sinis. "Kamu tahu, Mas? Aku sengaja membelinya menggunakan uang pribadiku agar tak keluargamu tak mengungkit soal motor yang kupakai. Itu saja Tika masih seenaknya memakai dan mengakatakan motor itu pemberianmu. Jika sekarang kamu benar-benar menggantinya dengan uangmu, bagaimana tanggapan kedua orang itu? Aku makin diinjak dan diperlakukan seperti seorang pengemis yang seolah-olah menghabiskan hartamu saja!" Aku sengaja menekankan kata dua orang itu pada Mas Riza. Aku ingin dia tahu aku benar-benar marah kali ini. Aku ingin Mas Riza makin memperbaiki sikapnya. Aku tak ingin dia diam seribu bahasa saat aku tengah direndahkan kedua wanita di sisinya." Lalu bagaimana kamu akan pergi ke sekolah, Bun?" tanyanya kemudian. Aku berhenti dan memandang wajah itu. "Jalan kaki. Seperti itu kan perintah ibu dan adikmu?".Kulihat kilat penyesalan di mata suamiku. D
Sebuah Keputusan Aku melihat Tika sedang duduk mengangkat kakinya di kursi ruang tengah. Sesudah menyiapkan makanan untuk Lala dan Risa, aku tak memasak apa pun untuk anggota rumah ini. Biarlah mereka terbiasa tanpaku. Aku ingin mereka berlatih hidup tanpa pembantu gratis ini. Tika yang melirik ke arahku tak punya inisiatif untuk menjelaskan perihal motor itu. Bahkan ucapan permintaan maaf pun tidak ada. Heran sekali ada orang seperti dia. Bebal bermuka tembok. Tak punya rasa malu sedikit pun. Mulutku yang sudah gatal ini kupaksa mengeluarkan pertanyaan untuknya."Jadi motorku gimana nasibnya, Tik?"Orang yang kutanya itu melirik sekilas dengan wajah jutek. Dia kembali memasukkan tangan ke dalam toples di depannya. Tak ada tanda-tanda dia akan menjawab pertanyaanku. Kesal, aku mengulangi pertanyaan untuknya. "Tik. Kamu sudah sehat, Kan? Polisi bilang akan meminta keteranganmu kalau kamu sudah sehat. Kulihat kamu sudah sehat, biar nanti kuhubungi polisi untuk kemari," pancingku pad
Dari Mas Riza ku ketahui kabar mengenai kronologis kejadian yang menimpa Tika kemarin. Itu pun setelah Mas Riza bertanya langsung pada polisi yang menangani kasus Tika. Anak itu janjian dengan seseorang di kafe dekat alun-alun kota. Setelah puas kopi darat, Tika diajak laki-laki itu ke kos-kosan yang tidak jauh dari lokasi pertemuan mereka. Entah apa yang dipikirkan Tika, bahkan dia mau diajak ke kos-kosan lawan jenis. Terlebih lagi dia baru mengenal laki-laki itu. Dan parahnya, selama ini Tika sering memberi uang padanya. Benar sekali dugaanku selama ini. Pantas saja dia selalu merongrong keuangan suamiku akhir-akhir ini. Klasik, laki-laki itu mengaku seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di kota ini. Dia meminta uang pada Tika dengan dalih kiriman dari orang tuanya tersendat. Luar biasa sekali, bahkan Mas Riza keceplosan bahwa selama ini Tika meminta sejumlah uang padanya. Tika mengaku setelah beberapa saat di kos-kosan, laki-laki yang mengaku bernama Dion itu memint
Mas Riza Galau Pulang sekolah aku mendapati rumah layaknya kapal pecah. Kulihat sampah berserakan, terutama bekas tisu. Aku berjingkat jijik melewati tisu-tisu tersebut. Belum lagi kulit kacang yang memenuhi karpet bulu yang pasti akan sedikit sulit dibersihkan. "Kebetulan kamu sudah pulang. Tolong bersihkan rumah, Vit. Tadi minta tolong Tika malah ngeloyor ke kamar. Mungkin masih belum baik kondisi hatinya," perintah ibu mertua padaku. Aku diam saja pura-pura tak mendengar. Kuambil segelas air dan kuteguk hingga tandas. Aku melewati posisi Ibu yang berdiri di dekat dispenser tempat aku mengambil air minum. "Vit, denger kan Ibu ngomong?" ulang ibu mertua. "Aku lelah, Bu. Tadi di sekolah banyak kerjaan. Biar nanti saja Tika kalau sudah istirahat suruh bersihkan sendiri sampahnya," jawabku sambil menuju ke kamar. "Kamu tadi denger kan? Tika masih belum baik kondisinya, jadi belum mau mengerjakan pekerjaan rumah." Wanita itu masih bersikukuh dengan kalimatnya. "Dari dulu berarti ko
Lala dan Risa tampak antusias setelah kuajak melihat rumah kami. Lala bahkan meminta space khusus di teras samping untuk dijadikan area bermain. Kesempatkan video call dengan Mbak Ratih. Kakakku yang menekuni bisnis kain di Bandung itu terlihat santai duduk di meja kerjanya. "Gimana Vit? Sudah sampai mana renov rumah ibu?" tanyanya. Karyawannya yang hilir mudik di belakang nampak tak mengganggunya sama sekali. Padahal aku yang melihatnya sedikit pusing dengan aktivitas di belakang Mbak Ratih. "Alhamdulillah, Mbak. Kata tukang kurang lebih satu minggu lagi selesai. Sengaja kuambil tenaga tukang agak banyak, biar cepat selesai." "Bagaimana mertuamu? Setuju kalian pindah?""Lho…Setuju atau tidak kami harus pindah. Rasanya sudah tak nyaman. Barangkali hubungan kami akan membaik kalau tinggal tak serumah." Kuambil Risa dan memposisikan di pangkuanmu agar wajahnya terlihat oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih nampak senang melihat keponakannya yang makin hari makin gembul ini. "Pokoknya Mbak duk