"Beberapa kurungan tidak dibuat dari besi, melainkan dari janji yang tak bisa ditepati."
Langit Varethar pagi itu tidak memerah seperti biasanya. Ia kelabu, berat, dan diam seperti rahim bagi bencana yang menanti kelahiran.
Di ruang pertemuan utama Istana Arkaedia, para penasihat tinggi berkumpul dengan wajah tegang. Kabut yang menyelimuti langit bukan hal biasa. Itu adalah tanda: Gerbang Ketiga mulai retak. Yang berarti, entitas dari sisi tergelap dunia—yang bahkan para dewa pun lupakan—akan segera menetes masuk.
Dan pusat dari segala cela itu kini adalah Seraphine.
Seraphine duduk di atas singgasananya, tubuh tegak tapi mata kosong. Sejak malam kedatangan siluman langit, ia merasa seperti seseorang yang hanya dijadikan lambang. Bukan pemimpin. Bukan pejuang. Tapi simbol dari api yang tak mereka pahami, dan ingin mereka kendalikan.
“Kami memohon keputusanmu,” ujar salah satu penasihat.
“Varethar tidak bisa tanpa pemimpin spiritual. Dan para makhluk dari Langit Tua kini hanya taat padamu.”
Seraphine memutar cincin di jarinya—cincin berisi abu terakhir dari Flamma Vitae. Sebuah warisan kekuatan, ya. Tapi juga warisan kesepian. Karena sejak kekuatan itu menyatu dengan darahnya, ia tak bisa bermimpi. Tak bisa tertawa. Bahkan tak bisa menangis.
“Dan kalau aku tolak?” tanyanya tenang.
“Kalian akan bunuh aku demi stabilitas, seperti yang kalian lakukan pada penyihir Merah sebelumnya?”
Tak ada yang menjawab. Tapi diam adalah pengakuan paling jujur dari semua kebohongan.
Di lorong belakang istana, Rovan menunggu. Ia tahu Seraphine semakin jauh, bukan secara fisik, tapi dalam batin. Gadis yang dulu ia kenal sebagai penjaga api kecil, kini berada di ujung dunia antara kekuasaan dan kehancuran.
“Mereka tak akan berhenti menekanmu sampai kau jadi apa yang mereka takuti.”
“Atau mati.”
Seraphine menatapnya, lesu.
“Kau ingin aku lari?”
“Tidak,” jawab Rovan.
“Aku ingin kau mematahkan sangkar mereka... tapi dengan cara milikmu sendiri.”
Malam harinya, Seraphine turun ke ruang bawah tanah Arkaedia. Di balik tumpukan kitab dan segel sihir, ada satu ruangan rahasia: tempat para pemimpin Arkaedia dulu membuat sumpah darah dengan makhluk kuno demi kekuasaan.
Di dinding ruangan itu, ukiran tua mulai menyala. Entitas yang disegel di sana—dikenal sebagai Nehzareth, Sang Pemutar Kebenaran—masih hidup, bernafas dalam bayang-bayang.
“Kau datang,” bisiknya dari balik retakan batu.
“Bukan untuk memohon kekuatan... tapi untuk menawar jiwamu.”
Seraphine tak gentar.
“Aku ingin tahu cara menghancurkan kontrak darah dari Flamma Vitae. Aku ingin kebebasan.”
“Tak ada kebebasan tanpa pengorbanan,” jawab Nehzareth.
“Tapi jika kau berani membayar dengan satu hal yang paling manusia darimu—cinta—aku bisa memberimu pilihan.”
Ia diam. Jantungnya berdegup pelan. Perlahan. Tercekik oleh makna kata itu.
“Kau ingin aku menukar... cinta?”
“Bukan milikmu,” Nehzareth terkekeh.
“Tapi milik orang yang mencintaimu.”
Saat keluar dari ruang bawah tanah, Seraphine tidak langsung mencari Rovan. Tapi ia tahu di mana pria itu berada—di taman tua tempat pertama kali ia melukis langit untuknya.
Rovan duduk di bangku batu, punggungnya membungkuk, napasnya berat. Ia merasakan sesuatu berubah.
“Jika aku mati malam ini,” katanya lirih.
“Apa kau akan memaafkanku karena tak sempat menjelaskan semua?”
Seraphine hanya berdiri. Menatapnya. Dalam diam yang begitu nyaring, sampai malam sendiri terasa tak tahan.
“Jangan mati,” katanya.
“Tapi kalau pun kau mati, biarkan aku memilih alasannya.”
Dan untuk pertama kalinya, Rovan melihat mata itu berkaca. Bukan karena kelemahan. Tapi karena kejujuran. Karena satu bagian dari Seraphine yang masih manusia... sedang menangis dalam diam.
Keesokan paginya, seluruh Varethar bergetar. Di puncak menara tertinggi, Seraphine berdiri mengenakan jubah api—bukan sebagai simbol kekuasaan, tapi sebagai penolakannya.
“Aku tidak akan memimpin kalian.”
“Aku akan memutus semua rantai yang mengikat jiwa-jiwa kalian pada kebohongan para leluhur.”
Para makhluk langit, bangsawan, dan penjaga sihir bersiap menyerang.
Tapi Seraphine telah memilih.
Dan api yang membakar dari dalam dirinya... tak lagi butuh izin siapa pun untuk menyala.
Lahirnya Kalimat Pertama Titik itu tidak lenyap setelah menutup. Ia mengendap, membeku, lalu berkilau seperti benih kecil yang jatuh di tanah basah. Semesta yang baru saja menarik napas panjang kini beresonansi. Getaran itu menyebar, menjalar ke setiap pecahan bintang, ke setiap retakan langit, ke laut yang baru saja meneteskan hujan. Dan dari titik itu, lahirlah kalimat pertama semesta baru: > “Ada sesuatu.” Kalimat sederhana, namun dengan kekuatan maha dahsyat. Karena sebelum kalimat, tidak ada yang bisa diingat. Tidak ada yang bisa dimulai. --- Rynor: Ketakutan pada Benih Rynor menatap titik yang kini bersinar seperti matahari mungil. Pedangnya masih menancap di tanah, tapi ia tahu—cahaya itu akan mulai menulis dengan atau tanpa dirinya. Ia bergumam, suaranya hampir hilang, “Kalau titik bisa menjadi benih… maka apa yang lahir nanti bukan lagi milik kita.” Ia menggenggam gagang pedang, tubuhnya bergetar. Bagian dirinya ingin melindungi titik itu, menj
Keheningan yang RetakSemesta baru bergetar, tapi bukan dengan ledakan.Bukan juga dengan runtuhan.Ia bergetar seperti tinta yang diteteskan ke air bening—membentuk lingkaran, meluas, lalu pecah jadi noda samar.Rynor dan Kael berdiri, bukan sebagai dua kutub lagi, melainkan sebagai kertas yang sama-sama ternoda.Di sela mereka, bayangan-komatis itu menyeringai tanpa wajah.Ia tidak butuh wujud, sebab wujud adalah titik. Ia memilih koma—tak berujung, tak tuntas.> “Kalian bukan lagi dua musuh.Kalian adalah satu kalimat yang terhenti di tengah jalan.Dan aku adalah jedanya.”---Rynor: Luka yang MembukaRynor menggenggam pedangnya, tapi pedang itu retak makin dalam.Cahaya yang dulu mengalir darinya kini tersedot, menjadi hitam pekat.Ia berbisik pada dirinya sendiri, atau mungkin pada semesta:“Kalau aku tebas koma ini… apa aku menutup kalimat, atau memutus hidup?”Tapi setiap kali ia mengangkat pedang, bisikan-bisikan dari bayangan menyeruak:> “Kalau kau menutup… siapa yang menent
Bab 184 — Hukum Pertama: “Tidak”---Retakan yang Menjadi AksaraKata itu kecil.Kata itu rapuh.Namun ketika Rynor dan Kael mengucapkannya bersamaan, semesta berhenti.> “Tidak.”Suara itu bukan sekadar penolakan.Ia adalah garis melintang di atas naskah yang hendak ditulis ulang.Ia adalah palu yang menghentikan tangan penulis sebelum tinta jatuh.Langit putih-hitam yang sebelumnya berganti-ganti kini terbelah dua.Satu sisi bergetar, masih mencoba mengikuti mulut raksasa.Sisi lain beku, menolak mengikuti.Semesta baru tercabik—seakan halaman buku disobek di tengah kalimat.---Mulut Kosmos yang TersedakMulut raksasa itu meronta.Ia membuka lebar, mengeluarkan ribuan kata sekaligus—kata tanpa arti, kata tanpa bunyi, kata tanpa tubuh.Namun setiap kali satu kata lahir, kata itu terhenti di udara.Seolah-olah ada garis yang menolaknya, menahan huruf sebelum sempat jatuh.Mulut itu batuk.Dan untuk pertama kalinya, sesuatu yang seharusnya tidak bisa batuk—batuk.Dari dalamnya keluar
Mulut KosmosMulut raksasa itu menganga, tapi yang keluar bukan suara biasa.Itu adalah kata yang tak punya huruf, tak punya lidah—hanya luka yang dipaksa menjadi bunyi.Setiap kali mulut itu bergerak, retakan baru muncul di semesta.Pulau kaca pecah. Langit yang sudah rapuh kian teriris.Dan dari rongga udara yang koyak, keluar barisan suara-suara lain:tawa yang patah, doa yang terbalik, nyanyian yang tak pernah selesai.Kael menggertakkan giginya, darah hitam menetes di dagunya.“Dia… menulis ulang dengan teriakan. Kalau kita terlambat, semesta ini akan jadi kitab penuh jeritan.”Rynor menggenggam pedangnya, cahaya gemetar, tubuhnya retak sampai ke tulang bayangan.Ia tahu pedang itu sudah bukan pedang lagi—ia adalah garis pertama di halaman kosong.Dan garis itu kini diperebutkan.---Seruan yang MenyusupSuara mulut raksasa itu bukan sekadar gema.Ia masuk ke kepala, menyalin dirinya dalam pikiran.Rynor mendengar ayahnya berteriak memanggil nama yang sudah lama hilang.Kael mend
Ruang yang Tidak Punya DetakKeheningan yang datang setelah jeritan itu bukanlah kedamaian.Ia lebih mirip ruang tunggu, di mana segalanya menggantung di antara “masih ada” dan “sudah tidak”.Pulau-pulau emas yang retak kini hanyalah pecahan kaca melayang.Langit semesta baru berganti warna setiap detik—putih, ungu, merah, hitam—seakan bingung menentukan wajahnya sendiri.Kadang tampak bintang, kadang tampak kabut, lalu hilang begitu saja sebelum sempat menjadi nyata.Dan di tengah semua itu, Rynor dan Kael terapung.Bukan berjalan, bukan berdiri.Hanya terapung—seakan hukum gravitasi pun masih bingung, apakah mereka berhak ditarik ke bawah atau dibiarkan hanyut.Rynor merasakan tubuhnya semakin retak. Ia tak lagi tahu di mana batas dirinya dan pedangnya.Kael merasakan bara di dalam dadanya menyala-menyala, tapi sekaligus memakan habis sisa jantungnya sendiri.Mereka masih ada, tapi dengan cara yang sudah tidak manusiawi.---Ingatan yang MenyusupDari retakan langit, bayangan-bayang
Semesta yang Terbelah Retakan semakin melebar. Langit emas yang baru lahir berubah jadi dua lapis: satu bergetar putih keemasan, satu lagi menghitam ungu, berdenyut mengikuti tarikan napas lama. Setiap tarikan → bayangan-bayangan samar yang tadi lahir tercerabut, berteriak sebelum kembali jadi abu. Setiap hembusan → tanah rapuh di bawah mereka pecah, mengapung jadi pulau-pulau retakan. Rynor dan Kael berdiri di atas kepingan realitas, tubuh mereka goyah, tapi mata mereka tajam. Mereka sadar: ini bukan sekadar pertarungan hidup-mati. Ini perang memperebutkan hukum semesta. --- Tubuh Inti Lama Dari pusaran, tubuh raksasa itu semakin nyata. Rongga dadanya berdenyut, memuntahkan kabut ungu setiap kali hembusan keluar. Lengannya seperti batang pohon hitam yang tak berujung, mencakar ruang tanpa arah. Lubang besar di wajahnya berputar bagai lubang hitam, menghisap cahaya, bahkan menelan suara. Setiap kali ia bicara, kata-katanya bukan hanya terdengar, tapi membentuk realitas.