Beranda / Romansa / Miliarder Tampan itu Ayah Putraku / Bab 2: Perjanjian Kontrak Pernikahan

Share

Bab 2: Perjanjian Kontrak Pernikahan

Penulis: Yeni_Lestari87
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-04 15:54:26

“Kamu jangan sekali-kali kabur. Paham? Tuan Evan sudah membayarmu mahal.” Kartika menatap Bella tajam. Nada bicaranya penuh penekanan setiap kata. 

Bella menunduk. 

“Kamu paham?”

Dia sangat paham. Sudah masuk tidak akan bisa menemukan jalan keluar walau pintu itu terbuka lebar. Sebagai jawabannya, Bella mengangguk. 

“Bagus.” Kartika bersedekap menatap Bella yang duduk di hadapannya masih mengenakan kebaya pengantin sederhana berwarna putih tulang yang sedikit kebesaran di tubuh mungil itu. “Satu lagi, utang Timo masih banyak. Jadi, bersikap baiklah pada Tuan Evan sebab diakhir kontrak nanti, kamu akan mendapatkan pesangon besar.” Kartika berkata lagi. Satu kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi berwarna merah mengetuk pelan.

Bella mendongak mendengar penuturan Kartika tersebut. “Maksud Mami? aku harus bersikap baik bagaimana?”

Pertanyaan itu disambut gelak tawa Kartika. Bahunya berguncang. Mereka berdua sedang berada di kamar besar di rumah mewah itu. “Kamu polos sekali,” gumamnya seraya berdecak lalu dia menghela napas. “Kamu seharusnya banyak belajar dahulu. Timo memberikanku anak yang benar-benar polos. Pantas saja Tuan Evan—”

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan menghentikan ucapan Kartika. Wanita cantik itu menoleh ke arah pintu yang tertutup. “Ya?” sahutnya.

“Maaf, Mami, ini saya Andri.”

Kartika memutar matanya. “Ada apa, Andri?” jawabnya malas lalu berjalan menuju pintu.

“Tuan Evan menunggu.”

Kartika berdecak mendengar balasan itu lalu kembali memutar tumitnya menuju Bella yang masih duduk menunduk. Kartika bisa melihat betapa gadis itu begitu mungil dan pasrah. ‘Timo benar-benar menyebalkan,’ batinnya gemas. Tangannya terulur menyentuh dagu Bella kemudian mengangkatnya pelan. “Kamu harus pandai merayu, manja, dan menggoda Tuan Evan. Itu yang kumaksud bersikap baik. Kamu paham sekarang?”

Ditatap tajam oleh Kartika membuat Bella menelan ludah susah payah. ‘merayu, manja, dan menggoda Tuan Evan? Bagaimana caranya?’ pikir Bella. Ketiga hal itu belum pernah dia lakukan. Dia adalah gadis kampung yang tidak tahu apa pun. 

Kartika mendekatkan bibirnya ke telinga Bella lalu berbisik, “gunakan pengaman. Aku tidak mau kamu hamil anak dari klienku. Jika itu terjadi, kamu tanggung akibatnya. Mengerti?”

***

Bella melirik Evan yang duduk di seberangnya. Pria itu sibuk dengan benda yang tadi dia dengar dengan sebutan laptop. Hari telah menjelang petang. Saat ini mereka berada di sebuah apartemen mewah. Bella menatap mata biru yang kini bertengger kacamata berbingkai bulat. Jujur saja, dia menyukai mata biru itu. Bella buru-buru mengalihkan tatapannya ketika Evan mendongak menatapnya dengan alis terangkat tanda bertanya. Gadis itu hanya berdehem sebagai jawaban. 

‘Betapa malunya!’ jeritnya dalam hati. 

Kemudian mata Bella tertuju pada map yang tadi diletakkan Evan di meja. Map berisi surat perjanjian kontrak pernikahannya. Dia tidak sempat membacanya sebab Kartika telah lebih dahulu menyetujui dan langsung meminta Bella untuk tanda tangani. Tangannya terulur hendak mengambil map itu. Dia ingin membacanya. Namun, dia tidak jadi mengambilnya. Dia takut Tuan Evan marah padanya nanti sebab memegang barang yang bukan miliknya.

“Silakan dibaca, Isabella.” 

Ucapan itu sontak membuat Bella mendongak. Matanya bertemu dengan mata biru yang tajam. Pria itu memiliki ucapan yang singkat dan terkesan tidak peduli. “Boleh, Tuan Evan?” tanyanya pelan.

Evan mengalihkan kembali pandangannya pada laptop yang ada di hadapannya. “Ya,” sahutnya singkat.

“Satu lagi,” ucap pria bermata biru yang masih duduk di seberangnya. Tatapannya tajam menusuk. “Mulai sekarang panggil aku Evan jika kita sedang berdua. Mengerti?” tuntutnya.

“Baiklah.” Bella menjawab lirih. 

“Silakan dibaca.” Evan berkata pelan.

Bella menurut. Dia menunduk membuka map berisi surat perjanjian itu. “Surat Perjanjian kontrak pernikahan.” Bella membacanya perlahan. 

Bella melirik Evan sekilas. Pria itu masih mengetik sesuatu di laptopnya seraya meminum kopi yang Bella buat tadi. Tidak mengatakan apa pun. Dia mulai melanjutkan lagi, “pihak pertama yakni Isabella Halka—” 

“Tidak diperkenankan untuk hamil anak dari pihak kedua yakni Aku. Evan Oliver.” 

Perkataan Evan yang memotong ucapan Bella membuatnya mendongak. Evan menatap balik melalui mata biru menawan itu. Bella tidak berkutik saat ditatap seperti itu oleh Evan. Demi menegaskan apa yang dikatakan Evan, Bella menunduk memerhatikan surat perjanjian yang ditik tersebut. 

‘Benar apa yang dikatakannya,’ pikir Bella setelah membaca sebagian surat perjanjian tersebut.

“Aku tidak suka mendengar orang membaca terdengar jelas.” Evan berkata pelan. Matanya masih menatap Bella. “Kamu terlalu menggangguku.”

Bella berdehem. “Maaf,” ucapnya lirih. Dia terbiasa membaca dengan suara. Tidak seperti kebanyakan orang yang membaca dalam hati, dia lebih suka disuarakan karena membuatnya lebih mengerti.

“Kemudian ….” Evan meletakkan laptopnya di meja lalu berjalan menuju Bella yang duduk di seberangnya. Pria itu menunduk memerhatikan Bella yang masih menatap surat perjanjian kontrak pernikahannya. “Jika kamu hamil anakku, maka kamu tidak ada hak untuk menuntut apa pun.”

Bella kembali menyusuri perkataan Evan di dalam surat perjanjian dan benar apa yang dikatakan oleh pria itu. Dia tidak boleh meminta pertanggung jawaban Evan karena sudah memiliki istri sah. Bella mendongak. Ditatapnya Evan merana. “Begitu?” bisiknya parau. 

Evan mengangguk pongah. “Ya, begitu. Kamu yang menandatanganinya jadi kurasa kamu sudah setuju.”

Bella kembali menunduk. ‘Terpaksa. Demi utang Bapak.’ Bisiknya sedih. Kartika yang saat itu menarik tangannya untuk cepat-cepat tanda tangan membuat Bella tidak bisa membaca secara keseluruhan isi surat perjanjiannya. Jika sudah seperti ini, dia tidak bisa berbuat apa pun seandainya terjadi masalah besar nanti. 

“Silakan kamu cocokkan apa yang kukatakan dengan surat itu, Bella.” Evan berkata seolah menyindir.

“Bukan seperti itu.” Bella berusaha membela dirinya walau nyatanya begitulah adanya. Dibacanya kembali surat itu. “Dalam surat ini mengatakan bahwa kamu akan memenuhi segala apa yang kumau? Benarkah?”

Evan mengangguk. “Tentu. Apa pun yang kamu mau akan kukabulkan.” Kemudian, Evan mengulurkan tangannya pada Bella. “Berdiri!” perintahnya. 

Melihat tangan besar pria itu yang terulur membuat Bella mau tidak mau menurut. Dengan segera Evan menariknya berdiri hingga kepalanya membentur dada. Bella dapat melihat jelas betapa birunya mata itu. Betapa indah menurutnya. Dia dapat merasakan kedua tangan Evan melingkari pinggangnya. 

“Selama aku di Indonesia, kamu adalah istriku.” Evan mengucapkannya lembut.

“Istri kontrak.” Bella mengoreksi. “Sesuai dengan yang tertulis di dalam suratnya.” 

Evan mengangguk. “Kamu cepat belajar. Membacalah dalam hati sebab tidak semua orang menyukai apa yang kamu lakukan tadi,” balasnya.

“Termasuk kamu?” tanya Bella pelan. Dia masih menatap Evan tanpa kedip. Jika itu permintaan dari suaminya, akan dia lakukan. Evan mengatakan bahwa dirinya cepat belajar. Dia senang bukan main.

“Ya. Termasuk aku,” angguk Evan. “Selain itu, setelah kontrak kita berakhir, kamu akan kuberikan pesangon sebesar 4000 dollar,” tambahnya. Evan mulai bergerak pelan seperti berdansa walau tanpa musik. 

“Apa aku boleh meneleponmu nanti setelah kontrak selesai?” walau Bella tahu itu tidak mungkin sebab sudah tertulis di dalam kontraknya, tetap saja dia bertanya. ‘Siapa tahu pemikiran Evan berubah,’ pikirnya.

“Tidak.” Evan menjawab lembut. Kakinya masih bergerak layaknya sedang berdansa. 

Bella berdehem. Dia dapat merasakan Evan membimbingnya untuk bergerak sesuai keinginan pria itu. “Bagaimana jika aku merindukanmu?” tanyanya. Dia menatap mata biru itu dengan pandangan memuja yang nyata.

Alis Evan naik. Namun, tidak mengatakan apa pun. Hal itu membuat Bella gugup.

“Maksudku ….” Kedua tangan Bella mulai terulur menyentuh dada pria itu. “Terkadang ada orang yang tiba-tiba merindukan seseorang yang berarti dalam hidupnya.”

Evan menunduk menatap Bella yang tingginya hanya sebahunya. “Kamu sudah melewati batasan perjanjian,” ucapnya tegas.

Suara Evan yang tidak mau dibantah itu membuat Bella menundukkan kepalanya. “Maafkan aku.”

“Seharusnya kamu tidak lupa dengan isi surat kontrak itu. Pihak pertama tidak boleh terlibat perasaan pada pihak kedua yaitu aku. Evan Oliver.” Evan berkata dengan gamblang dan jelas. 

“Ya,” bisik Bella. “Maafkan aku.”

Evan masih bergerak layaknya berdansa pada sebuah pesta. “Aku perjelas lagi, kamu sebagai pihak pertama tidak boleh menghubungiku setelah perjanjian kontrak selesai. Paham?”

Bella menatap dalam Evan. Dia bagaikan memakan buah simalakama. ‘Perjanjian kontrak menyebalkan. Bapak menyebalkan. Mami menyebalkan.’ Bella merutuk dalam hati. Dihela napasnya pelan lalu menjawab lirih, “ya.” 

“Bagus.” Evan mengangguk puas kemudian menundukkan wajahnya mencium bibir Bella.

Ring! Ring! Ring!

Suara ponsel yang berteriak nyaring urung membuat Evan mencium Bella. Pria itu merogoh saku celananya lalu menjawab, “Halo?” sapanya kemudian melangkah pergi begitu saja. Bella menatap punggung Evan hampa. ‘Hanya istri kontrak. Ingat itu, Bella.’ Batinnya nelangsa.

“Ada apa?”

Samar-samar Bella mendengar Evan bertanya teramat sangat lembut pada seseorang entah siapa. Setelah mendengar itu, Bella mencoba menjauh. Dia tidak berhak untuk mendengarkan pembicaraan Evan.

“Makena?” Evan memanggil lagi tatkala Bella tidak terlihat dalam pandangannya. 

 “Sayang? kamu di mana?” Makena bertanya melalui sambungan telepon.

“Aku sedang di Indonesia. Ada apa? apakah uang belanjamu kurang?” pria itu bertanya penuh perhatian.

“Tebak, aku di mana?”

Alis Evan naik. Dia tertawa pelan. “Ayolah, sayang. Aku tidak suka tebak-tebakan.”

***

Seorang wanita berambut pirang terkekeh duduk di salah satu kursi di sebuah penginapan sederhana bersama seorang pria berpakaian layaknya seorang agen mata-mata. Tangannya terulur memegang sebuah cetakan foto pernikahan sederhana antara pria yang sudah menjadi suaminya dengan seorang gadis yang menurutnya cantik. 

“Kamu tidak asik.” Wanita itu terkekeh lagi masih memerhatikan selembar foto tersebut. “Hanya menebak saja kamu tidak bisa.”

Lalu dia menambahkan dalam hati, ‘aku mengikutimu ke Indonesia.’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Jac
istrinya keren. ... sewa mata-mata buat pantau suaminya. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 48 Samudera Membentang (ekstra part)

    “Ini Samudera? Ya ampun! Sudah besar!”Samudera memeluk erat seorang wanita tua dengan erat. “Nenek.” Dia memejamkan mata merasa rindu dengan wanita yang dipanggilnya nenek. Kedatangannya ke Indonesia untuk perjalanan bisnis membantu Evan.“Apa kabar Mama dan Papamu?”Samudera melepaskan pelukannya. “Sehat, Nek.”“Shilah apa kabarnya? Kenapa dia tidak ikut? Nenek rindu.” Chloe kembali bertanya. Mencecar Samudera.Samudera tersenyum. “Bukankah nenek sudah bertemu dengan Shilah dua minggu lalu?”Shilah merupakan adik Samudera. Usianya sekarang menginjak 15 tahun. Dia tidak menyangka akan memiliki seorang adik perempuan ketika dulu Bella sempat keguguran karena terlalu lelah dalam melakukan berbagai kegiatan. Mamanya tersebut sekolah lagi atas permintaan Papanya. Permintaan itu semata untuk memperbarui diri agar lebih baik lagi.“Yah itu sudah lama.” Chloe lalu terkekeh.Mata Samudera menatap berkeliling. “Ke mana Tante Lena, Nek? Nenek sendirian di rumah?” dia mulai sadar tidak ada Lena

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 47 Bahagia Sepanjang Usia

    “Mentari menanyakan Samudera. Apakah kalian benar pindah ke Amerika?”“Benar, Mama.” Bella menjawab santun.“Ah begitu.”Jawaban pelan itu membuat Bella bingung. “Ada apa, Mama?”“Emm, apakah boleh Mentari bicara dengan Samudera? Di sana sudah malam, ya?”Bella tersenyum. Dia memang tidak tahu menahu bagaimana pertemanan Samudera dengan Mentari sebab putranya tersebut tidak pernah bercerita mengenai teman-teman sekolah padanya. Samudera akan menjawab jika hanya ditanya. Dan kalau tidak ditanya, anak itu tidak akan mengatakan apa pun mengenai kesehariannya.“Oh, boleh. Nanti saya telepon balik Mama Mentari ya. Samuderanya sudah tidur.”“Oh ganggu ya? Tidak perlu kalau ganggu.” Mamanya Mentari mulai tidak enak sebab menganggu tidurnya Samudera.“Oh tidak,” jawab Bella terburu-buru. Mungkin dengan berbicara pada Mentari, murungnya Samudera bisa teratasi. Dia bukannya tidak memerhatikan tadi. Dia melihat putranya yang tidak teramat ceria seperti biasa di Indonesia. Dia hanya berpikir Samu

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 46 Pesta

    “Evan?!” Bella terkejut melihat Evan berdiri di hadapannya. Di tangannya terdapat koper berukuran sedang. Pria itu tersenyum lebar. Di tangan yang lainnya menggenggam ponsel.“Iya. Ini aku. Datang menemuimu, Isabella.” Evan berkata lembut. Dia melihat Bella yang begitu memprihatinkan.“Evan!” tanpa pikir panjang, dia memeluk erat pria itu. Evan menyambut pelukan erat Bella dengan mengusap kepalanya.“Istirahatlah. Suhu tubuhmu panas.”Bella tersenyum masih dalam pelukan Evan. “Aku merindukanmu, Evan.” Dia sudah seperti orang dimabuk cinta dan dia tidak peduli lagi pada malunya. Dia ingin mengutarakan apa yang dirasakannya saat ini.“Aku juga.” Evan tersenyum senang. “Secepatnya kita menikah. Aku tidak sabar lagi ingin bersamamu setiap hari. Saat pagi kubuka mata aku melihatmu. Begitu juga malam hari ketika aku menutup mataku.”Bella melepaskan pelukannya. Ditatapnya Evan sayu. “Apakah tidak bisa sekarang kita menikah? Di sini?”Alis Evan naik lalu dia tertawa. “Kamu yang sakit ternyat

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 45 Calon Menantu

    “Selesaikan dulu masalahmu dengan Makena,” ucap Chloe lagi. Perkataan Evan telah membuat Chloe tidak habis pikir. Kekhawatirannya naik ke permukaan. “Aku tidak mau Bella dikatakan merebutmu dari Makena. Aku tidak mau Kakakku memusuhi Bella.”“Tante,” ucap Evan tenang. “Aku tidak ingin berpisah lagi dengan Bella. 10 tahun aku kehilangan jejaknya.”Chloe menggeleng. “Tidak.”“Tante, mengenai kedua orangtuaku itu tidak masalah. Mom dan Dad pasti senang.” Evan berkata lagi masih tenang sedangkan Bella hanya duduk menunduk di sisinya dengan kedua tangan saling bertaut.“Evan.” Hermann akhirnya bersuara setelah dia melihat raut khawatir di wajah Chloe. “Bella sudah kami anggap anak sendiri. Dia tidak akan pergi ke manapun lagi.”“Tapi —““Dengar,” potong Hermann ketika Evan hendak berbicara. “Selesaikan semua masalahmu dengan Makena. Setelah itu barulah kau datang kemari dan bawalah Bella bersamamu ke Amerika.”Evan menelan ludah. Pupus sudah harapannya untuk bersama Bella dengan cepat. Per

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 44 Penjelasan Evan

    Teriakan itu milik Lena. Gadis itu berkacak pinggang. Di sebelah Lena terdapat Samudera dan Chloe. Kedua tangan Chloe menutupi mulutnya. Terkejut pula. Sedangkan Samudera seperti hendak kesal. Namun, melihat siapa yang memeluk sontak saja anak itu tersenyum lebar.“Om Evan!” dia berjalan cepat menyongsong Evan lalu memeluknya. Dia tidak perlu bertanya pada Evan mengenai ada hubungan apa antara keduanya. Menurutnya, jika dua orang dewasa berlainan jenis melakukan pelukan berarti mereka sayang dan saling cinta.Bella berdehem. Dia berusaha tersenyum walau hatinya gugup sekali. Diperhatikannya Chloe dan Lena yang pastilah butuh cerita yang lebih lengkap. Jika sudah seperti itu, dia mau tidak mau memberitahukan mereka.“Ada apa ini?” Chloe bersuara setelah teriakan Lena tadi.Kemudian Lena menyipitkan matanya menatap Evan. “Jangan ganggu Bella. Kau harusnya paham, Om.”Evan merangkul Samudera. Dia berdehem. “Lena, Tante, aku akan jelaskan,” ucapnya. Di menoleh pada Bella yang berdiri di b

  • Miliarder Tampan itu Ayah Putraku   Bab 43 Kesempatan Kedua

    “Aku tidak menyangka dia Darrel.” Bella berulang kali mengatakan kalimat itu. Alisnya berkerut. Sedetik kemudian dia seolah teringat sesuatu. “Aku pernah melihat foto wanita itu di kamarnya Darrel.”“Makena?” Evan menoleh pada Bella. Pria itu sedang berada di toko bunga. Duduk menikmati kegiatan Bella yang sedang hilir mudik merapikan bunga-bunga tersebut seraya minum kopi. Kopi buatan Bella yang menurutnya masih enak seperti dulu. “Ya. Aku melihatnya dulu ketika aku mencoba mengakhiri hidupku. Foto itu ada di kamarnya Darrel.” Bella mengatakan dengan ringan. Namun, Evan segera berdiri dari duduknya.“Apa?” tanyanya. Dia menghampiri Bella dan berdiri di hadapannya. Kedua tangan wanita itu menggenggam dua tangkai bunga mawar merah. “Kau melakukan apa?” Evan bertanya lagi. Berharap pendengarannya salah.Bella mendongak. “Yang mana?” alis Bella berkerut. Dia tidak mengerti pertanyaan Evan yang terdengar panik serta teerkejut.“Kau mencoba bunuh diri,” ucap Evan lirih. Dia tidak tahu hi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status