Jangan Larang Aku Menikah!
Part 01: Lamaran Ditolak!
"Bagaimana lamaran anakku?" tanya Bu Aida dengan nada sedikit grogi.
"Anak ibu punya harta apa? Bekerja pun di tempat biasa saja. Sanggupkah membayar mahar tiga ratus juta?" balas Bu Nadya membuat suasana hati Bu Aida panas. "Setelah menikah dengan anak gadisku, anakmu harus memberi uang bulanan kepadaku minimal sepuluh juta," sambungnya dengan memaksa.
Mendengar penuturan Bu Nadya, Haris langsung berdiri dan menarik tangan ibunya untuk beranjak pergi dari tempat itu. Namun, Bu Aida masih mematung dan tidak mau mengindahkan kode yang diberikan anaknya.
"Sebaiknya kita pergi saja dari rumah ini, Bu. Pantas saja banyak pria yang mundur perlahan. Ternyata Bu Nadya minta mahar tiga ratus juta," ucap Haris.
Suasana hening. Namun, wajah Bu Nadya memerah. "Kalau tidak sanggup memberi mahar sesuai yang aku minta, jangan nyerocos seperti mulut perempuan. Bilang saja kalian nggak ada uang untuk melamar Winda. Masa mau nikah nggak bermodal!"
Winda hanya diam melihat ulah ibunya. Bu Aida dan Haris menelan saliva dengan berat dan pandangan sorot matanya tidak berkedip. Sudah berulang kali bahkan sering kali pria datang melamarnya. Semua mundur, akibat permintaan Bu Nadya yang tidak masuk akal. Pria mana yang ingin mempersunting Winda sementara tuntutan Bu Nadya di luar nalar manusia.
"Bu, mau sampai kapan Ibu seperti ini? Meminta mahar kepada setiap pria yang datang dan ingin menghalalkanku," ucap Winda. Netranya seketika melahirkan mendung dan suaranya serak. "Umurku sudah tiga puluh tahun lebih. Apakah Ibu nggak malu, kalau aku dikatain tetangga dengan sebutan perawan tua?"
Winda bersuara, berharap ibunya dapat mengerti.
"Siapa yang berani menuduh kamu? anak gadis semata wayangku dengan sebutan perawan tua. Agar aku robek-robek mulutnya!" Amuk Bu Nadya. Dia tersulut emosi mendengar perkataan putrinya.
Suasana di dalam ruangan itu semakin panas akibat perdebatan yang alot. "Bu ... istigfar! Jangan ikuti setan yang ada dalam dirimu!" Nasihat Bu Aida. Seketika beliau ikut campur untuk menenangkan suasana hati Bu Nadya.
"Pergi kau dari rumahku! Jangan pernah coba-coba datang lagi ke rumah ini untuk melamar anak gadisku, kalau tidak punya modal sama sekali."
Bu Aida terkejut mendengar amukan Bu Nadya. Baru kali ini dirinya diusir secara tidak hormat.
"Pergi! Pergi ...!" Emosinya sudah tidak bisa terkontrol lagi.
"Bu, sudah aku bilang ayo kita pergi. Ibu malah masih bertahan dan mau menasehati manusia yang tidak ada akhlak ini!" ujar Haris seketika. Ia langsung berdiri dan menuntun ibunya agar pergi saat itu juga.
"Permisi! Assalamualaikum," ucap Bu Aida. Mereka melangkah gontai dengan dada bergemuruh. Wajah Bu Aida merah terlukis jelas kalau dia tidak terima atas hinaan Bu Nadya.
"Ibu tidak menyangka permintaan Bu Nadya sangat gila," ucap Bu Aida sembari mengayunkan langkah kakinya menuju mobil yang parkir di depan rumah.
Diam-diam Winda mengantarkan Bu Aida dan Haris ke depan. Walaupun mereka sedikit kecewa. Winda masih ingat ceramah salah satu ustaz ketika ada tamu, 'Antarkan lah mereka menuju pintu gerbang rumahmu sampai bayangan mereka tidak kelihatan jelas.'
Sesampainya di halaman rumah, mereka masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt, Haris menginjak tuas gas kemudian menyetir mobil miliknya.
"Pantas sekali banyak pria yang mundur setelah mencoba melamar Winda. Sekarang aku sudah percaya kabar burung yang beredar dari mulut ke mulut," ucap Haris tertawa tipis sambil menyetir mobil Avanza yang baru saja dia beli lunas.
Senyum tipis terukir di wajah Haris, ketika melihat Winda dari kaca spion. Haris sebenarnya suka semenjak pandangan pertama kepadanya. Namun, rasa itu pudar setelah mendengar penuturan Bu Nadya.
"Sudah jangan kamu masukkan ke dalam hati! Semoga Bu Nadya segera mendapat hidayah." Bu Aida mencoba menasehati Haris.
"Bu ... Bu .... Sudah dicaci maki sama Bu Nadya, masih saja mendoakannya," desah Haris menggeleng. Dia masih bingung melihat sikap ibunya yang tak pernah dendam kepada seseorang, walaupun sudah membuat dirinya kecewa.
*****
Winda pergi berlari masuk ke dalam kamar. Dia tidak tahu apa yang diharapkan oleh ibunya. Hanya tangisan lah yang bisa dilakukannya.
"Winda ... buka pintunya! Ibu mau bicara sama kamu, Nak!" teriak Bu Nadya sambil menggedor-gedor pintu kamar.
"Aku tidak mau diganggu saat ini, Bu. Biarkan aku menyendiri!" sahutnya.
"Kamu nggak boleh melawan, Nak! Jangan merajuk seperti anak kecil. Masa cuma begitu, langsung marah."
Winda tidak peduli dengan ucapan ibunya. "Ibu jahat! Pergi! Aku nggak mau diganggu. Pergi ...!" teriaknya histeris sembari menutup kedua daun telinga.
"Baiklah, ibu akan pergi. Jangan salahkan kalau aku pergi selamanya," ancam Bu Nadya.
Winda tidak peduli dengan ucapan ibunya. Sakit hati yang ditorehkan Bu Nadya sudah tidak bisa lagi dimaafkan.
"Aku nggak peduli! Ibu saja nggak pernah peduli dan mengerti perasaanku sama sekali. Aku mau menyempurnakan agama dan ingin mengikuti sunnah rasul. Jadi, tolong restui aku untuk menikah tanpa memberatkan pria yang ingin mempersuntingku."
Seketika Bu Nadya bergeming, berpikir sejenak bagaimana caranya agar Winda bisa menerima kemauannya.
"Buka pintunya, Winda! Kita bicarakan baik-baik. Ibu mohon dengan sangat!" ucap Bu Nadya memelas.
Winda terus meratapi nasibnya. "Sungguh teganya ibu menyusahkan calon imamku untuk segera menghalalkanku. Padahal beliau itu ibu kandung yang sudah melahirkanku," ucapnya dalam hati. Buliran air matanya terus mengalir membasahi pipi tiada henti.
Bersambung ....
Next?
Jangan Larang Aku Menikah!Part 02: Cekcok Masalah MaharPagi hari sangat cerah menyapa bumi. Namun, tidak seperti perasaan yang dialami Winda. Dia beranjak dari atas ranjang menuju halaman rumah yang dihiasi penuh bunga. Langkah kakinya diayunkan perlahan, hingga sampai ke taman depan rumah. Hanya bunga inilah tempatnya menghibur diri.Bu Nadya sedang sibuk bersih-bersih teras rumah. Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Dia berhenti sejenak dan melihat mobil yang sudah parkir di halaman rumah.Di sudut halaman rumah, Winda memperhatikan gerak-gerik mereka yang baru saja keluar dari dalam mobil. Sementara dia sengaja sembunyi di antara bunga-bunga yang baru saja disiram."Selamat datang calon menantu dan calon besan," ucap Bu Nadya dengan senyum sumringah.Senyum Bu Nadya dibalas oleh Bu Aura. Pria yang membuntuti Bu Aura tersenyum tipis sambil menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dada."Mari, silakan
Jangan Larang Aku Menikah! Part 03: Tangan Winda Terkilir Wajah Bu Nadya berubah merah dan tidak terima atas hinaan Bu Aura. "Pergi kalian dari sini! Aku tidak sudih mempunyai besan yang tidak ada akhlak!" Amuk Bu Nadya sembari menunjuk pintu keluar. Dadanya bergemuruh akibat mendengar hinaan Bu Aura. "Nggak usah pun ibu mengusir kami, aku dan anakku tahu jalan pulang. Semoga saja Winda perawan tua seumur hidup," ucap Bu Aura. Sumpah serapah terlontar dari sudut tepi bibirnya. Mereka beranjak pergi dan tidak menoleh ke arah belakang. Bu Nadya memegangi dadanya yang sesak, asma yang dideritanya mendadak kambuh di waktu yang tidak tepat. "Bang Anton, tunggu!" teriak Winda sambil mengejar membuntutinya. "Mau apa lagi kamu, Winda? Ibu tidak sudi punya calon menantu seperti kamu! Apalagi punya calon besan seperti benalu," jawab Bu Aura dengan judes sambil terus melangkah cepat. Winda terkejut mendeng
Jangan Larang Aku Menikah!Part 03: Winda Berniat Kawin LariPak Zainuddin melarang Bu Nadya pergi ke kamar mandi."Bapak."Pak Zainuddin tidak menghiraukan apa yang dikatakan istrinya."Kasihan Winda, Bu. Nanti takut masa suburnya habis dan susah mendapat keturunan!" nasihatnya kepada Bu Nadya.Tiba-tiba, bola mata Winda berembun. Dia tidak kuasa lagi menahan buliran air mata yang sudah meronta seketika perlahan luruh tanpa pamit. Winda tersaruk pilu dan termangu, mendengar ucapan Pak Zainuddin."Bapak! Tidak boleh begitu. Apa tidak capek membesarkan dan mencari nafkah untuk merawat dan membesarkan Winda mulai dari kandungan sampai sekarang? Lagi pula tidak usah bapak ikut campur masalah mahar yang ibu ajukan."Aku hanya diam seribu bahasa mendengar perdebatan antara bapak dan ibu. 'Ya Allah, bukakanlah hati ibuku agar tidak
Jangan Larang Aku Menikah!Part 05: Tertangkap Basah"Apa kamu bilang?""Maaf, Pak. Aku sudah tidak tahan menahan cemoohan dan hinaan orang di luar sana. Apalagi aku pergi ke warung belanja bahan sayuran."Flash back satu hari yang lalu."Winda! Sepertinya kamu sangat nyaman hidup sendiri tanpa ada pendamping sama sekali," tegur Bu Wati sedang memilih sayur untuk diolah pagi ini.Winda baru saja sampai di warung, sudah dapat cemoohan. Mendengar hinaan yang dia terima membuat hatinya tersaruk pilu."Mana ada yang berani melamarnya, ibunya selalu meminta mahar lima ratus juta," balas Bu Sarah sembari mengukir senyum mengejek.Tetangga sekitar rumah selalu menghina dan tidak ada sama sekali memikirkan perasaan Winda."Seandainya pun ada uangku lima ratus juta dan aku punya anak laki-laki. Aku nggak bakalan mau mempunyai menantu dan besan seperti Bu Nadya," sahut Bu Nisma.Bu Sarah da
Jangan Larang Aku Menikah!Part 06: Ahmad Bingung Tanam Saham"Astagfirulloh! Segitunya kah ibu kepada aku dan bapak!" ucap Winda terkejut sehingga vas bunga yang ada di sudut ruang tamu luruh ke lantai karena tersenggolnya."Astagfirullah! Kenapa vas bunga bisa tersenggol dan pakai jatuh segala lagi," ucap Winda sambil menepuk jidat.Bu Nadya melangkah menuju asal suara itu. Winda beranjak pergi agar tidak ketahuan menguping pembicaraan kedua orangtuanya."Mau lari ke mana kamu, Winda?" ucap Bu Nadya menghalangi langkahnya.Langkah kakinya terhenti. Dia berdiri gemetar dan matanya sengaja dipejamkan untuk menghilangkan rasa takut dalam dirinya."Mampuslah, Aku. Bisa kena marah sepuluh ayat ini karena ketahuan menguping," ucapnya lirih."Apa yang kamu lakukan di sini?" seru Bu Nadya dengan mata menyalang dan wajah memerah."Ti-tidak
Jangan Larang Aku Menikah! Part 07: Nikah Lari "Ayo, Bang. Buktikan kalau Abang benar-benar serius." Winda memaksa. Sementara Bu Nadya masih sesak karena asma-nya. "Sudah biarkan saja bapak yang menangani ibu, Bang. Jangan sia-sia 'kan kesempatan ini!" ucap Winda. Ahmad masih saja mematung dan tidak mau bergerak sama sekali. "Apakah adek sudah siap untuk menjadi istri, Abang?" tanya Ahmad dengan sorot mata yang tajam. "Ahmad! Cepat kalian pergi lari dari kampung ini. Jangan banyak tanya lagi. Bapak yakin, Winda sudah siap lahir dan batin untuk membina rumah tangga bersamamu." Restu dari Pak Zainuddin sudah ada. Sementara Ahmad belum yakin kalau Winda sudah siap. Itu sebabnya dia masih mematung. "Bang! Ayo kita pergi!" Winda terus memaksa Ahmad. Winda tidak sabar untuk kawin lari. Itu sebabnya dia memaksa Ahmad kabur dari kampung ini. Ahmad melangkah gontai mengham
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Dilema Winda melangkah menuju kamar untuk packing, tidak mungkin dia pergi tanpa ada bekal pakaian sepasang pun. Sementara uang tidak ada sama sekali di tangannya untuk beli baju. Maka dari itu, Winda secara paksa, mau tidak mau harus bawa beberapa pakaian. Tidak butuh waktu lama, usai sudah semua baju dimasukkan ke dalam tas. Winda menyusul Ahmad yang sudah di atas motor dari tadi. Dia langsung naik dan Ahmad men-stater motor bututnya. Winda kelihatan canggung menunggangi motor yang akan membawanya pergi tidak tahu pergi ke mana. "Maaf, Dek! Karena kita belum sah. Maka tolong jaga jarak." Winda terkejut mendengar ucapan Ahmad. Keadaan seperti ini masih saja menjaga kesuciannya. Dia hanya bisa mengulas senyum, Ahmad terkesima melihat senyumnya jelas kelihatan dari kaca spion. "I-iya, Bang." Sebuah klak
Jangan Larang Aku Menikah! Part 08: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy Jangan Larang Aku Menikah! Part 09: Bertamu Ke Rumah Tante Lusy "Oh, itu." Hanya oh yang diutarakan, Winda. Pikirnya melayang dan tidak tahu ke mana arahnya. "Maksudnya apa, Dek!" Winda salah tingkah, tidak tahu ingin berkata apa dan menjelaskannya kepada Ahmad. Sementara raut wajahnya Ahmad memaksa Winda untuk menjawab pertanyaannya. "Itu ajaran sesat yang sangat dimurkai oleh Allah, Bang." Ahmad bergeming dan otaknya traveling memikirkan apa yang diucapkan Winda. "Abang tidak tahu apa maksudnya, Dek! Abang harap jangan bertele-tele," ucapnya penuh penasaran. Ahmad menghembuskan napas kasar dan merasa menggigil. Udara panas kini berubah menjadi dingin. "Maksud tanam saham itu ... K