Share

Miskin Setelah Bercerai
Miskin Setelah Bercerai
Author: Ilyas One

Ketauan

Part 1

“Kamu yakin ini tempatnya?” tanyaku pada Rama ketika mobil kami memasuki kawasan hotel. Hari ini sengaja aku menyuruh Rama yang menyetir. Karena hati yang kacau sangat tidak baik untuk mengemudikan mobil sendiri.

“Iya, aku yakin. Ini undangannya, dan hotel Fajar ini betul tempatnya,” jawab Rama memastikan. Dia memperlihatkan undangan yang berwarna putih bercorak keemasan.

Hotel ini adalah hotel bintang lima, dan ini adalah kali pertama aku menginjakkan kakiku disini. Bukan tanpa alasan aku kemari, aku ingin menyaksikan langsung pernikahan suamiku atau lebih tepatnya calon mantan suami dengan wanita pilihan Ibunya.

Ibunya Mas Robi memang tidak menyetujui pernikahan kami. Ditambah lagi hampir tiga tahun pernikahan aku belum bisa memberikan beliau cucu. Aku dan Mas Robi sudah berobat kemana-mana, dari berobat medis sampai dukun. Semuanya menjelaskan jika kami tidak memiliki masalah, hanya saja Allah belum memberikan amanahnya kepada kami.

Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Mas Robi menikah lagi tanpa meminta ijin atau persetujuan dariku. Karena yang aku tau, Mas Robi tidak akan mungkin ada uang sebanyak itu untuk menggelar pesta semewah ini. Dia pasti menggunakan uang tabungan kami untuk memenuhi hasrat Ibunya itu.

Padahal aku sudah menganggap Ibu Mas Robi seperti Ibu kandungku sendiri. Tidak ada yang aku beda-bedakan. Jika aku membeli Baju untuk Ibuku, aku juga membelikan baju yang sama untuk Ibunya Mas Robi. Jika aku membelikan gelang emas sekalipun untuk Ibu, aku juga akan membelikan hal yang sama untuk Ibu mertua.

Tapi nyatanya kebaikanku selama ini menjadi menantunya sama sekali tidak membuatnya luluh. Apa salahnya menunggu sebentar lagi hingga aku diberikan rejeki oleh Allah untuk mempunyai anak. Siapa yang ingin begini, aku juga ingin punya anak. Hanya saja mungkin belum saatnya aku menjadi Ibu. Apalagi setelah melihat sifat Mas Robi dan keluarganya kini.

Setelah menunjukkan undangan pada penjaga, kami diperbolehkan masuk. Tepat saat aku memasuki aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan, aku melihat semuanya begitu mewah. Berbanding terbalik ketika tiga tahun lalu Mas Robi menikahiku. Kami menikah hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa kerabat lainnya.

Kami menikah atas dasar cinta, hanya saja saat itu ekonomi kami masih jauh dari yang kami rasakan sekarang. Dulu Mas Robi–suamiku hanya bekerja sebagai karyawan kantoran yang gajinya hanya satu juta per bulan. Setelah menikah kami langsung pindah ke kontrakan, karena aku ingin hidup mandiri. Kontrakan petak dengan satu kamar dan satu ruang keluarga yang merangkap menjadi dapur sebagai saksi manis pahit kehidupan kami.

Tidak ada makanan mewah, tidak ada baju bagus ataupun bermerk. Kami hidup sangat sederhana, apa saat itu aku mengeluh. Tentu saja tidak, aku sangat sabar menghadapi semua situasi melarat itu.

Sampai suatu saat, setelah setahun menikah, tiba-tiba Ibu menelpon akan datang ke rumah. Aku pun menyiapkan berbagai macam menu makanan kesukaan Ibu, ini kali pertama Ibu kesini jadi aku harus buat beliau betah.

Uang yang aku pegang hanya bersisa lima puluh ribu. Tapi karena ingin menyambut kedatangan Ibu, aku menghabiskan semuanya. Semoga nanti ada rejeki lain yang Allah berikan pada kami.

Tidak mungkin aku menunjukkan pada Ibu jika aku hidup dalam kesusahan. Aku hanya tidak ingin menjadi beban pikiran Ibu. Dia memiliki riwayat sakit jantung, akan sangat berbahaya jika dia memikirkan aku yang melarat ini.

Tok tok tok

Setelah menyiapkan semuanya terdengar suara ketukan pintu dan kuyakin itu Ibu. Ternyata Ibu datang sendiri, ketika aku bertanya kenapa ayah tidak ikut, katanya ayah kurang sehat. Karena Ibu datangnya pas waktu makan siang, kami berdua pun langsung makan.

Ibu datang membawa beberapa buah-buahan, hasil kebun katanya. Ibu juga membawakan kami beras satu sak, dan juga beberapa telur asin. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat pengertian seperti Ibu dan Ayah. Mereka tidak pernah membebaniku dengan semua pertanyaan kapan aku bisa memberikan mereka cucu.

“Suamimu mana Ta?” tanya Ibu saat kami sudah duduk di meja makan. Aku menyendokkan nasi ke dalam piring Ibu yang masih kosong. Aku juga menaruh ayam rendang yang aku masak tadi. Andai saja ada Mas Robi, dia pasti makan dengan lahap. Karena aku tau jika ayam rendang ini adalah makanan kesukaannya sejak dulu.

“Mas Robi memang tidak pulang siang Bu, dia biasa bawa bekal dari rumah untuk makan siang. Kalau pulang ke rumah terlalu jauh, sayang bensin,” jawabku menjelaskan. Ibu hanya mengangguk mengerti, lalu kembali makan.

“Apa kamu bahagia, Ta?” tanya Ibu tiba-tiba yang membuatku tersedak. Ibu mengambil segelas air putih lalu menyodorkannya padaku. Dengan cepat, aku mengambilnya dan meminumnya hingga tandas.

“Kenapa tiba-tiba Ibu nanya gitu?” tanyaku balik. Tidak biasanya Ibu menanyakan hal seperti ini. Apalagi Ibu tau jika aku dan Mas Robi saling mencintai.

“Kenapa tiba-tiba Ibu nanya gitu. Aku bahagia kok, lagian Mas Robi itu juga baik sama aku,” jawabku sambil bertanya balik pada Ibu.

“Ibu penasaran aja, Ta. Ibu nggak mau anak Ibu ini hidupnya nggak bahagia. Karena sejatinya pernikahan adalah ibadah terlama. Jadi Ibu nggak mau kamu menderita seumur hidup,” jawab Ibu lagi yang membuatku semakin penasaran. Kenapa Ibu bisa sampai bicara seperti itu. Tidak biasanya dia mengutarakan isi hatinya seperti ini.

“Kenapa sih, Bu. Kok tiba-tiba gini?” tanyaku lagi pada Ibu. Rasa penasaranku meronta-ronta.

“Beberapa kali Ibu mendengar berita kalau Ibu mertua kamu ngomongin kamu. Ibu nggak suka anak Ibu digituin,” jelas Ibu yang kini membuatku mengerti kenapa Ibu sampai menanyakan hal seperti ini padaku.

“Jangan dimasukin ke hati, Bu. Aku aja nggak papa. Asalkan bukan Mas Robi yang gitu. Selama ini Mas Robi tetap baik sama aku, bahkan Mas Robi melarang Ibu dan Kakaknya untuk bertamu. Katanya dia nggak mau aku ribut sama mereka.” Aku berusaha menjelaskan pada Ibu jika hidupku baik-baik saja setelah menikah dengan Mas Robi. Aku tidak ingin membuat Ibu punya banyak beban pikiran.

“Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kalian langgeng, dan secepatnya diberikan keturunan. Biar Ibu mertua kamu nggak selalu nyebut kamu mandul,” jawab Ibu sambil menghabiskan makanannya.

Selesai makan, aku menyuruh Ibu untuk istirahat. Tapi Ibu menolak karena ingin langsung pulang katanya.

“Jangan langsung pulang, Bu. Aku masih kangen,” rengekku pada Ibu sambil memeluknya. Aku sangat merindukan sosok yang selalu membuatku kuat menghadapi dunia yang kejam ini.

“Nggak bisa, Ayahmu sedang sakit di rumah. Kasihan kalau ditinggal lama-lama,” sahut Ibu yang membuatku kecewa. Tapi aku juga tidak boleh egois, Ayah juga membutuhkan Ibu di rumah. Apalagi saat ini kondisi Ayah sedang tidak sehat.

“Jadi ibu kesini ingin ngasih kamu ini,” kata Ibu sambil menyodorkan amplop berwarna coklat.

“Apa ini Bu?” tanyaku seraya menerimanya dengan kedua tangan. Amplop coklat ini sangat tipis, tidak mungkinkan Ibu memberikan aku uang. Karena Ibu saja aku yakin tidak punya uang lebih.

“Itu cek, disitu ada uang yang Ibu rasa cukup untuk kamu dan suamimu membuka usaha atau perusahaan sendiri,” jawab Ibu sambil tersenyum dan kemudian memelukku.

Jawaban ibu betul-betul membuat aku tercengang. Dari Mana ibu mendapatkan uang sebanyak ini, sedangkan pekerjaan ibu dan ayah hanya petani.

“Ibu dapat darimana uang sebanyak ini?” aku semakin terkejut saat melihat berapa nominal uang yang tertulis di kertas tipis ini. Bahkan aku seperti bermimpi untuk bisa membuka usaha sendiri.

“Ini hasil Ibu dan Ayah jual tanah, kebetulan tanah kita dibeli dengan harga yang sangat tinggi karena akan digunakan sebagai jalan tol.” Ibu menjelaskan masih dengan wajah sumringah.

“Terimakasih banyak, Bu. Aku akan pergunakan uang ini sebaik-baiknya,” ucapku tulus sambil memeluk Ibu erat.

Dan dari situ aku dan Mas Robi membuka usaha di bidang kuliner. Aku dan suami sama-sama memiliki hobi memasak, jadi kami berpikir akan cocok memulai suatu usaha yang dibarengi dengan hobi.

“Talita,” Rama menepuk bahuku.

Aku tersentak dari lamunan panjang, rasanya ini seperti mimpi. Aku seakan tak percaya dengan semua ini, Mas Robi tega mengkhianati kepercayaan dan pernikahan kami. Aku menengadah ke atas, tak ingin air mata ini jatuh di depan mereka.

**

Disana kulihat pria yang sudah menikahiku selama tiga tahun berdiri berdampingan dengan wanita lain. Mereka begitu bahagia dengan pernikahan mewah ini, sepertinya mereka sudah melakukan ijab kabul tadi. Aku mengambil gawai untuk mengabadikan momen penting ini, setidaknya aku harus memiliki barang bukti jika mas Robi selingkuh.

“Ayo Rama, kita berikan selamat untuk mereka,” aku mengamit lengan Rama untuk naik ke atas panggung yang mewah ini.

Saat aku berada di tengah-tengah antrian para tamu yang ingin memberikan selamat kepada pengantin, Ibu Mas Robi melihatku. Matanya membulat sempurna, aku membalasnya dengan senyuman dan tidak lupa mengarahkan ponsel ke arah Ibu untuk mengabadikan momen ini.

Sungguh, keluarga yang tidak tau berterima kasih. Bahkan adiknya Mas Robi kuliah di universitas ternama dengan biaya dari kami, aku bahkan membelikan Ibu mertua rumah mewah agar mereka nyaman.

Rumah mewah yang harganya saja hampir sama dengan harga rumah yang aku tempati sekarang dengan Mas Robi. Seharusnya mereka bersyukur memiliki menantu sepertiku. Aku sama sekali tidak perhitungan masalah uang, padahal Ibu mertua sama sekali tidak membantu ketika kami berada di bawah.

Dia malah sering menghujatku pada tetangga sekitar. Mengataiku wanita mandul dan tidak bisa memberikannya cucu.

Ibu yang shock segera berlari ke atas panggung, aku yakin dia berencana memberitahu Mas Robi jika aku ada disini. Tapi sayang, Ibu terlambat untuk itu. Aku sudah tepat berada di depan Mas Robi dan istri keduanya itu.

“Selamat ya Mas, semoga pernikahanmu kali ini bisa langgeng sampai kakek nenek,” ucapku memberi selamat kepada Mas Robi.

Mata Mas Robi melotot seperti ingin keluar dari sarangnya, bahkan tangannya gemetar saat berjabat tangan denganku. Aku yakin sekarang dia bahkan tidak bisa bernafas dengan baik. Buktinya wajahnya sangat pucat. Tangannya dingin, seperti mayat yang mati karena tenggelam.

“Talita, aku bisa beri kamu penjelasan kenapa aku menikah lagi.” Mas Robi gelagapan. Dia bahkan tidak mau melepaskan tangan ku, saat ini semua mata tertuju pada kami. Bahkan ada yang diam-diam memvideokan adegan ini.

Istri Mas Robi kelihatannya menahan amarah, mukanya yang semula selalu menebarkan senyuman sekarang berganti dengan wajah tegang. Dia pikir setelah menikah dengan Mas Robi hidupnya akan bahagia. Tentu saja tidak, aku yang memegang semua kendali atas harta yang kami miliki.

“Kamu tau resikonya kan Mas jika ada salah satu dari kita yang selingkuh?” Aku tersenyum penuh kemenangan saat ini. Walaupun hatiku remuk redam tapi aku sangat puas melihat wajah tegang Mas Robi dan Ibu mertua.

“Apa maksud dari omongan mu itu Talita!” Ibu berdiri tepat disamping anaknya. Dia sepertinya takut jika aku akan memakan anaknya hidup-hidup. Aku tertawa dalam hati melihat tingkah mereka.

“Ibu bisa tanyakan langsung pada anak kesayangan ibu ini,” aku tersenyum licik.

“Jawab pertanyaan Ibu Robi, apa maksud istrimu ini?” Kini Ibu memegang bahu mas Robi dengan sedikit menggoncangkan. Menyadarkan Mas Robi dari ketakutannya terhadap ancamanku barusan.

“Aku nggak tau Bu, Ibu tenang saja. Talita pasti bisa menerima ini, Robi akan menjelaskan pada dia nanti dirumah.” Mas Robi sepertinya sangat takut jika Ibunya tau yang sebenarnya. Seandainya Ibu mertua tau jika harta yang sedang dinikmati sekarang ini akan segera aku cabut. Aku yakin pasti Ibu akan pingsan sekarang.

“Tidak perlu Mas, setelah ini kamu tidak boleh menginjakkan kaki lagi dirumah,” aku menyela percakapan mereka. Aku sungguh muak melihat adegan ini.

“Kamu nggak bisa dong mengusir suami kamu dari rumahnya sendiri, walau bagaimanapun Robi sudah susah payah membangun usaha kalian dari nol,” marah Ibu memasang badan membela anak lelaki kesayangannya. Tapi tentu saja semuanya sudah terlambat. Hatiku sudah terlanjur sakit menerima semua perlakukan buruk mereka. Selama ini mungkin aku bisa bertahan dalam rumah tangga ini. Tapi jika Mas Robi sudah berani membagi hati, aku tidak akan tinggal diam.

“Sudah kukatakan, anakmu akan menjelaskan semuanya,” ucapku pada Ibu. Hilang sudah hormatku pada Ibu mertua. Jika dulu aku sangat menghormatinya, tidak dengan sekarang. Aku bahkan tidak rela jika harus memanggilnya Ibu.

“Dasar wanita mandul, giliran suami nikah lagi marah-marah. Makanya ngasih anak dong biar suami betah di rumah,” aku mengalihkan pandanganku pada Kak Mira. Dia adalah kakak Mas Robi, dari dulu dia memang sama dengan Ibu. Tidak menyukaiku sama sekali. Padahal kebutuhan dia dan anaknya aku yang penuhi. Padahal kami sama-sama wanita, tapi dia sama sekali tidak menjaga perasaanku.

“Asal kamu tau ya Talita, Robi akan mempunyai anak dari Nia. Dan semua harta gono-gini akan diwariskan semua pada anaknya,” lanjut kak Mira, ternyata nama perempuan itu Nia. Wanita yang baru saja dinikahi oleh Mas Robi itu tersenyum mendengar penuturan Kak Mira. Dasar ulat bulu. Mungkin kali ini aku kalah cepat, tapi setelah ini aku pastikan memberi sedikit pelajaran kepada mereka.

“Oh ya? Bagaimana bisa anak seorang pelakor bisa menjadi ahli waris. Sedangkan keberadaan dia saja tidak diakui oleh negara, asal kalian tau anak dari pernikahan siri adalah anak yang tidak mempunyai data negara,” ucap Rama kemudian. Jawaban Rama mampu membungkam mulut keluarga mereka. Termasuk gundik suamiku, wajahnya pias dan pucat. Setelah ini kita lihat siapa yang akan menangis darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status