Author’s POV
Naomi kembali meluruskan pandangannya, mendorong gerobaknya untuk segera tiba di rumah mereka. Sepanjang jalan, tidak ada percakapan yang berarti antara Naomi dengan sang ayah. Setibanya mereka di rumah, gadis itu membersihkan dirinya sebelum dia kembali mengerjakan pekerjaannya. Setelah beberapa jam mengerjakan desain nya, gadis itu merenggangkan tubuhnya sejenak untuk melepas lelah dan penat yang ia rasakan. Sering sekali ia juga menguap karena waktu tidurnya kembali ia ambil untuk mengerjakan pekerjaannya.
“Yok semangat! Semangat!” ujarnya sembari menarik kedua tangan yang ia kepalkan,
Ia rehat sejenak dengan membuka ponselnya dan sosial medianya. Gadis baru saja mendapatkan email dari client bahwa mereka ingin merevisi karakter yang telah ia gambar. Ia dengan segera mengerjakan desain tersebut sesuai dengan permintaan client. Tidak lama kemudian, sesudah ia mengirim desain tersebut, dia beralih kepada pekerjaan lainnya yang menunggunya untuk dikerjakan.
Ia tidak bisa menampik jika ia sering mengeluh akan kehidupannya. Namun gadis itu sangat suka dengan produktivitas yang mengharuskannya bekerja dengan ekstra. Baginya itu adalah sebuah tantangan. Naomi sudah terbiasa mendorong dirinya untuk bekerja lebih keras sejak ia sekolah dulu. Ia percaya usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Sedari sekolah dulu, gadis itu sering belajar hingga larut malam. Terlebih saat dia berkuliah sambil bekerja, ia harus menggunakan waktu tidurnya untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Ia juga harus mempertahankan beasiswanya agar ia tetap bisa berkuliah tanpa harus cuti di semester selanjutnya.
Ia pernah mengambil cuti di masa kuliahnya karena ia gagal mendapatkan beasiswa dan ia tidak mempunyai uang untuk membayar UKT nya. Selama cuti, ia bekerja mengumpulkan uang untuk ia bisa membayar uang kuliahnya. Maka dari itu, gadis itu sudah sangat biasa hidup dengan tekanan yang berat.
Ditemani dengan musik ballad, gadis itu akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia menghela nafas dan kembali merenggangkan tubuhnya. Ia melirik ranjangnya dan ia mulai melangkah ke ranjangnya untuk merehatkan tubuhnya sejenak.
Ia tersenyum, dengan ini besok ia bisa ikut membantu sang ayah untuk berjualan.
Naomi membalikkan tubuhnya, mengambil gulingnya untuk ia peluk. Badannya sangat lelah, namun tekad gadis itu sangatlah tinggi.
Pikiran gadis itu beralih kepada lamaran yang ia berikan ke perusahaan tempat Seira bekerja. Ia benar-benar berdoa dalam hatinya, setidaknya ia dipanggil untuk melakukan wawancara. Ia tidak bisa menampik ketika ia membayangkan dirinya benar-benar bekerja di Lewis Studio. Pastilah sebuah kebanggaan besar untuknya bisa masuk ke dalam perusahaan raksasa itu.
Ia berharap dengan masuknya ia ke dalam perusahaan itu, dapat mengubah perekonomian kehidupannya dan ayahnya.
****
Alex tengah sibuk memeriksa dan membaca semua berkas-berkas yang ada di meja kebesarannya. Di sela-sela kesibukannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Begitu ia lihat siapa yang meneleponnya, ia langsung mengangkatnya,
“Apa kau sudah membelinya semua?” tanya Alex kepada seorang wanita di teleponnya.
“Sudah pak... dan juga pak tadi Naomi ikut berjualan,”
“Oh ya?” tanya pria itu dengan tidak percaya. Rasanya ia ingin sekali menghampiri gadis itu secepatnya,
“Pak, apa tidak apa kalau saya terus yang memborong semua makanan itu pak? Ayah Naomi sudah mulai curiga kepada saya,” ujar Lina, menunggu balasan pria itu kepadanya,
Alex berpikir sejenak, sebelum dia akhirnya memutuskan untuk berkata,“Besok adalah hari terakhirmu untuk membeli semua dagangan mereka. Saya akan utus orang lain untuk melakukannya,” ujar Alex yang diangguk mengerti oleh Lina,
“Dan…” ujar pria itu yang masih ingin bertanya sesuatu kepada Lina,
“Ya pak?”
“Apa Naomi terlihat senang?” tanya pria itu dengan penasaran, bahkan suaranya terdengar mengecil.
“Iya pak, bahkan dia tidak bisa berhenti tersenyum saat saya memborong semuanya,” ujarnya, menuai senyuman mantap dari Alex.
“Baik, saya mau lanjut kerja. Besok pagi saya akan kirim lagi uang kepadamu untuk membeli dagangan itu lagi,” ujar Alex sebelum ia menutup panggilan tersebut.
Pria itu menyenderkan tubuhnya di kursi kebesarannya, membayangkan senyum gadis itu yang masih ia ingat sampai hari ini. Ia juga tidak bisa berhenti tersenyum karena ia sudah membuat gadis itu tersenyum karenanya. Ah… ia ingin sekali melihat senyuman gadis itu secara langsung.
Dalam beberapa hari ini, ia tidak memang belum menunjukkan dirinya secara langsung kepada gadis itu karena kendala pekerjaan dan lainnya. Ia penasaran bagaimana gadis itu memandangnya saat ini, mungkinkah gadis itu merasa sedih karena ia belum menunjukkan tanda-tanda untuk mengejar gadis itu kembali?
Ia harap sih begitu.
Jadwal pria itu sangat padat, sehingga membuatnya tidak sempat untuk menghampiri gadis itu.
Lagi dan lagi ia disibukkan dengan kertas-kertas yang menumpuk di mejanya. Menjadi seorang CEO bukanlah sebuah hal yang mudah, ia harus banyak mengerti dan mengikuti trend yang saat ini sedang hype. Belum lagi project yang saat ini tengah dijalankan memakan banyak waktu dan ide yang harus ia pertimbangkan.
“Aku ingin melihat senyummu,” ujar pria itu pelan, sembari menutup matanya, merileksasikan tubuhnya yang lelah. Ia mengambil ponselnya, untuk ia membuka gallery. Ia masih menyimpan foto-fotonya yang tengah bersama dengan gadis itu. Walaupun itu foto lama, pria itu tetap menyimpannya sebagai media yang memenuhi kerinduannya yang selama ini ia pendam.
Ia sudah melakukan semua yang terbaik dalam hidupnya dan gadis itu terus mendorongnya dan mendukungnya. Berkat pertemuannya dengan gadis itu, ia belajar untuk memberikan yang terbaik dalam segala aspek. Hal inilah yang mendorongnya untuk terus berprestasi hingga ia memperoleh posisi yang ia dapatkan saat ini.
Gadis itu benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. Maka dari itu, pria itu selalu mengucap syukur atas pertemuan yang pernah mereka lakukan walaupun pertemuannya dengan gadis itu tidak berlandaskan pertemuan yang baik.
Pria itu mulai menegapkan tubuhnya begitu ia teringat sesuatu. Ia memanggil Darius untuk datang menghadap dirinya. Dan tidak lama setelah itu, pria itu muncul di hadapannya dan menyapanya dengan sopan,
“Bagaimana dengan lowongan yang kita buka? Apakah kau ada bertanya pada Seira dan Adrian perihal ini?” tanya pria itu dengan penasaran,
“Sejauh ini ada sekitar 200an orang yang mendaftar. Mereka berniat mengambil 10 orang yang Senin nanti akan di interview,”
“Bukankah pendaftaran sudah tutup tadi siang jam 12?”
“Iya, benar pak…” ujar pria yang berperawakan tinggi nan tegap itu mengangguk,
“Aku sudah meminta Seira dan Adrian untuk memfokuskan diri mereka terlebih dahulu terhadap lowongan ini. Apa mereka sudah menyortir 200 orang pendaftar itu menjadi 10 orang?”
“Sejauh ini mereka baru menyortirnya menjadi 50 orang pak,” ujar Darius
Pria itu mengangguk mengerti, sebelum manik matanya kembali kepada Darius,
“Minta mereka kirimkan CV kesepuluh orang yang terpilih untuk interview malam ini juga,” ujar pria itu yang mengembalikan tatapannya kembali ke kertas-kertas tersebut.
Melihat ada tanda-tandanya Alex untuk mengurusi lowongan, pria itu memberanikan diri untuk bertanya kepada Alex,
“Apa Anda ikut dalam sesi interview nanti?” tanya Darius dengan ragu.
Pria itu menggeleng,”Tidak, aku hanya ingin tahu saja siapa-siapa saja yang nantinya terpilih,” ujar pria itu tanpa menatap Darius. Darius mengangguk dan dengan sopan ia mengundurkan diri dari pria itu ketika ia merasa tidak ada lagi yang bisa ia bahas dengan Alex.
****
Sudah pukul 9 malam, dan pria itu hampir selesai dengan segala pekerjaannya. Untuk sejenak, ia menyenderkan dirinya di kursi begitu ia selesai memeriksa dan menandatangani berkas-berkas tersebut. Ia merenggangkan tubuhnya, melepas kelelahan dan kepegalan yang menggerogotinya,
Ponselnya berbunyi, pertanda sebuah pesan masuk.
Darius: “Halo pak. CV kesepuluh orang yang terpilih untuk interview sudah dikirim via email pak. Bapak bisa periksa sekarang juga,”
Pria itu menarik dirinya untuk membuka membuka laptopnya. Dengan penasaran, ia mulai membuka dan melihat isi karya-karya per orangnya. Pria itu mengangguk-angguk mengerti mengapa Seira dan Adrian bisa memilih mereka sebagai kandidat pengganti Adrian.
Dan ketika ia mulai membuka profil dan CV terakhir, ia melihat nama yang tidak asing baginya. Ia sempat terdiam di tempatnya, berpikir jika kemungkinan ini adalah orang yang berbeda walaupun ia berharap yang sebaliknya. Terlebih dahulu ia membuka karya-karya yang ada dan ia mendecak kagum dengan hasil karya tersebut.
Dengan kaku, ia mulai membuka profil dan foto tersebut. Seketika ia terdiam di tempatnya.
Naomi Tjahara.
Benar-benar pertemuan yang tidak terduga.
Author’s POV Beberapa tahun berlalu. Kini Alex dan Naomi sudah terang-terangan menunjukkan hubungan mereka ke rekan kerja mereka. Mereka melakukannya perlahan-lahan, dimulai dari berjalan bersama dan akhirnya Naomi pun mengaku kepada rekan-rekannya mengenai hubungannya bersama dengan Alex. Ia melakukannya bukan karena ia ingin pamer, ia merasa jika hal seperti ini tidak bisa disimpan dan disembunyikan untuk selamanya. Sudah 2 tahun berlalu dan keduanya masih berpacaran dengan begitu harmonis. Tentu saja di dalam sebuah hubungan akan selalu ada cek cok dan juga pertikaian. Namun itu tidak membuat hubungan mereka putus di tengah jalan karena mereka sadar, bagaimana pun mereka menjauh, pada akhirnya kembali lagi bersama. Hubungan mereka tentu saja sudah disetujui oleh keluarga Naomi dan keluarga Alex. Salah satu plot twist yang mereka dapatkan adalah ternyata Benny adalah teman lama Charles. Mereka berteman sejak mereka masih bersama-sama mengel
Author’s POV Alex menarik napasnya dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia merasa ia harus bicara tatap muka dengan kedua orang tuanya mengenai pertunangannya dengan Giselle. Kalau perlu ia akan mendatangi Kevin---ayah Giselle untuk membatalkan pertunangan mereka, Pria itu mulai keluar dari mobilnya dan mulai masuk ke dalam rumah kedua orang tuanya. Karena kedatangan pria itu mendadak, Adelia dan Charles juga terkejut dengan keberadaan anaknya yang tidak mengabari mereka jika ia datang kepada mereka. Dengan mantap, pria itu duduk di sofa bersama dengan kedua orang tuanya. Ia menatap serius kedua orang tuanya sebelum dia membuka suaranya, “Papa, mama... Alex ingin membatalkan pertunangan ini. Bisakah Alex mendapatkan kontak pak Kevin supaya Alex bisa berbicara kepadanya empat mata?” tanya Alex dengan serius. Charles beserta istrinya saling bertatap-tatapan sebelum mereka pun tersenyum, “Tidak perlu...” ujar Charles kepadanya.
Author’s POVGiselle masih menatap Naomi yang terlihat canggung bersamanya. Saat ini mereka berada di sebuah café langganan Giselle yang mana mereka memesan ruang vip entah untuk apa alasannya bagi Naomi. Namun berbeda dengan Naomi, Giselle hanya ingin pembicaraannya dengan Naomi tidak bocor ke luar dan tidak mengundang banyak orang untuk mendengarkannya,Sembari menunggu makanan mereka tiba, Giselle dengan tegas duduk dengan tangan yang terlibat dan ia menyenderkan tubuhnya di kursi. Sementara Naomi, ia berusaha untuk menghindari tatap muka terhadap gadis itu,“Sejak kapan kau mengenal Alex?” tanya Giselle, membuka percakapannya bersama dengan Naomi setelah sekian lama mereka hanya diam dan tidak berkutik apapun.“Sejak kami SMA…” jawab gadis itu dengan jujur. Kali ini ia juga meluruskan pandangannya kepada Giselle. Jika Giselle sekali lagi ingin mengklaim Alex sebagai miliknya, ia juga tidak a
Author’s POVKali ini Naomi tidak lembur. Ia sudah siap mengerjakan pekerjaannya dan sekarang adalah saatnya untuk pulang bersama dengan Alex. Gadis itu masih berjalan dengan pria itu yang sedang menunggunya di dalam mobil. Dan ketika gadis itu sudah sampai di basement, seseorang menarik tangannya yang membawanya menjauh dari mobil Alex.Bingung dengan siapa yang menariknya, gadis itu menoleh dan mendapatkan Giselle yang sedang menarik tangannya.“M-mau kemana?” tanya gadis itu yang sama sekali menarik dirinya dari Giselle, seakan ia pasrah jika Giselle menariknya seperti itu,“Temenin aku shopping,” ujarnya dengan singkat. Gadis itu masih diam, ia tidak banyak bertanya dan hanya ikut dengan apa yang gadis itu lakukan kepadanya.Ia mendengar banyak mengenai Giselle dari Alex. Giselle adalah anak yang paling kecil diantara saudaranya yang lain. Biasanya anak yang paling terakhir akan mendapatkan kasih s
Author’s POV Alunan musik klasik dari bar ternama ini dapat membius pelanggannya untuk merasa rileks. Bar tersebut terlihat sepi, meskipun terlihat sepi namun ada begitu banyak pria hidung belang yang lalu lalang untuk menggoda sosok cantik seperti Giselle yang sedang meminum vodka sendirian. Ia masih berpakaian kerjanya, dengan blouse peach dan rok span yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna. Ditambah lagi dengan high heels dan lipstick merah maroon yang membuatnya terlihat berkelas. Saat ini ia memikirkan perjodohannya bersama dengan Alex. Alex terlihat serius ketika ia berkata ia tidak ingin berjodoh dengan dirinya. Tidak hanya itu, ia juga tidak bisa membenci sosok Naomi yang sudah pernah menyelamatkannya dan juga gadis itu bukanlah tipikal gadis yang munafik. Awalnya ia mengira jika cinta pria itu hanyalah cinta semu seperti dia bersama dengan wanita-wanita lainnya. Ia sama sekali tidak menyangka jika pria itu memang benar-benar me
Author’s POV“Sebenarnya Alex adalah calon tunanganku,” Perkataan tersebut terus terbayang-bayang dibenak Naomi. Ia mendapat pesan dari Alex yang menanyakan keadaannya tadi dan gadis itu mengabaikan pesan itu dan memilih untuk mengerjakan pekerjaannya. Ia terus bekerja hingga ia sendiri menyerah akan dirinya dan ia meletakkan kepalanya di meja. Ia menghela napas, mengapa semuanya menjadi serumit ini?Hubungannya bersama dengan Alex sudah membaik dan sekarang mereka harus berhadapan dengan perjodohan Alex. Gadis itu sedikit kecewa karena pria itu tidak berkata apapun kepadanya dan pada akhirnya berakhir pada gadis itu yang mengetahuinya dari orang lain.Tapi ia juga tidak terlalu menyalahkan Alex karena jika dirinya berada di posisi Alex, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama. Lagi dan lagi gadis itu menghela napasnya. Ia berusaha untuk bangkit dan juga kembali mengerjakan pekerjaannya.Tidak lama