Share

Perjanjian

Part 2

“Oh ya? Bagaimana bisa anak seorang pelakor bisa menjadi ahli waris. Sedangkan keberadaan dia saja tidak diakui oleh negara, asal kalian tau anak dari pernikahan siri adalah anak yang tidak mempunyai data negara,” ucap Rama kemudian. Jawaban Rama mampu membungkam mulut keluarga mereka. Termasuk gundik suamiku, wajahnya pias dan pucat. Setelah ini kita lihat siapa yang akan menangis darah.

*****

Tidak pernah kubayangkan sebelumnya pernikahan yang selalu kujaga berakhir seperti ini. Aku tidak menyangka Mas Robi tega mengingkari janji suci kami, dulu dia adalah lelaki yang setia. Kami pacaran hampir 5 tahun, tidak pernah sekalipun dia berkhianat atau sekedar berkenalan dengan wanita lain. Dia fokus mencari uang untuk keluarganya dan untuk menikahi ku. Sungguh ini bagai badai yang menerjang ulu hati, rasanya sesak sekali. Andai aku bisa punya anak, mungkin pernikahan kami bisa di selamatkan. Setidaknya ibu akan menyayangi cucunya walaupun aku tak pernah di anggap.

Benar kata pepatah, wanita diuji dengan kemiskinan tetapi lelaki diuji dengan kekayaan. Setelah kami mencapai semua ini, sifat Mas Robi memang sedikit berubah. Dia sering pulang kerumah Ibunya untuk sekedar makan siang daripada pulang kerumah untuk makan bersamaku. Aku yang tidak terlalu memperhatikan sikapnya, karena aku berpikir wajar mungkin Mas Robi ingin makan masakan Ibunya.

“Kamu nggak papa Ta?” tanya Rama saat kami sudah berada di dalam mobil. Aku mengusap sedikit air yang masih menggenang di mata. Bohong jika aku mengatakan baik-baik saja. Buktinya saja sekarang aku sudah menangis.

“Aku nggak tau Ram, jalan pikiran ku buntu,” jawabku dengan suara sedikit serak. Aku memejamkan mata untuk sekedar merilekskan pikiran. Memikirkan semua yang terjadi secara tiba-tiba. Sekarang apa yang harus aku lakukan, tindakan apa yang harus aku ambil agar mereka jera. Yang jelas aku harus membuat Mas Robi menyesal sudah memilih menduakan aku. Demi menuruti keinginan Ibunya yang egois.

“Sekarang lebih baik kamu pulang saja ke rumah, biar kamu bisa istirahat,”saran Rama padaku. Rama benar, aku harus tetap waras sekarang. Aku akan membalas semua perbuatan mereka, terutama pada Ibu mertua. Dia bahkan dengan tega mencari wanita lain untuk Mas Robi. Tapi jika aku telat bertindak, bisa-bisa Mas Robi akan dipengaruhi lagi oleh keluarganya untuk mengambil semua harta kami. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam keterpurukan ini.

“Tidak Rama, sekarang saatnya kamu mengerjakan semua yang tadi aku bilang,” tegasku pada Rama. Aku memang menyuruh Rama untuk mengalihkan semua aset atas namaku. Kemarin sebelum Mas Robi yang katanya akan menginap dirumah Ibunya yang ternyata akan menikah lagi, aku sempat meminta tanda tangannya. Dia yang terburu-buru tidak lagi membaca isi surat tersebut. Aku memang sudah menyiapkan semuanya dari sebulan yang lalu, semuanya terungkap ketika aku tidak sengaja membaca pesan di grup keluarga Mas Robi.

Ketika itu Mas Robi tidak sengaja menyimpan ponselnya di atas tempat tidur. Karena dia terburu-buru untuk ke kamar mandi. Karena saat itu aku sudah mencurigai Mas Robi. Akhirnya aku memeriksa ponselnya yang memang tidak menggunakan sandi.

“Sebaiknya sekarang kamu mengganti pin ATM dan memblokir kartu kredit yang di digunakan Robi, aku yakin setelah itu dia akan mencari kamu,” ucap Rama lagi. Aku hanya menganggukkan kepala paham. Jelas Mas Robi akan mencariku, karena dia tidak bisa lagi mengakses semua uang tabungan kami.

Aku sungguh tidak rela jika wanita jalang itu yang akan menerima uang hasil jerih payah kami berdua selama ini. Jika dia memang tulus mencintai Mas Robi. Maka dia tidak akan keberatan untuk menemani Mas Robi kembali berjuang dari nol.

Biar Ibu dan Kak Mira juga sadar, jika tanpa uang dariku selama ini. Mereka tidak akan bisa hidup mewah seperti sekarang. Dasar manusia tidak tau berterimakasih.

“Itu sudah kulakukan dari tadi,” jawabku. Aku memang sudah melakukan tugas itu dari tadi pagi. Makanya aku telat untuk datang ke acara pernikahan Mas Robi.

“Kalau masalah uang aja cepat kamu ya,” gurau Rama yang bisa membuat hatiku sedikit lebih tenang. Untung saja ada Rama yang membantuku, dia juga akan menjadi pengacara untuk proses perceraianku dan Mas Robi.

“Iya dong, walau bagaimanapun aku kan bendaharanya Mas Robi.” Aku memang sudah mengganti semua pin ATM Mas Robi. Sebaiknya sekarang aku menelpon mang Asep satpam dirumah, aku akan menyuruhnya mengunci pintu gerbang.

Aku mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Kemudia mengusap layar yang tadinya hitam kemudian bercahaya menampakkan fotoku dilayar. Kucari nomor kontak Mang Asep, aku harus segera menghubunginya, sebelum Mas Robi pulang ke rumah.

“Halo mang Asep, saya sepertinya akan pulang ke rumah Ibu untuk beberapa hari jadi tolong semua pintu mamang kunci ya. Termasuk pintu gerbang, jangan biarkan ada orang yang masuk jika bukan saya walaupun itu Bapak,” aku memberi instruksi kepada mang Asep.

“Baik Bu.” Jawab mang Asep.

Setelah itu aku langsung mematikan sambungan telepon. Kemudian kembali menyimpan ponsel ke dalam tas mungil yang harganya sangat mahal. Tentu saja aku harus menikmati hidup dari uangku sendiri. Daripada harus habis untuk mereka yang mengkhianatiku.

“Sebaiknya antar aku ke hotel, dan kamu boleh pulang.” Aku menyuruh Rama mengantarkan aku ke hotel. Tidak mungkin aku pulang ke rumah dalam keadaan kalut seperti ini.

Apalagi jika sampai Mas Robi membawa pulang limbah sampah itu. Rumahku akan terasa pengap dengan kehadiran mereka. Sungguh rasa cinta yang dulu bersemi, sekarang menjadi benci yang teramat sangat.

**

Setelah sampai di hotel aku langsung membersihkan diri dan beristirahat. Namun saat sedang tidur ponselku bergetar, dan ternyata Mas Robi yang menelpon. Aku mengabaikannya dan kembali memejamkan mata, mungkin dia bingung kenapa tidak bisa masuk kerumahnya sendiri. Baru akan tertidur, ponselku kembali bergetar.

Karena merasa terganggu, akhirnya aku memutuskan untuk menerima panggilan dari Mas Robi. Aku juga penasaran bagaimana nasibnya sekarang tanpa uang dan rumah.

“Halo Talita, kamu dimana,” tanya Mas Robi saat panggilan telepon sudah terhubung. Dari nada suaranya, aku tahu dia sedang kalut. Bagiamana tidak kalut, uangnya sudah tidak bisa diakses lagi. Jangankan untuk menyenangkan gundiknya. Untuk sekedar mengenyangkan perut saja mungkin sudah tidak ada lagi.

“Aku di hotel, Mas. Kenapa?” tanyaku malas. Mendengar suaranya saja sudah membuatku semakin benci. Apalagi jika membayangkan Mas Robi menjamah tubuh wanita lain.

“Mas mau ketemu ya. Mas udah pulang tapi kata mang Asep kamu nginap dirumah Ibu,” jawab Mas Robi. Benar tebakanku dan Rama tadi siang. Dia pasti akan menghubungiku setelah ini. Sebaiknya aku menemui mereka, aku juga ada sedikit kejutan untuk adik madu.

“Baiklah, kita bertemu di restoran hotel ini aja. Akan kukirimkan alamat hotelnya,” jawabku lalu memutuskan sambungan telepon sepihak. Sudah muak aku mendengar suaranya yang sangat menyebalkan itu.

Setelah sambungan telepon terputus, aku termenung seorang diri. Kenapa dulu saat kami miskin dan tidak punya apa-apa Mas Robi sangat manis. Apa kurangnya aku sehingga dia memutuskan untuk menikah lagi. Jika dia menginginkan seorang anak, aku juga ingin. Hanya saja, Tuhan belum mengijinkan kami memiliki keturunan. Tapi bukankah itu bukan salahku.

Bagaimana perasaan Ibu dan Ayah nanti jika tau Mas Robi sudah menikah lagi. Mereka pasti sangat terpukul. Tapi aku tidak boleh menceritakan semuanya pada mereka dulu. Ibu sedang dalam perawatan kesembuhan. Jadi Ibu tidak boleh banyak masalah.

*

Jam tujuh malam aku bersiap-siap keluar bertemu dengan Mas Robi, dia menelpon katanya sudah menunggu di bawah. Aku penasaran mendengar semua penjelasan darinya. Aku memakai baju bewarna biru muda, dengan rambut aku gerai. Sekilas, aku memikirkan jika cantik dan baik saja tidak bisa membuat Mas Robi setia. Lantas untuk apa pernikahan ini masih aku pertahankan.

Saat sudah di dalam restoran, aku melihat Mas Robi datang berdua dengan istri barunya. Melihat kedatanganku, mereka yang awalnya duduk berdekatan agak menjaga jarak.

Kemudian aku duduk di kursi menghadap Mas Robi, wanita itu benar-benar tidak mau pindah dari sisi Mas Robi.

“Mau ngomong apa, Mas?” tanyaku datar. Aku sungguh tidak ingin lama-lama disini, melihat mereka saja aku sudah cukup muak. Rasanya ingin aku menjambak rambut wanita itu dengan kuat. Kemudian memasukkan sambal ke mulutnya itu.

“Kamu mau pesan apa? Sudah makan?” tanya Mas Robi sok perhatian. Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan darinya.

“Nggak usah basa-basi, Mas. Langsung saja ke intinya. Aku terlalu sibuk jika hanya bertemu kalian,” jawabku mengejek. Kulihat wanita itu sedikit mencebikkan mulutnya mendengar penuturanku barusan. Tenang, Nia. Sebentar lagi kamu akan menangis.

“Mas mau menjelaskan Ta, kalau Mas menikah lagi bukan bermaksud untuk menghianati pernikahan kita. Tapi Mas hanya ingin punya keturunan, Mas ingin menggendong bayi, mengajak dia bermain dan Mas ingin menjadi seorang ayah,” ujar Mas Robi dengan penjelasan yang membuat hatiku semakin panas. Apa dia pikir jika dia saja yang menginginkan anak, aku juga menginginkannya. Aku ingin seperti wanita lain, yang bisa merasakan hamil, merasakan mual dan ngidam, merasakan melahirkan dan menjadi wanita yang sempurna. Aku meremas baju menahan amarah, aku tidak akan marah-marah disini. Aku tidak ingin terkenal dengan cara videoku viral di media sosial.

“Apa kamu pikir aku tidak ingin punya anak? Apa kamu pikir aku tidak ingin menggendong bayi, aku juga ingin. Jika kamu menikah lagi untuk sekedar ingin punya anak, maka aku akan melakukan hal yang sama. Maka mulai sekarang lebih baik Mas jatuhkan talak untukku,” aku sungguh puas sudah mengeluarkan semua uneg-uneg. Mas Robi terkejut mendengar aku meminta cerai darinya. Ada raut khawatir di wajah itu, berbanding terbalik dengan wanita jalang itu. Dia malah tersenyum mendengar aku meminta cerai.

“Tidak Talita, sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan kamu. Aku mencintaimu hanya saja aku menginginkan seorang anak,” mohon Mas Robi mengiba. Sungguh egois kamu Mas, kamu bisa dengan bebasnya menyuruhku ikhlas dan menerima semuanya. Tapi kamu sendiri tidak mau menerima kehilangan.

Wajah istri barunya merah menahan marah, aku yakin dia tersinggung atas perkataan Mas Robi. Aku akan mengambil kesempatan ini untuk membalaskan sakit hatiku.

“Kamu dengar itu kan Nia, Mas Robi menikahi kamu hanya untuk mempunyai seorang anak. Mungkin lebih tepatnya mesin pembuat anak,” ejekkku yang semakin membuat wajah Nia memerah. Aku sungguh puas melihat wanita itu marah.

Kini bukan hanya wajah wanita itu yang memerah, wajah Mas Robi pun sekarang panik karena Nia marah.

“Apa benar itu Mas,” tanya wanita itu penuh penekanan. Dia menatap Mas Robi dengan tatapan tajam. Aku hanya bisa tertawa melihat mereka bertengkar seperti ini.

“Tentu saja benar, apa gunanya menjadi istri tapi yang kedua. Apa juga gunanya punya anak nanti tapi tidak punya nama Ayahnya di akta kelahiran,”sahutku menyela.

“Menjadi yang kedua itu tidak enak, Nia. Seharusnya kamu tau konsekuensi jika merebut milik orang lain. Untuk harta saja, kamu tidak hak menerimanya. Ingat, Nia. Jika anak kamu lahir, dia tidak akan menerima sepeserpun warisan dari Ayahnya ini,” lanjutku lagi sambil tersenyum sinis.

“Kamu jangan ngomong gitu Talita, aku akan menikahi Nia secara resmi jika nanti kami sudah punya anak,” bela Mas Robi, dia bahkan tidak segan-segan memegang tangan wanita itu dengan begitu lembut di hadapanku.

“Coba jelaskan Mas, bagaimana caranya kamu menjadikan dia istri sah jika aku tidak menyetujuinya?” tanyaku pada laki-laki yang sudah menikahiku selama tiga tahun ini. Telak, aku bisa melihat ekspresi bingung Mas Robi. Jangan main-main sama Talita, Mas. Aku bisa lebih garang dari preman di pasar sana.

“Sekarang kamu harus memilih Mas, kamu pilih aku atau istrimu yang mandul ini,” tanya Nia. Emosi wanita ini ternyata benar-benar tidak bisa dikontrol. Bahkan di tempat umum seperti ini dia berani mengataiku yang notabene istri sah, sedangkan dia adalah perebut suami orang. Mendengar pertanyaan Nia Mas Robi benar-benar dibuat bingung, lihat Mas belum sehari kamu punya istri dua kamu sudah pusing tujuh keliling.

“Jangan bertindak gegabah Mas, kamu masih ingat kan perjanjian pra nikah kita. Kita berjanji akan selalu setia satu sama lain, dan jika ada yang berkhianat maka dia tidak akan mendapatkan apapun setelah bercerai,” sahutku saat Mas Robi terlihat bingung dengan pertanyaan dari Nia. Aku mengingatkan Mas Robi tentang poin penting perjanjian pra nikah kami dulu.

“Talita, Mas mohon kamu jangan begini. Kamu jangan egois, Mas hanya ingin punya keturunan. Tolong kamu terima Nia sebagai adik madu, Mas hanya ingin keluarga kita bahagia,” mohon Mas Robi. Egois katanya, siapa sebenarnya yang egois disini. Bahkan dia menikah lagi tanpa memberitahuku, andai Rama tidak mengatakannya padaku tentu saja saat ini aku masih berpikir jika Mas Robi belum menikah lagi.

Tapi tentu saja keadaan ini bisa aku buat sebagai kesempatan untuk membalas mereka berdua. Ide yang dari tadi terlintas di pikiranku seketika membuat senyumku merekah.

“Baiklah, aku akan menerima wanita ini sebagai adik madu tapi ada syaratnya,” ujarku lagi. Sepertinya aku ada rencana yang lebih menyenangkan dari mengambil semua aset berharga.

“Apapun itu,” jawab Mas Robi cepat. Senyum Mas Robi mengembang. Jangan senang dulu Mas, kamu bahkan belum mendengar apa syaratnya. Rasanya aku ingin sekali mengabadikan momen saat wanita ini mendengarkan syarat dariku.

“Ada dua syarat, yang pertama kamu tidak boleh lagi memberikan uang atau apapun itu kepada Ibu dan keluargamu tanpa persetujuan ku. Karena mulai saat ini semua keuangan aku yang akan mengaturnya.”

Mas Robi terlihat berpikir sebentar, namun kemudian kembali mengangguk pasrah.

“Dan yang kedua, wanita ini akan tinggal bersama-sama dengan kita tapi dia akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa pembantu,” lanjutku lagi dengan mengatakan syarat yang kedua. Aku tersenyum sinis melirik ke arah wanita sundal ini.

Wajahnya tegang seperti sedang menonton film horor. Ini baru permulaan, Nia. Jika kamu berpikir akan hidup senang dan bergelimang harta sesudah menikah dengan suamiku. Kamu salah besar, kamu malah akan semakin menderita setelah ini. Aku pastikan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status