Keheningan Setelah SegalanyaTidak ada suara.Tidak ada dentuman. Tidak ada jeritan.Setelah letupan itu, semesta seakan menahan napas.Tidak lagi ada denyut, tidak lagi ada pusaran—hanya keheningan yang begitu padat, hingga membuat pikiran seakan terhenti.Namun, keheningan itu bukan kosong.Ia berisi terlalu banyak:serpihan realitas yang belum memilih bentuk,gema ingatan yang belum memutuskan mau jadi sejarah atau ilusi,cahaya yang belum tahu mau jadi bintang atau debu.Rynor perlahan membuka matanya. Atau, mungkin, bukan matanya—karena ia tidak yakin lagi tubuhnya masih sepenuhnya tubuh. Yang ia tahu: ia bisa melihat. Dan yang ia lihat adalah ruang putih keemasan yang terhampar, tanpa atas, tanpa bawah.Di sebelahnya, Kael terhuyung, tubuh baranya masih berdenyut, rantainya melayang di udara seperti ular api yang kehilangan tuannya.Mereka masih ada.Entah bagaimana.---Bayangan yang Tidak Mau HilangRynor mencoba menggerakkan tangannya. Butuh waktu. Gerakannya tersendat, seola
Retakan yang Menjadi DentumanRetakan itu merekah.Bukan seperti kaca yang pecah. Bukan pula seperti tanah yang terbelah.Retakan itu terdengar seperti dunia yang menjerit, seperti waktu yang mengerang. Dari satu garis tipis, ia melebar jadi ribuan urat cahaya. Masing-masing urat bukan sekadar cahaya, melainkan sejarah yang dibelah, ingatan yang terurai, masa depan yang runtuh.Dan pada momen itu—inti napas tidak lagi berdenyut. Ia tidak lagi mengembang atau mengempis. Ia membeku… sebelum meledak.Ledakan itu tidak punya suara. Tidak ada dentuman. Yang ada hanyalah tekanan tak bernama yang menyapu habis segalanya. Dinding paru-paru yang berdenyut pecah jadi serpihan nebula hitam. Kabut ungu yang selama ini menelan semesta memercik liar, melarut menjadi sungai-sungai cahaya merah emas.---Rynor dan Kael di Pusat LedakanTubuh Rynor hampir hilang—setengah dari dirinya kini hanya garis samar cahaya yang mengalir. Tangannya, yang masih menggenggam bilah, bergetar, seakan bilah itu lebih
Masuk ke PusaranMereka menembus pusaran itu.Bukan seperti memasuki ruangan baru, bukan seperti menembus kabut—lebih menyerupai melompat ke dalam denyut yang tidak pernah diciptakan untuk dihuni.Rynor merasakan tubuhnya terurai, setiap serpihan jiwanya tertarik ke arah yang berbeda, tapi kemudian disatukan lagi, dipaksa menjadi bentuk. Kael, di sampingnya, hampir hancur, tapi rantai merah-emasnya melilit pinggang Rynor, seakan menolak perpisahan.“Ini…” suara Kael teredam, berlapis gema yang tidak seharusnya ada, “…bukan hanya pusat napas. Ini… pusat segalanya yang pernah ditelan.”Dan memang, di sekitar mereka, pusaran itu berputar seperti lautan ingatan. Wajah-wajah samar, bintang yang mati, doa-doa yang tidak pernah terkabul, dan bahkan sisa-sisa tawa anak-anak yang tidak pernah lahir. Semuanya berputar, dipadatkan jadi arus, ditelan dan dihembuskan ulang tanpa nama.---Dialog dengan PusatLalu suara itu datang.Tidak lagi berupa desis paru-paru. Tidak lagi gema napas.Suara itu
Mereka melompat.Tidak ada tanah yang diinjak. Tidak ada langit yang dituju. Hanya satu terjangan membabi buta ke arah mulut hitam yang terbuka, ke dalam paru-paru yang bukan paru-paru, ke dalam napas yang bukan udara.Rynor merasakan tubuhnya seakan tercerabut. Saat bilahnya menembus kabut ungu-hitam, dunia di sekitarnya terlipat seperti kaca yang dilempar ke jurang.Seketika, ia tidak lagi tahu apakah ia masih bergerak maju, atau sudah ditelan.---Ruang yang Bernapas“Di sini…” suara Kael terdengar serak, bergema aneh, seakan dipantulkan oleh ribuan rongga tak kasat mata. “Kita ada di dalam napasnya.”Rynor membuka mata—kalau itu bisa disebut membuka. Ruang di sekeliling mereka bukan kosong, bukan padat. Ia melihat dinding-dinding raksasa yang berdenyut, berlapis kabut hitam, bercahaya samar dengan kilatan merah ungu. Setiap kali “paru-paru” itu mengembang, seluruh ruang meluas tak terhingga; setiap kali mengempis, mereka hampir remuk oleh tekanan yang bukan tekanan.Kael menancapk
Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus
Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa