Ini mencurigakan.
Walau pulang terlalu larut, tetapi ... tidak ada lemparan remote TV, atau jambakkan rambut seperti yang Sara duga. Dia sampai di gudang—alias kamarnya, dengan selamat walau diiringi suara tertawaan Paman dan Bibi sepanjang langkah. Usai menghela napas panjang, Sara menghempaskan tasnya ke lantai. Dia beralih ke tumpukan kardus di ujung ruangan—tempat dia menyimpan pakaian, hendak mengganti pakaian tidur. Namun, betapa terkejut Sara menemukan semua isi kardus itu kosong dan bersih. Semua pakaiannya tidak ada! Napasnya seketika memburu. Pikirannya melayang pada sikap Paman dan Bibi yang terlalu santai meski dia pulang terlambat. Rupanya, pakaian bersih Sara yang jadi sasaran. Ini bukan pertama kalinya. Langkahnya tergopoh menuju tempat di mana baju Sara pernah berakhir mengenaskan. Di dalam tempat sampah? Tidak ada. Di dalam WC? Tidak ada. Sara berlari ke halaman depan, mencari-cari jejak sisa pembakaran, namun tidak juga dia temukan. Tiba-tiba terdengar suara tawa Bibi. Bibi baru saja berdiri di ambang pintu, "Sana ke depan! Cari di luar!" Sara mengepalkan tangan, dadanya bergemuruh. Tanpa menatap Bibi, dia berlari ke luar rumah. Pandangannya menyapu sekitar. Lalu ditemukannya beton tutup saluran got yang sedikit terangkat. Bergegas dia memindahkannya walaupun berat. Air mata Sara seketika tumpah begitu menemukan tumpukan pakaiannya, termasuk seragam kerja yang akan dia kenakan besok berada di sana—menyatu dengan genangan hitam. Napas Sara lantas tertahan saat dia menemukan benda lain—robekan foto terakhir Mama, satu-satunya yang dia punya. Hancur menjadi kepingan kecil berserakan, sebagian hanyut saat dia mengangkat pakaiannya. Bahu Sara berguncang hebat. Tangisnya pecah, suaranya mengundang perhatian warga yang berkumpul di pos tak jauh dari sana. Seorang Bapak berdiri sambil menggeleng pelan melihat Sara menangis memunguti pakaian yang menyatu dengan lumpur hitam satu per satu. Setiap malam sebelum tidur, Sara terbiasa mengajak bicara Mama melalui foto itu. Sekadar bercerita sambil mencurahkan rindu. Sekarang, tidak ada satu pun benda yang bisa mengingatkannya dengan wajah Mama. Sara menggeram dalam tangis, tangannya berhenti sejenak, mengepal kencang di atas aspal. Tidak. Paman dan Bibi tidak pantas hadir di pernikahannya. Mereka tidak perlu tahu kehidupan barunya. Sara tidak akan biarkan mereka mengontrolnya lagi. Mereka memisahkan Sara dengan kenangan terakhirnya dengan Mama. Dan itu jauh lebih menyakitkan dari setiap pukulan dan sundutan rokok yang pernah dia terima. Di antara senyap malam, di tengah isakan tangis, dalam hati Sara berjanji, dia tidak akan melupakan ini selamanya. Setelah malam itu, Sara menjadi dingin. Tatapannya tak lagi memelas, melainkan datar dan kadang penuh kebencian yang tertahan. Air matanya seolah habis, tak lagi keluar walau cacian dan hinaan dilemparkan ke mukanya. Pekerjaan rumah, memandikan dan menyuapi adik sepupu tetap dia jalani seperti biasa. Namun, ekspresinya selalu dingin, seolah kerasukan sesuatu. Pukul tiga subuh pada hari pernikahannya, Sara meninggalkan undangan cetak yang bagian tanggal, waktu dan tempat dia coret dengan pulpen sampai hitam tak terbaca. Dia juga menaruh surat di atasnya. "Paman, Bibi, undangan ini kutinggalkan untuk memberi kabar bahwa aku menikah—bukan untuk mengundang kalian. Tidak perlu repot datang." Dia letakkan itu di meja ruang tengah. Tanpa menyisakan penyesalan apapun, dia menenteng barang bawaannya melangkah keluar menghampiri mobil milik asisten Vincent yang sudah menunggu di depan. *** "Paman dan Bibimu berhalangan hadir?" Vincent berseru tajam. Seingatnya, Sara hanya mengajukan sedikit nama tamu undangan dari pihaknya. "Lalu keluargamu yang lain? Tidak ada yang hadir?" Sara mengangguk, "Aku mengundang teman-teman kerjaku, kok." Vincent mengintip ke aula venue sesaat. "Dua orang itu?" Tanyanya ragu. Sara ikut menoleh ke Venue. Pandangannya gusar. "Iya." Vincent menghela napas berat. Akan sangat mencurigakan di mata Mama dan Kakek kalau perempuan yang dia nikahi tidak didampingi keluarga seorang pun saat ikrar janji. Sebenarnya, kenapa sampai tidak ada seorang keluarga pun yang hadir di pernikahan gadis ini? Padahal usianya baru dua puluh dua. Masih muda. Kemungkinan besar ini pernikahan pertamanya. Terlalu ganjil. Dan lagi, dia pernah hampir bunuh diri. Mungkin saja yang Vincent cegah kemarin bukan upayanya yang pertama. Ada apa dengan kehidupan gadis ini sebenarnya? Sialnya, Vincent belum sempat membaca seksama hasil pemeriksaan latar belakang Sara yang diselidiki anak buahnya. Kenapa baru sekarang dia sadar hal sepenting itu? Sekarang—ketika sesaat lagi acara pernikahannya dimulai? Mama dan Kakek sudah di kursi. Sementara bagian tamu mempelai wanita hanya diisi dua orang. Setelah melihat jam tangan, dengan tatapan dingin, Vincent mengangkat ponsel, menghubungi asistennya. "15 orang untuk mengisi kursi keluarga mempelai wanita. Cari sekarang." Titahnya. Pernikahan diselenggarakan khidmat. Keluarga palsu Sara hadir sebelum pemberkatan berlangsung. Semuanya berjalan lancar. Wanita itu—Sara, meneteskan air mata ketika pendeta menyatakan mereka telah resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah itu, Vincent menyalami beberapa rekan dekatnya. Semua berkata bahwa istrinya sungguh memesona. Jujur, Vincent berpendapat sama. Di mata Vincent, pesona Sara dengan rambut hitam bergelombang dan bibirnya yang ranum memang menghipnotis. Karena itu, dia sampai memastikan bahwa 'Sara orangnya' ketika dia mencari wanita yang mau menjadi istri bayaran. Setidaknya kecantikan Sara mampu meyakinkan keluarganya kalau Vincent sudah berpaling dari Deana. Namun, sebatas itu. Dia hanya berpikir Sara cantik. Bukan artinya dia jatuh hati. Setelah pengkhianatan Deana, dia menutup rapat pintu hatinya. Luka hatinya masih terlampau perih untuk membuka ruang bagi hati yang lain. Malam harinya, dia menemukan tas besar milik Sara tergeletak di kamarnya dalam kondisi terbuka. Beberapa pakaian wanita itu tumpah dan membentang di karpet. Sebagian besar sudah kusam—seperti terlalu sering dicuci-pakai. Vincent membuka aplikasi perbankan di ponsel. Mengirim lima puluh juta rupiah ke rekening Sara. Gadis itu perlu memperbaiki penampilan supaya lebih layak bersanding di sisinya. Mengedarkan pandangan, pemuda itu mendapati suara gemericik air terdengar di kamar mandi. Tampaknya Sara menggunakan kamar mandi yang ada di kamarnya. Dia harus ingatkan Sara bahwa kamar mereka akan terpisah. Pria itu memutuskan duduk di sisi ranjang sambil menunggu. Serta merta, sosok yang dia tunggu datang. Mengenakan kimono handuk, Sara berjalan tenang, lantas tersentak saat menemukan Vincent menatapnya tajam dari sudut kasur. "Papamu bukan tenaga kerja di luar negeri. Tapi seorang narapidana." Katanya dengan suara dingin. Dia sudah membaca informasi tentang Sara usai acara pernikahan berakhir. Sara berbohong, dan dia benci pendusta. "Maaf ...." Sara menggigit bibir, wajahnya sedikit menunduk. "Kalau kamu tahu Papaku adalah tahanan, aku takut kamu membatalkan pernikahannya." Ucapnya dengan suara sedikit gemetar. Vincent mematung. Jujur, menatap penampilan Sara sehabis mandi membuat Vincent terdiam panjang, sibuk menenangkan pikirannya agar tetap waras. Usai memejamkan mata kuat-kuat, Vincent menghela napas berat, "Kenapa? Kenapa kamu takut pernikahannya batal? Memangnya kamu tidak jadi ingin mati?" "Bukan begitu! Aku ...." Sara menatap ragu sekitar, tangannya saling bertaut. Sementara itu, Vincent memiringkan wajah dengan kening mengkerut, sebelah alisnya naik. "A-aku terlanjur menyukaimu!"Sara beranjak bangkit dan mencoba mengejar untuk memeriksa siapa sosok di balik kamera itu. Namun rumah megah ini mendadak sunyi. Tak ada jejak siapa pun di sekitar. Satu hal yang Sara yakini, ada seseorang yang ditugaskan untuk mengawasi Sara di rumah ini. Siapa yang memberi instruksi? Sara mencurigai beberapa pihak. Deana, atau seseorang di keluarga Vincent—Ibu mertuanya atau mungkin Kakek. Jika dipikir, pertemuan terakhir Sara dengan sang Ibu mertua adalah di hari pernikahannya. Hingga saat itu, Sara yakin wanita paruh baya yang kerap dipanggil Nyonya Martha itu masih belum sepenuhnya menerima Sara. Vincent juga tak pernah membahas beliau. Dan, tak ada tanda-tanda Nyonya Martha berencana menemui Sara. Tampaknya ada sesuatu di balik itu. Sara harus menanyakan hal ini pada Vincent. Walau sebenarnya Sara tak ingin mengambil pusing. Karena toh dia hanya sementara di rumah ini. Tetapi, bagaimana jika misinya membutuhkan waktu lebih lama? Jangan-jangan pihak yang tak me
"Kenapa? Karena aku menciummu? Karena aku tidur denganmu?” pekik Sara, lekas membuat Vincent memejamkan mata kuat-kuat. Tangannya mengusap wajah, tampak frustasi.Bi Laila dan seorang pelayan lain yang sedang berada di dapur berjalan keluar ruangan dengan kepala menunduk, berpura-pura tak mendengar ucapan Sara yang barusan lolos tanpa filter.Sementara itu, Eric di ambang pintu bergeser kikuk, memindahkan tubuhnya agar berada di ruangan sebelah.Vincent membuka mulut, tampak akan memprotes ucapan Sara, namun wanita itu lebih dulu memotongnya,“Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”“Dengar. Aku nggak suka, kamu bertemu banyak orang. Nggak ada yang bisa jamin kamu nggak akan bertemu kembali dengan orang-orang seperti Yuta.” Vincent menatapnya tajam, penuh tekanan. “Paham?”Sara semakin mengernyit, menunjukkan penolakan keras, “Kamu mau mengurungku di rumah?”“Kamu bisa kembali latihan bermain gitar.” ucap Vincent memberi solusi.Iya, mungkin benar. Tetapi Sara kini kehilangan momen
Vincent merebahkan kepalanya yang penat di atas bantal. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Tangannya memijit pelan pelipis.‘Kamu boleh tidur di kamarku.’Kalimat yang dia ucapkan tadi itu terus terngiang di kepala. Bagai mimpi buruk yang mencekik kewarasannya. Dia sendiri menyesali kebodohannya yang belakangan ini begitu mudah takluk pada pesona Sara. Segala yang ada pada wanita itu, entah sejak kapan menggoyahkan pertahanannya hingga luluh lantak.Suara yang kadang terdengar manja, tatapan mata yang berbinar indah, bibir yang ranum …Dan sentuhan hangat yang menari lembut di bibirnya ….Semua berkelebat liar di kepala Vincent. Mengacaukan debar jantungnya hingga tanpa sadar tangannya mencengkeram rambutnya kuat. Pria itu menghela napas berat. Sejujurnya, dia menikahi Sara tanpa diiringi niat untuk ‘hadir’ sebagai suaminya. Jangankan menjadi suami, menikah kembali pun dia tak berminat.Namun kini … apa hatinya mulai goyah? Sekarang … apa yang dia inginkan?“Vin ….” Vincent membuka mata
“I-itu ….” Sara membelalak ketika Vincent mengernyit menatap layar ponsel Sara. Buru-buru direbutnya benda pipih itu dari tangan Vincent. Namun, pria itu menahannya.“Itu cuma spam! Bukan pembelian!” Sara berseru panik. Tangannya mencoba merampas ponsel yang dicengkeram erat oleh Vincent. “Lepas! Berikan ponselku!” pekiknya seraya mendelik kesal.“Kalau hanya spam, lantas kenapa kamu sepanik ini?” Vincent menatap Sara lekat, guratan curiga menggantung di wajahnya. Pria itu semakin mendekat, membuat Sara refleks menjauh.“Ada yang kamu sembunyikan?” desaknya dengan suara rendah.Sara meneguk ludah. Ini gawat. Kalau sampai Vincent berhasil mengakses ponsel Sara, bukan hanya pembelian barang-barang mesum itu, tetapi juga pesan rahasianya dengan Deana yang bisa terbongkar.Sara menarik paksa ponselnya dalam satu sentakan cepat. Namun, gerakan itu membuat Vincent yang memegang ponsel ikut tertarik. “Aakkkh!”Bagai dihisap gravitasi, tubuh Sara miring ke belakang, kepalanya nyaris terjere
Penerangan di ruangan itu redup, hanya mengandalkan lampu dinding kecil di dua sudut. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang berada di sekitar. Sara menelan ludah, ragu untuk masuk. Namun rasa ingin tahunya menang. Langkahnya diayun perlahan seiring daun pintu berderit. Suasana gelap memaksa Sara meraba dinding, mencari saklar. Ketika cahaya lampu menerangi sekitar, Sara membelalak. Ruangan itu diisi beberapa alat musik. Ada gitar klasik, grand piano, biola, juga ada buku partitur dan lemari kaca besar berisi beragam piala dan piagam. Sara berkeliling. Tangannya menyentuh perlahan pintu kaca yang melapisi beragam piala. Dibacanya sebuah ukiran teks pada salah satu piala yang ukurannya paling besar dan elegan. Juara satu kompetisi piano Internasional. Vincent Suryadinata. Senyum Sara mengembang tipis. Tak disangka Vincent menyukai musik. Sara pun begitu. Hanya saja, impian dan minat itu harus padam sejak Sara meninggalkan rumahnya yang dijual, lalu pindah dan hidup ber
Langit sudah gelap saat Sara berjalan keluar menuju balkon kamar. Udara dingin malam menusuk kulitnya yang terbalut gaun malam berlapis kimono panjang.Terbayang kalimat dokter saat siang tadi dia temui setelah waktu jenguknya habis.“Secara garis besar, perkembangan kondisi pasien cukup baik. Jika progresnya terus sebaik ini, sepertinya paling cepat malam ini sudah bisa pindah ke kamar rawat biasa. Semoga saja.”Bagai bongkahan batu besar dipindahkan dari dada, kelegaan merayapi Sara.Walau demikian, Sara yakin, ini perbuatan Deana. Entah dengan cara apa—mungkin menyuap melalui perpanjangan tangannya di dalam lingkungan internal Lapas, membuat skenario keji, hingga Papa berakhir mengalami kekerasan dari rekan satu sel. Atau mungkin dengan cara keji lainnya?Merasakan udara dingin yang kian membuatnya menggigil, Sara memutuskan kembali ke kamar. Langkahnya diayun pelan seraya menutup pintu balkon. Diliriknya jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. Sudah selarut ini dan Vince