LOGIN"Tidak apa-apa. Ayo kita jalan lagi, nanti keburu sore," ajakku pada Nur.
***Siang hari, matahari sangat terik. Aku dan Nur telah sampai di makam Bulan. Di makam itu ditanami tumbuhan yang menghasilkan bunga yang mulai bermekaran.Nur segera mencabut rumput liar yang bersatu dengan tanaman itu. Kata Nur, dia dan keluarganya sangat berhutang budi pada Mbah Atmo dan Bi Sari. Mereka sering membantu orangtua Nur yang sering kali mengalami gagal panen. Karena itu, Nur sering datang ke rumah Mbah Atmo dan Bi Sari hanya untuk sekedar membantu membereskan rumah atau untuk menjaga rumah di saat mereka tak ada di rumah.Setelah selesai mencabut rumput liar, aku dan Nur mulai berdoa di makam Bulan. Aku sesekali melihat ke sekitarku, rupanya banyak pasang mata yang mengawasiku dari jauh.Aku mencoba tenang, Nur pasti sangat takut bila aku memberitahunya."Aldi ... sepertinya, mereka semua menyukaimu," bisik Nana padaku.Aku mencoba fokus pada hafalanku. Tapi, tubuhku tak bisa berhenti bergetar."Aldi ... pergilan dari sini. Mereka terlihat memiliki niat jahat padamu," bisik Nana sekali lagi."Diamlah," jawabku.Nur melihat ke arahku dengan heran, "Apa Kakak bicara sesuatu?""Hmm ... tidak. Lanjutkan saja berdoanya."Aku mencoba tak menghiraukan mereka. Walaupun dalam hatiku, aku sangat ketakutan.Setelah menyiram air dan menabur bunga, kami berpamitan pada Bulan. Aku sengaja tak melihat ke arah mereka yang mengawasiku. Aku takut bila mereka tahu aku bisa melihat mereka, mereka akan mulai menggangguku.***Hari mulai petang, aku bergegas pulang agar Bi Sari tidak khawatir. Aku berpisah dengan Nur di persimpangan jalan menuju rumah Bi Sari. Nur terlihat melambaikan tangannya padaku dari jauh, dia tersenyum dan berbalik pergi.Aku berjalan sekitar lima menit dari persimpangan tadi. Aku kembali melihat Ki Demang di depan rumahnya. Sepertinya, Ki Demang tengah menungguku.Aku berinisiatif berpura-pura tak melihatnya, agar Ki Demang tak menggangguku lagi."Kau tidak perlu berpura-pura tak melihatku, anak muda," ucap Ki Demang.Tanpa memedulikannya, aku terus berjalan menuju rumah Bi Sari.Tiba-tiba Ki Demang sudah berdiri tegak di hadapanku. Dia membawa tongkat kayu dan menodongkannya ke arah wajahku.Tak!
Nana dengan sigap melindungiku, dia langsung menepis tongkat itu dan melemparnya jauh."Teman kecilmu ini cukup hebat rupanya." Ki Demang kembali tersenyum."Aku hanya ingin memperingatkanmu. Jangan pernah berurusan dengan makhluk penghuni desa ini. Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidupmu."Ki Demang tiba-tiba menghilang, menyisakan aroma khas yang menyengat dari kayu bakar yang telah menjadi arang.***Sesampainya di rumah, aku segera memberitahukan kejadian yang aku alami pada Mbah Atmo dan Bi Sari."Mereka akan terus mengganggumu. Karena mereka tahu kau bisa melihat mereka. Saran Mbah, jangan sesekali berurusan dengan mereka. Saat berpapasan, berpura-puralah seperti tak melihat mereka," ucap Mbah Atmo padaku.Otakku tak dapat mencerna, ini masih sangat janggal di pikiranku. Mbah Atmo bilang, beliau tidak tahu pasti kenapa aku sangat disenangi oleh mereka. Yang pasti, mereka seperti menginginkan sesuatu dariku yang Mbah Atmo saja tidak tahu pastinya.Aku kemudian berbaring di kamarku, sejenak berpikir tentang kejadian janggal yang aku alami akhir-akhir ini."Kau hanya perlu menghidari mereka," celetuk seorang gadis di sampingku.Aku terperanjat, segera aku bangun dari kasurku.Aku melihat Bulan sedang duduk di jendela yang sengaja aku buka. Jendela itu menghadap ke ladang warga yang sudah mulai terlihat sangat gelap."B-Bulan ...."Aku berjalan setengah berlari menelusuri jalan setapak yang melewati kebun teh siang itu. Dari kejauhan tidak terlihat asap yang biasa mengepul dari rumah tua itu. Ya, rumah Mbok Sum itu setiap saat selalu mengeluarkan asap tipis dari tungku. Mbok Sum bilang, dia ingin rumah itu selalu hangat walau dia tinggal sendiri. Aku semakin bergegas meninggalkan Aiden jauh di belakangku. "Mbok! Mbok Sum!" teriakku, setelah sampai di depan rumah Jaka. Kulihat pintu rumah itu sedikit terbuka. Aku dan Aiden pun memaksa masuk. "Mbok Sum ... apa Mbok ada di dalam?" Tak ada jawaban. "Mbok! " Aku pun segera berlari saat melihat Mbok Sum yang tengah berbaring di kamar dengan gorden setengah terbuka. Nafasnya terdengar lemah, badannya dingin. Sepertinya sudah beberapa hari Mbok Sum terbaring. "Mbok ..., ini Janis. Janis sudah datang, Mbok!" ucapku sembari menitikan air mata. "Maafkan Janis, ya, Mbok." Aiden yang berada di sampingku pun berbisik, "Siapa dia, Janis?" Aku menyek
Kring!! Suara telpon yang berdering memecah kesunyian sore ini di rumahku. "Mbok, ada telpon!" teriakku tak sadar. "Astaga! Apa yang aku lakukan?" Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur dan meraih gagang telpon. "Halo," sapaku saat memulai obrolan. "Janis, apa kau baik-baik saja? Kudengar kau sakit. Apa sudah membaik?" Suara Aiden yang khas itu terdengar gelisah. "Ya. Aku baik," jawabku singkat. "Syukurlah. Aku sangat khawatir." "Besok pagi aku akan datang ke rumahmu, tunggulah aku!" "Tut ... tut ... tut ...!!" "Hei!" Aiden sepertinya buru-buru menutup telpon. Mungkin dia takut aku akan menolah kedatangannya lagi. Tapi, dari mana Aiden tahu kalau aku sakit? Apakah Kak Bagas atau Ibu yang memberitahu? *** "Kau bermimpi tubuhku dipenuhi belatung?" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Kak Bagas. Ya, mimpi itu sudah berkali-kali aku alami. Setiap malam menjelang subuh, perasaan takut itu terus muncul. "Kau tahu dari mana asal belatung itu?" tanya Kak
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh







