Share

Bab 4

Acara pertemuan teman-teman Rafael pun dilangsungkan dengan sangat meriah ada sekitar empat mobil yang membawa teman-temannya. Yuni dan Bik Ningsih sudah mempersiapkan beraneka ragam masakan. Ada opor ayam, sambal goreng ati, dan daging rendang yang menggugah selera.

"Enak banget ini Raf, jadi laper liatnya." Celetuk salah satu teman Rafael yang bernama Noval.

"Iya dong, kalau dirumahku pasti masakannya jos banget." Timpal Rafael dengan bangga, dia masih mengira masakan ini yang masak Maminya, karena Bik Ningsih menurutnya masakannya kurang enak.

Yuni mendengar sayup-sayup teman Rafael yang memuji masakannya hanya senyum-senyum simpul.

"Neng, masakan Neng enak banget, ini Bibik lagi makan sedikit." Ujar Bibik yang sedang makan karena sudah selesai menyiapkan acara untuk Tuan Mudanya.

Yuni yang melihat berbagai macam makanan yang tersaji menjadi teringat Kedua Orang tuanya yang pasti menunggunya di rumah.

Hinga dia menjadi gelisah dan tidak bisa menelan makanan biarpun yang ada didepannya begitu menggugah selera.

"Yun, bisa minta tolong antarkan air es kedepan tidak? soalnya bibik sedang makan." Pinta Bu Tari yang baru datang dari ruang tengah.

"Bisa Bu, tunggu sebentar," jawab Yuni sambil mengambil beberapa gelas kosong dan satu botol air dingin dari lemari pendingin.

Dengan langkah perlahan Yuni memasuki ruang tamu dan banyak teman-teman Rafael yang sedang riuh berbicara dan tertawa terbahak-bahak. Namun ketika mereka melihat kehadiran Yuni ruang tamu itu menjadi senyap, mereka terpesona dengan penampakan Yuni yang begitu sederhana namun mempesona. Bibir yang tipis namun berwarna pink, wajah yang putih dan merona dibagian pipinya, serta alis yang tampak seperti bulan sabit.

"Hustt... Raf, ini siapa?" tanya Noval yang menyenggol Rafael yang sedang mengobrol dengan salah satu temannya.

Rafael pun seketika menoleh ke arah yang dimaksud oleh Noval. Seorang gadis cantik sedang telaten menaruh gelas dan minuman dingin di atas meja, bahkan dia pun sendiri tidak sadar kalau sedang dijadikan pusat perhatian.

Rafael hanya mengangkat bahunya, dia sendiri bahkan baru melihat Yuni hari ini. Para wanita teman Rafael yang iri melihat Yuni yang jadi pusat perhatian langsung cemberut tidak suka.

"Paling juga pembantu baru." Timpal Erika yang duduknya berada di samping Rafael, dia memang sedang mendekati Rafael karena naksir sejak pertama kali mereka bertemu di Kampus. Rafael yang tampan dan kaya raya dan selalu menjadi incaran para wanita di Kampusnya, namun Rafael tidak pernah menghiraukannya.

"Pembantu kok bisa cantik begini. Bisa-bisa Rafael betah nih dirumah." Celetuk Noval dengan nada menggoda pada Rafael.

"Biarpun cantik tetap saja Pembantu, gak level sama kita-kita," ucap Erika dengan nada sedikit menghina menatap Yuni.

Yuni hanya terdiam, dia yang tidak mau menjadi bahan ledekan langsung terburu-buru masuk ke ruang tengah. Ada perasaat rasa sakit kala dipanggil pembantu namun dia tersadar profesi inilah yang dijalani oleh Yuni.

Ada terbesit rasa iri di hati Yuni kala melihat Rafael dan teman-temannya yang bisa berkuliah tanpa memikirkan biaya untuk kuliah.

Yuni tertunduk dengan mata berkaca-kaca kala membandingkan kehidupan oranglain dengannya. Diusia yang masih sekolah dia harus memutuskan untuk keluar dari sekolah dan mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan Keluarganya.

Dia mengingat saat Ayahnya masih bekerja, biarpun hidup pas-pasan namun Yuni bahagia karena masih bisa sekolah. Bersenda gurau dengan teman-temannya, bisa belajar mengejar prestasi. Karena sesungguhnya Yuni memiliki cita-cita menjadi Dokter, namun kini cita-citanya harus dia kubur selamanya. Dikarenakan dia harus keluar dari sekolah dan takkan mampu meneruskan pendidikannya karena masalah biaya.

Yuni menghela nafas kasar, ada rasa sesak kala mengingat indahnya kebersamaan bersama temannya, sedangkan sekarang dia harus memikirkan untuk makan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya.

Hatinya teriris kala mendengar perkataan Ibunya yang kadang menyakitkan kala Yuni tidak bisa membawa sejumlah uang saat pulang dari bekerja. Itulah sebabnya Yuni menutupinya dengan berhutang dan mencari pekerjaan sambilan dengan berjualan keripik.

Namun biar Ibu nya sangat kasar padanya dibandingkan dengan kedua kakaknya Yuni sangat menyayangi Ibunya. Sedangkan Ayahnya, Yuni bisa menjadikannya tempat bersandar di kala hatinya sedang sedih setelah dimarahi oleh Ibunya.

Entah sampai kapan beban ini akan terasa berkurang, kadang Yuni untuk bernafas saja terasa sesak. Sehari-hari di pacu untuk mencarikan uang untuk Ibu dan Ayah tanpa mereka perduli dari mana uang itu berasal.

"Neng, kelihatannya lagi banyak masalah. Kalau boleh tahu masalah apa?" tanya Bik Ningsih yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Yuni yang terlihat gelisah.

"Tidak apa-apa Bik. Cuma lagi memikirkan Ibu dan Ayah dirumah." Jawab Yuni dengan senyum yang dikulum, menyembunyikan kesedihan yang ada di dalam hatinya.

"Memangnya kenapa Ibu dan Ayah, Neng Yuni?" Bik Ningsih balik bertanya dengan nada penasaran.

"Ibu dan Ayah belum makan Bik dirumah. Jadi aku kepikiran, makanya sejak tadi aku belum mau makan sebelum memastikan mereka sudah makan Bik." Jawab Yuni lagi dengan mata berembun.

"Ya Allah Neng, jarang lho ada anak yang memikirkan keadaan orangtuanya. Terkadang masa bodoh, kamu ternyata anak baik." Puji Bik Ningsih tersenyum takjub, karena anaknya tidak seperti Yuni. Malah menyuruh mengambilkan sesuatu saja harus bertengkar terlebih dahulu.

Yuni tidak perduli dengan pujian Bik Ningsih, dia masih terpaku dengan tatapan kosong.

"Sebelumnya Bibik mohon maaf mau bertanya, Orangtuanya Neng ini bekerja atau tidak. Soalnya membiarkan Neng bekerja sampai larut malam begini." Ujar Bik Ningsih menatap iba karena melihat Yuni bekerja dari pagi hingga larut malam. Apakah orangtuanya tidak merasa kasihan pada Yuni.

"Ayah saya sudah di PHK karena kecelakaan kerja, sedangkan Ibu mengandalkan uang yang aku berikan untuk sehar-hari." Jelas Yuni dengan panjang lebar.

"Apa Neng punya saudara atau siapa karena jujur Bibik merasa kasihan melihat anak seusia Neng harus banting tulang." Timpal Bik Ningsih melihat Yuni yang sedang berkaca-kaca matanya.

Entah mengapa setiap Yuni bercerita tentang kehidupannya dia selalu cengeng, dan bahkan ada yang bilang.

"Ya harus bagaimana lagi Bik. Namanya hidup harus dijalani jangan disesali. Selagi nyawa masih didalam tubuh apapun akan dilakukan untuk bertahan hidup." Ujar Yuni dengan aira mata yang telah luruh.

"Untung saja aku bertemu dengan Ibu Tari yang selalu membantu, bahkan aku masih berhutang sama beliau lho Bik. Tapi Masya Allah baik banget, bahkan menyuruhku untuk bekerja disini untuk mendapatkan tambahan." Ucap Yuni dengan tersenyum di sela-sela airmatanya.

Terkadang dia merasa menjadi anak yang paling tertua karena apapun harus dibebankan oleh Yuni.

"Iya Ibu Tari sangat baik orangnya tidak tegaan." Timpal Bik Ningsih sambil membelai rambut Yuni yang lurus dan panjang.

Tanpa mereka sadari pembicaraan mereka didengat oleh Rafael, dan dari situ dia tahu kalau Yuni bekerja dirumahnya. Ada senyum senang yang terpancar dibibirnya karena setiap hari akan bertemu dengan Yuni.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status