Share

Part 5

Khair berhenti, sedikit memutar tubuhnya agar menghadap Lena. "Saya akan menikahimu," ucapnya setelah mereka berdua sampai di halaman tempat tersebut. 

Ucapan Khair seketika membuat Lena terperanjat. Mungkinkah saat ini pendengarannya sedang bermasalah? Atau pria di hadapannya justru sedang bercanda.

"Duduklah Lena, malam ini saya ingin mengatakan hal penting padamu," ujar Khair.

Mereka duduk bersisihan di bangku depan kelab malam. Suasana di luar sepi, meski kadang masih ada beberapa orang lewat. 

"Pakai ini, udara malam tidak bagus untuk kesehatanmu." Khair melepas jasnya dan memberikannya pada Lena.

Perhatian seperti ini yang selalu saya rindukan, Mas, batin Lena. 

"Lena, saya berniat serius melamarmu. Saya ingin kamu menjadi istri saya." Khair mengulang ucapannya yang tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.

Lena menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak menyangka Khair akan mengatakan hal ini. Harusnya dirinya senang, sebab Tuhan menampakkan jalan keluar atas kehidupan gelapnya selama ini. Namun, saat ini hatinya masih bimbang antara menerima Khair atau menolaknya. "Maaf, bukannya saya menolak, tapi banyak yang Mas Khair belum tahu tentang saya. Mas Khair pria shalih tidak pantas bersanding dengan wanita hina seperti saya."

Apalagi yang belum Khair ketahui tentang perempuan itu? Dia sudah melihat semuanya. Mulai dari pekerjaan Lena, tentang Pak Santoso yang memperlakukan Lena semena-mena dan juga keterpaksaan Lena bekerja sebagai wanita malam. Bukankah seharusnya itu lebih dari cukup? 

"Apa karena kamu adalah seorang wanita penghibur?" tanya Khair tanpa memandang ke arah Lena.

"Lebih dari itu. Bahkan saya sudah tidak suci lagi," ujar Lena. Dia mendongakkan kepala agar air matanya tidak jatuh. Sayangnya, saat ini dia terlalu rapuh untuk menahannya. Hatinya terasa perih saat mengingat bahwa dirinya telah gagal menjaga kehormatannya. 

"Emangnya kamu tahu darimana kalau saya ini pria shalih? Apa karena rajin beribadah atau tutur kata saya yang menurutmu lembut? Lena, saya ini manusia biasa, yang juga punya banyak dosa. Hanya saja mungkin saat ini Allah SWT sedang menutup aib saya sehingga terlihat baik di matamu," jelas Khair. 

"Tapi bukankah lelaki baik adalah untuk wanita baik, dan akan sangat tidak pantas jika Mas Khair memilih perempuan hina seperti saya untuk dijadikan pendamping hidup," sahut Lena seraya menyandarkan punggungnya di bangku. 

"Memangnya kenapa? Kita bisa belajar bersama. Saya akan berusaha membimbingmu menjadi sebaik-baik perhiasan dunia. Tidak perlu imbalan apa-apa, yang penting kamu bersedia taat. Itu saja."

Semua perkataan Khair membuat Lena tak sanggup lagi menyembunyikan perasaannya. Hatinya bahagia, tapi juga ragu. Dia terlalu takut untuk mencintai pria seperti Khair. "Sebenarnya saya tidak berniat mengatakan hal ini, Mas. Saya cukup tahu diri, tapi jujur hati ini sakit saat berusaha mencegah rasa cinta itu hadir. Karena sebenarnya Saya juga ingin hidup bersama Mas Khair. Saya sudah capek bergelimang dosa seperti ini. Saya ingin menjadi wanita yang lebih baik. Tapi apa daya? Semua sudah terjadi. Saat ini saya sedang belajar menerima, mungkin inilah takdir yang harus saya jalani." Lena menumpahkan segala rasa sesak dalam dadanya. 

"Jika kita berdua saling mencintai. Lalu sekarang apa masalahnya? Lena, obat terbaik dari rasa rindu akan dua orang yang sedang jatuh cinta adalah pernikahan. Kita harus membawa rasa ini dalam ikutan suci agar nantinya tidak menimbulkan dosa," jelas Khair.

"Bagaimana dengan keluargamu, Mas? Apa mereka akan setuju? Belum lagi ucapan orang sekitar, mereka pasti akan mencemooh Lena habis-habisan," ucap Lena. Dia membenamkan wajah di telapak tangannya. 

"Lena, saat ini saya memang belum tahu Mama setuju atau tidak. Tapi kita bisa coba, semoga beliau memberikan restu. Selagi kita melakukan perkara baik serta tidak merugikan orang lain, maka di situlah kita tidak perlu risau akan perkataan buruk mereka."

Lena menengadahkan wajahnya ke langit, menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Khair dengan seksama. Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, perkataan pria itu membuat hatinya merasa tenang. 

'Duhai Allah, Tuhan pemilik alam semesta.

Apa ini yang disebut jalan menuju hidayah? Saat aku ingin berubah menjadi lebih baik dan engkau mengirimkan pria shalih seperti Mas Khair. Pria yang bersedia menerima dengan lapang dada segala kekurangan hambamu yang hina ini. 

Duhai Allah. 

Jika memang dia adalah pria yang engkau takdirkan untuk memperbaiki akhlakku, maka mantapkanlah hatiku dan ridhailah hubungan kami. Sungguh, hambamu ini pasrah atas segala keputusanmu. Karena hamba percaya segala ketentuanmu adalah yang terbaik untukku.'

"Lena? Kok malah diam. Apa jawabannya?" Suara Khair seketika membuat Lena tersadar dari lamunannya.

"Apa Lena benar-benar pantas untuk bersanding dengan Mas Khair?" Kalimat itu sepertinya tak akan pernah bosan untuk Lena ucapkan. 

"Lena, harus berapa kali saya bilang padamu? Sekarang dengarkan baik-baik! Kita ini manusia biasa yang tak lepas dari salah dan dosa. Tapi siapa pun diri kita di masa lalu, kita tetap berhak menjadi lebih baik di masa depan. Sekarang untuk kesekian kalinya saya bertanya padamu. Maukah kamu menemani saya hingga maut memisahkan?"

Lena mengangguk. Penuturan Khair membuat dirinya berhasil menepis segala keraguan dalam hati. "Saya mau, Mas. Saya bersedia menemani Mas Khair sampai kapan pun dan dalam keadaan apa pun," ucapnya tersenyum sembari menghapus sisa air matanya. 

"Alhamdulillah. Nah, jawab gitu aja dari tadi muter-muter terus kalimatnya." Khair terkekeh. "Tunggu sebentar, ya!" lanjutnya.

Khair berjalan menuju bagasi mobil lalu membukanya. Tak lama kemudian, dia membawa sebuah paperbag di tangannya. "Sekarang ganti bajumu dengan gamis ini. Malam ini saya mau ajak kamu ketemu Mama," ujar Khair seraya menyodorkan paperbag tersebut. 

"Ta-tapi Lena takut," sahut Lena.

"Takut? Mama nggak gigit kok, tenang aja." Khair tersenyum.

Astaga! Senyummu benar-benar membuatku melayang, Mas, batin Lena. 

"Udah cepetan masuk. Ingat ya! Nggak lebih dari sepuluh menit. Saya nggak mau nunggu lama, ntar kamu malah melayani pelanggan lagi," ucap Khair.

"Ck, sekarang saya udah tobat kok," lirihnya.

Lena bergegas masuk ke kelab malam untuk mengganti pakaiannya. Sementara Khair menunggu di luar.

Tak lama kemudian dia keluar dengan senyuman yang mengembang. "Gimana? Udah cantik belum? Kok nggak dilihatin?" godanya pada Khair.

"Udah mulai genit ya kamu sekarang." Khair memalingkan wajahnya. Dia takut tidak bisa menjaga pandangannya.

"Ngomong-ngomong, gimana kalau Mami marah?" tanya Lena dengan ekspresi menunduk.

"Tenang aja, semua udah beres kok," sahut Khair.

"Hmm, bagus deh. Ayo! ntar keburu malam." Tentu saja Lena bersemangat. Dia akan bertemu calon mertuanya. Melihat sikap Khair yang lembut, pasti mamanya jauh lebih lembut. Itu yang ada di pikiran Lena saat ini. 

~oOo~

"Mel, ada apa? Tumben ke sini malam-malam?" tanya Mama Reta saat melihat Melody masuk ke rumah dan langsung menghempaskan tubuh di dekatnya.

"Hmm, kebetulan tadi Melody habis ke rumah teman, jadi sekalian mampir. Ini Mel bawakan martabak kesukaan Tante." Melody meletakkan sebuah bungkusan di meja.

"Kamu ini emang calon mantu idaman. Udah pinter, baik lagi. Sampai hafal makanan kesukaan Tante segala," ucap Mama Reta seraya mengangkat dagu Melody.

Melody tersenyum. "Tante bisa aja, ngomong-ngomong kok sepi banget, di mana Mas Khair?" tanya Melody seraya memperhatikan keadaan sekitar. 

"Tadi sih katanya ada urusan. Tante juga nggak tahu mau ke mana. Sepertinya buru-buru. Oh, ya, gimana hubungan kalian?" Mama Reta mematikan televisi di hadapannya dan beralih membuka martabak yang dibawakan Melody. 

"Masih gitu-gitu aja, Tan. Mas Khair nggak respect sama Mel." Melody menunduk.

"Jangan sedih gitu, dong. Mungkin Khair masih sibuk ngurus perusahaan. Tapi Tante yakin, lama-lama dia pasti suka sama kamu."

"Assalamualaikum!" Terdengar suara Khair dari luar. 

Menyadari yang datang adalah Khair, Melody segera bergegas menuju pintu depan. Sayang, langkahnya langsung terhenti saat melihat seorang perempuan berjalan ke arah Khair. "Siapa dia, Mas?" tanya Melody. Setelah Lena berdiri tepat di samping Khair.

"Oh, ya, kenalkan ini Lena, calon istri Mas," ucap Khair seraya tersenyum pada Melody.

Dorr!

Jawaban Khair bagai bom yang menghantam tubuh Melody dengan keras. Sekarang hatinya terasa membeku, persis seperti dinginnya udara malam. 

Lena mengulurkan tangan ke arah Melody, tapi perempuan itu tak merespon apa-apa.

"Calon istri?" tanya Mama Reta seraya menghampiri mereka. "Kamu nggak lagi bercanda kan Khair?" lanjutnya.

"Khair nggak bercanda, Ma. Selama ini Mama nyuruh Khair nikah, kan? Nah, sekarang Khair bawa calonnya," jelas Khair.

Sementara Lena dan Melody masih diam di tempatnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berkutat pada pikiran masing-masing. 

Mama Reta berjalan menghampiri Lena. "Siapa nama kamu?" tanyanya acuh tak acuh. 

"Lena, Tante," ucap Lena menunduk.

"Hmm, ayahmu namanya siapa? Terus dia kerja apa?" tanya Mama Reta dengan nada menginterogasi.

"Ayah saya namanya Santoso, Tan. Beliau sedang tidak bekerja."

Mata Mama Reta membulat sempurna, seolah ada yang salah dengan perkataan Lena. "Santoso seorang pemabuk dan tukang judi itu?" Pertanyaan Mama Reta membuat Lena dan Khair terkejut.

"Dari mana Mama tahu kalau Pak Santoso pemabuk dan pejudi?" Khair malah balik bertanya.

"Mama tahu karena dulu mama pernah dekat sama dia. Tapi untungnya mama nolak waktu diajak nikah. Karena mama tahu dia itu orangnya nggak bener," ucap Mama Reta.

Entah mengapa Lena merasa kalimat terakhir Mama Reta ditujukan padanya. Karena wanita itu melirik ke arah Lena.

Astaga! Kenapa jadi kaya gini, sih, batin Khair. 

"Pokoknya kamu harus putusin perempuan ini ya, Khair. Karena mama nggak mau besanan sama mantan. Titik!" Mama Reta berjalan meninggalkan mereka bertiga. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan heran Melody.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status