Jantung Rapuh SemestaPusaran emas itu berdenyut pelan, seperti jantung yang baru belajar berdetak.Setiap denyut melahirkan percikan cahaya yang terlepas, berubah sebentar jadi bentuk—gunung, sungai, binatang samar—lalu runtuh sebelum sempat bernama.Di tengah pusaran, ada bayangan.Ia bukan lagi paru-paru, bukan wajah, bukan jantung.Ia adalah inti lama yang menyusup ke rahim semesta baru, berusaha merebut pusat.Bentuknya terus berganti: kadang menyerupai mata, kadang menyerupai tangan raksasa, lalu melebur jadi kabut. Tapi satu hal tidak berubah—napasnya.Setiap tarikan napas, semesta baru ini bergetar, hampir pecah.Setiap hembusan, cahaya emas memudar, seperti dipaksa tunduk pada hukum lama.---Rynor dan Tekad yang RetakRynor melangkah maju, pedang retaknya menggigil, cahaya putihnya berkedip seakan menolak padam.“Ini bukan sekadar pertempuran terakhir,” katanya, suaranya rendah, penuh parau. “Kalau kita gagal menahan napasnya sekarang, semua yang tadi muncul—bayangan anak, b
Tanah yang Belum PastiLangkah pertama Rynor di tanah baru itu nyaris tidak terasa.Ia menurunkan kakinya, tapi tanah di bawah hanya separuh nyata. Seperti menginjak bayangan yang sedang belajar menjadi batu.Setiap kali ia bergerak, lapisan tipis cahaya emas beriak, meluas, dan perlahan memadat—seakan keberadaannya sendiri sedang menuliskan hukum pertama di tempat ini: jejak berarti nyata.Kael, yang berjalan di sisinya, menatap sekeliling dengan wajah muram. Bara di tubuhnya masih menyala, tapi meredup, rantainya bergulir malas di udara, seakan ikut lelah.“Tempat ini… seperti kanvas kosong yang tidak tahu mau dilukis siapa,” gumamnya.Rynor mengangguk. “Atau lebih buruk: kanvas yang menolak dilukis dengan tinta lama.”---Bayangan yang Menyisakan LukaBayangan-bayangan samar masih berputar di sekitar mereka.Namun berbeda dari sebelumnya, kini mereka semakin pudar.Beberapa wajah hampir lenyap, seolah keberadaan Rynor dan Kael saja tidak cukup untuk menambat mereka.Rynor menatap s
Getaran yang Membelah RuangTanah emas rapuh di bawah pijakan mereka bergetar, retak-retak menyebar seperti guratan api di kaca.Cahaya yang tadinya menenangkan kini berubah jadi arus liar, seperti darah yang dipompa paksa oleh jantung yang belum terbentuk.Rynor dan Kael berdiri di tengahnya, dua bayangan yang nyaris habis, namun keras kepala untuk tetap tegak.Dari retakan emas itu, sesuatu merangkak keluar.Bukan makhluk, bukan tubuh—melainkan gumpalan kesadaran mentah, ratusan wajah samar yang menjerit bersamaan, membentuk satu pusaran yang haus.> “Aku butuh paru-paru…”“Aku butuh darah…”“Aku butuh daging untuk bernapas lagi…”Suara-suara itu berlapis, berganti nada, berganti bahasa, tapi bermuara pada hal yang sama: kelaparan.---Tubuh Baru IntiPusaran itu menyedot cahaya, lalu mulai menenun dirinya.Mula-mula hanya lengan—panjang, bersisik cahaya retak.Lalu wajah—setengah Rynor, setengah Kael, seakan inti tidak bisa memutuskan siapa yang lebih pantas jadi wadah.Setiap gera
Keheningan Setelah SegalanyaTidak ada suara.Tidak ada dentuman. Tidak ada jeritan.Setelah letupan itu, semesta seakan menahan napas.Tidak lagi ada denyut, tidak lagi ada pusaran—hanya keheningan yang begitu padat, hingga membuat pikiran seakan terhenti.Namun, keheningan itu bukan kosong.Ia berisi terlalu banyak:serpihan realitas yang belum memilih bentuk,gema ingatan yang belum memutuskan mau jadi sejarah atau ilusi,cahaya yang belum tahu mau jadi bintang atau debu.Rynor perlahan membuka matanya. Atau, mungkin, bukan matanya—karena ia tidak yakin lagi tubuhnya masih sepenuhnya tubuh. Yang ia tahu: ia bisa melihat. Dan yang ia lihat adalah ruang putih keemasan yang terhampar, tanpa atas, tanpa bawah.Di sebelahnya, Kael terhuyung, tubuh baranya masih berdenyut, rantainya melayang di udara seperti ular api yang kehilangan tuannya.Mereka masih ada.Entah bagaimana.---Bayangan yang Tidak Mau HilangRynor mencoba menggerakkan tangannya. Butuh waktu. Gerakannya tersendat, seola
Retakan yang Menjadi DentumanRetakan itu merekah.Bukan seperti kaca yang pecah. Bukan pula seperti tanah yang terbelah.Retakan itu terdengar seperti dunia yang menjerit, seperti waktu yang mengerang. Dari satu garis tipis, ia melebar jadi ribuan urat cahaya. Masing-masing urat bukan sekadar cahaya, melainkan sejarah yang dibelah, ingatan yang terurai, masa depan yang runtuh.Dan pada momen itu—inti napas tidak lagi berdenyut. Ia tidak lagi mengembang atau mengempis. Ia membeku… sebelum meledak.Ledakan itu tidak punya suara. Tidak ada dentuman. Yang ada hanyalah tekanan tak bernama yang menyapu habis segalanya. Dinding paru-paru yang berdenyut pecah jadi serpihan nebula hitam. Kabut ungu yang selama ini menelan semesta memercik liar, melarut menjadi sungai-sungai cahaya merah emas.---Rynor dan Kael di Pusat LedakanTubuh Rynor hampir hilang—setengah dari dirinya kini hanya garis samar cahaya yang mengalir. Tangannya, yang masih menggenggam bilah, bergetar, seakan bilah itu lebih
Masuk ke PusaranMereka menembus pusaran itu.Bukan seperti memasuki ruangan baru, bukan seperti menembus kabut—lebih menyerupai melompat ke dalam denyut yang tidak pernah diciptakan untuk dihuni.Rynor merasakan tubuhnya terurai, setiap serpihan jiwanya tertarik ke arah yang berbeda, tapi kemudian disatukan lagi, dipaksa menjadi bentuk. Kael, di sampingnya, hampir hancur, tapi rantai merah-emasnya melilit pinggang Rynor, seakan menolak perpisahan.“Ini…” suara Kael teredam, berlapis gema yang tidak seharusnya ada, “…bukan hanya pusat napas. Ini… pusat segalanya yang pernah ditelan.”Dan memang, di sekitar mereka, pusaran itu berputar seperti lautan ingatan. Wajah-wajah samar, bintang yang mati, doa-doa yang tidak pernah terkabul, dan bahkan sisa-sisa tawa anak-anak yang tidak pernah lahir. Semuanya berputar, dipadatkan jadi arus, ditelan dan dihembuskan ulang tanpa nama.---Dialog dengan PusatLalu suara itu datang.Tidak lagi berupa desis paru-paru. Tidak lagi gema napas.Suara itu