"Sudahlah, Han, jangan banyak bicara, aku sudah tahu semuanya.” Bian kembali menukas, bersikap seakan-akan ia tidak termakan sandiwara Hania. Ia berdiri dan akhirnya meninggalkan Hania. “Dasar perempuan munafik.”
Setelah peristiwa itu, hari demi hari berlalu. Namun, sikap Bian padanya justru makin dingin..Pria itu memang tidak menceraikan Hania, tapi sikapnya yang dingin dan tidak peduli, serta secara berkala mengingatkan Hania bahwa wanita itu sudah mengkhianati pernikahan mereka yang belum lama tersebut. Bian juga sama sekali tidak mengacuhkan Hania saat wanita itu menunjukkan tanda-tanda kurang nyaman karena gejala kehamilannya. Hania bisa bertahan, sekalipun memang merasa tersiksa. Hingga akhirnya siang ini, ayah mertua Hania datang, mengatakan bahwa beliau sudah mendengar kabar Hania hamil dari Keysa dan berniat mengeceknya sendiri. Tanpa tahu kalau Keysa sengaja melakukannya untuk mendesak Bian untuk menceraikan kakak iparnya tersebut. “Papa dengar Hania hamil,” ucap Pak Haris, ayah mertua Hania, dengan senyum terkembang. “Selamat ya Bian. Tapi … kenapa kamu tampak seperti tidak suka?” Bian mendengus. Kemarahannya belum selesai dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Hawa dingin dari AC pun tidak bisa mendinginkan hati Bian yang panas. "Jelas, Pah,” balas Bian. “Hania bukan mengandung anakku, tapi anak dari laki-laki lain." Seketika ekspresi Pak Haris berubah. Senyumnya sirna, digantikan dengan raut wajah terkejut dan tak percaya. “Apa maksudmu? Kenapa kamu bisa mengatakan itu?” tanya sang ayah. Beliau heran, dari mana putranya itu yakin bahwa Hania bukan mengandung anaknya. “Hania itu perempuan baik-baik, Bian.” Bian mendengus. "Papa salah,” sanggahnya. “Papa tertipu dengan penampilan berjilbabnya itu.” “Apakah kamu mengatakan itu agar kamu bisa bercerai dengan Hania?” tanya Pak Haris. “Papa tahu sendiri Hania itu wanita salehah dan–” “Wanita salehah tidak mungkin bisa hamil saat suaminya tidak pernah menyentuhnya sejak menikah!” Pak Haris kembali melebarkan mata, tak menyangka dengan apa yang ia dengar. "Lalu, apa Papa masih mau memaksaku? Dengan menarik semua fasilitas jika aku menceraikan Hania?" tanya Bian menatap sang ayah dengan tajam. Belum saja Pak Haris menjawab, Hania muncul di ambang pintu membawa minum dan camilan. "Hania," panggil Pak Haris, langsung menatap pada menantunya. “Kemarilah.” Hania mendekat. "Apa benar yang dikatakan Bian?” tanya Pak Haris. “Kamu hamil anak laki-laki lain?” Hania menunduk, tak sanggup berkata-kata. "Hania, siapa ayah dari janin dalam rahimmu itu? Kamu mengkhianati suamimu?" Hania segera menggelengkan kepala cepat. "Tidak, Pah, aku tidak pernah melakukan hal itu," ucap Hania, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku tidak pernah berkhianat, apalagi sampai berzina dengan laki-laki lain. Aku tidak seperti itu!" Air mata menganak sungai di pelupuk matanya, tapi ia berusaha menahannya. Kepalanya terasa berputar. “Lalu kenapa Bian mengatakan hal sebaliknya?” Pak Haris tampak kecewa. “Apakah sebenarnya kamu tidak hamil? Atau bagaimana?” “Dia benar hamil,” ucap Bian sembari menyerahkan hasil tes Hania. “Tapi jelas bukan denganku. Papa tanyalah ke menantu Papa itu, dengan siapa dia berselingkuh.” “Aku tidak berselingkuh, Mas ….” “Kamu pikir kita semua bodoh, Han?” sergah Bian. “Sudahlah, mengaku saja sekarang. Mumpung ada Papa juga.” Hania terbelalak. Ia sudah mencoba menjelaskan berkali-kali ke Bian, mencoba meyakinkan pria itu tentang kebingungannya juga. Namun, jika dirinya sendiri tidak mendapatkan penjelasan masuk akal mengenai kehamilannya, bagaimana Hania bisa menjelaskan pada orang lain? Yang bisa ia katakan hanyalah bahwa ia tidak pernah berselingkuh, apalagi berhubungan badan dengan pria lain. “Aku–” Tepat saat itu, tiba-tiba pintu diketuk, menghentikan perdebatan. Namun, saat melihat seorang pria berwajah tegas melangkah masuk dan bergabung dengan mereka, Hania terkesiap. “Sean?” Hania tampak heran. Kenapa pria itu ada di sini? Baik Bian maupun Pak Harris pun turut terkejut dengan kemunculan Sean. Dengan segera, Bian beranjak dan menghampiri mantan kekasih Hania tersebut. "Anda...," Bian menatap Sean dengan ekspresi mengeras. Ia mengenali Sean dari foto dan video yang ditunjukkan oleh Keysa tempo hari. “Anda pria itu, bukan? Selingkuhan Hania. Ada urusan apa Anda datang ke rumah saya? Apakah Anda berniat terang-terangan berhubungan dengan istri saya?" Hania langsung menggeleng. “Mas, aku tidak selingkuh–” “Kamu diam dulu,” tegur Bian. Wajahnya memerah karena marah. Sementara itu, Sean tampak bingung dengan tuduhan dan situasi yang ada. Namun, pria itu tetap fokus dan menyampaikan maksudnya. “Selamat siang,” sapanya dengan formal. “Perkenalkan, saya Sean. Kedatangan saya ke sini adalah untuk menyampaikan sesuatu yang penting.” “Tidak perlu berbasa-basi!” Bian tampak emosi. “Mohon maaf, saya kurang mengerti dengan tuduhan Anda tadi,” ucap Sean. Suaranya tenang, tapi mengandung kharisma. “Saya bukan selingkuhan Hania. Namun, kedatangan saya kemari memang ada hubungannya dengan Hania.” Jeda sejenak. “Saya mendapatkan informasi bahwa janin yang sedang dikandung oleh Hania adalah anak saya." Seketika semua terbelalak kala mendengar pernyataan dari Sean. BERSAMBUNG.Anggi berdiri tegak, matanya menyiratkan keangkuhan yang menusuk. "Bukankah aku pernah berkata, Sean? Aku tidak akan membiarkanmu bahagia. Dan sekarang, jika kau tidak bahagia, maka aku telah berhasil dalam misiku." Nada bicaranya dingin, seperti es yang menusuk tulang.Sean merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, ingin sekali menghantam wajah wanita di hadapannya. Namun, ia menahan diri. Ia tahu, seorang wanita bukanlah tandingannya, setidaknya dalam hal fisik."Kau benar-benar licik, Anggi," desis Sean, suaranya bergetar menahan amarah. "Kau rela melihatku menderita demi kepuasanmu sendiri."Anggi terkekeh pelan, suaranya seperti tawa iblis yang mengerikan. "Menderita? Kau terlalu lemah untuk merasakan penderitaan, Sean. Kau hanya perlu sedikit waktu untuk menyadari bahwa kebahagiaan yang kau inginkan tidak akan pernah kau dapatkan."Tatapan mereka bertemu, penuh dengan amarah dan kebencian. Udara di antara mereka terasa panas dan menyesakkan. Sean merasakan amarah men
Beberapa hari berlalu, mencekam dan penuh harap bagi keluarga Sean. Kegelisahan menggerogoti setiap detiknya. Bayangan Anggi Indrajaya, sosok yang selama ini menjadi misteri, menghantuinya. Akhirnya, telepon berdering, memutus lamunan Vin yang kelam. Sebuah suara tenang, tetapi tegas, terdengar dari seberang.“Saya sudah mendapat informasi tentang Anggi Indrajaya, Tuan. Saat ini ia sedang berada di sebuah restoran mewah seorang diri. Suasana di sana cukup sepi, menunjukkan ia sedang menunggu seseorang atau sesuatu. Saya akan kirimkan alamat restorannya. Lebih baik Tuan menemuinya sendiri,” ucap suara itu, nada seriusnya terasa menusuk.Jeda singkat terasa amat panjang, seakan-akan waktu berhenti berdetak. Vin merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran antara ketegangan dan penasaran Pertemuan ini, akan menentukan segalanya.Ia segera mengakhiri panggilan, menunggu pesan singkat yang menentukan nasib perusahaannya. Bayangan Anggi, dengan segala misterinya, semakin jelas dalam bena
"Sean, daddy tahu apa yang terjadi. Tak perlu kau jelaskan," ujar Vin, suaranya tenang, penuh keyakinan. "Daddy datang untuk membantu. Daddy akan berbicara dengan mereka yang membatalkan kontrak perusahaanmu." Sean tercengang, matanya terpaku pada wajah sang ayah, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Tapi, Dadd ...." "Tenanglah, Sean. Semua akan baik-baik saja!" Vin menepuk bahu Sean dengan lembut, senyum hangat terukir di wajahnya. "Daddy akan memastikannya." Tatapan Sean perlahan melembut, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Seolah beban berat di pundaknya sedikit berkurang, digantikan oleh secercah harapan yang terpancar dari mata sang ayah. *** Waktu terus berlalu, setiap detiknya terasa mencekam. Vin, dengan kecepatan dan ketegasan yang luar biasa, membongkar satu per satu permasalahan pelik yang membelit perusahaan Sean. Bayangan kecurigaan mulai menggelayut, apakah ini sekadar rangkaian kesalahan, atau ada tangan jahat yang sengaja menghancurka
"Apakah sudah ada informasi mengenai penyebab pembatalan kontrak ini?" Suara Sean terdengar dingin, tertekan, di seberang telepon. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, mencerminkan kegundahan yang mendalam."Belum ada informasi pasti, Tuan. Namun, kabar buruk datang lagi. Tim HC juga baru saja membatalkan kontraknya."Sean terdiam sejenak, seolah tertusuk duri tajam. Napasnya tersengal, "Apa? Lagi? Ini sudah keterlaluan! Kenapa semua ini terjadi? Saya tidak peduli bagaimana caranya, cari tahu apa yang sedang terjadi di balik semua ini!""Baik, Tuan. Kami akan segera menyelidiki."Panggilan terputus, meninggalkan Sean di tengah badai kekhawatiran. Pria yang dikenal lembut dan tenang itu kini tercabik-cabik oleh amarah dan kekecewaan. Bayangan perusahaan yang terpuruk, mimpi yang runtuh, dan masa depan yang tak menentu menghantuinya. Ia terjebak dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban, dihantui ketakutan akan kehancuran yang tak terhindarkan.Sean mengusap wajahnya kasar, jari-jarinya m
Ada perubahan signifikan pada penampilan Anggi. Jika sebelumnya ia selalu tampil sederhana, kali ini ia terlihat sangat rapi dan elegan, layaknya seorang wanita karir sukses. Rambutnya tertata sempurna, pakaiannya mahal dan berkelas.Perubahan penampilannya itu semakin menambah aura misterius dan berbahaya yang terpancar darinya. Entah apa yang menyebabkan perubahan drastis ini, tetapi satu hal yang pasti, ia tampak lebih dingin dan penuh perhitungan.Setelah mengamati keluarga Sean cukup lama, Anggi meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menghubungi seseorang. Suaranya terdengar dingin dan tanpa emosi, berbeda jauh dengan raut wajahnya yang penuh amarah.“Jangan menunggu waktu lama,” ucapnya dengan tatapan tajam, “Aku sangat muak melihat mereka. Secepatnya kalian hancurkan perusahaannya.” Nada perintahnya tegas dan lugas, tanpa ruang untuk penolakan.Ancaman tersirat dalam setiap kata-kata yang diucapkannya, menunjukkan niatnya untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga Sean d
Hania menanti kedatangan Sean dengan cemas. Bayangan Anggi, wanita yang telah mengusik ketenangan rumah tangganya, masih menghantuinya. Tatapannya mengikuti setiap langkah Sean begitu ia masuk kamar."Bagaimana, Mas? Kamu sudah bicara dengan Anggi?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.Sean mengangguk mantap, tetapi raut wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa ketegangan. "Sudah, Han. Dia sudah pergi," jawabnya, kata-kata itu diucapkan dengan nada yang lebih berat daripada yang diharapkan Hania. Ada sesuatu yang tersirat di balik kata-kata itu.Hania mendesah lega, rasa syukur memenuhi hatinya. Namun, lega itu tak sepenuhnya menghilangkan rasa was-was. "Alhamdulillah," ucapnya lirih, "akhirnya hubungan kita dijauhkan dari perempuan seperti Anggi, Mas."Sean duduk di samping Hania, tangannya meraih dan menggenggam erat tangan istrinya. Tatapannya intens, mencari kedalaman mata Hania, mencari kepastian dan ketenangan. "Kamu tenang ya," bisiknya, suaranya lembut, tetapi tegas. "Tidak akan a
Tangan Anggi tiba-tiba menggenggam lengan Sean dengan sangat erat, dan matanya yang penuh air mata itu menatap dengan intens. “Jangan ... kalau kamu melangkah lebih jauh ... semua akan berubah,” kata Anggi pelan, dengan suara yang tiba-tiba penuh ancaman."Apa maksudmu? Anggi, lepaskan saya!"***Hania duduk di sofa, memandang kosong ke arah jendela. Matanya yang semula cerah kini terlihat lelah, terjaga hanya karena gelisah yang tak kunjung hilang. Pikirannya berkecamuk. Tidak ada lagi kebahagiaan yang terasa murni sejak Anggi datang ke dalam kehidupan mereka. Setiap sudut rumah yang dulu penuh tawa kini dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan. Dan Hania merasa itu semua bermula sejak Anggi muncul.Dia bukan hanya menggoyahkan kedamaian rumah tangga mereka, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Anggi bukan lagi sekedar pembantu. Dia sudah menjadi ancaman yang nyata. Bukan hanya bagi Sean, tetapi juga bagi Hania sendiri, yang setiap hari me
Hari itu terasa lebih berat dari biasanya bagi Sean. Di luar jendela, cuaca tampak cerah, tetapi di dalam rumahnya, perasaan sesak itu masih tetap menggantung. Setiap langkah yang diambilnya menuju ruang tamu seolah membawa beban yang lebih berat. Hania, istrinya tercinta, semakin menjauh darinya, diselimuti oleh keraguan yang tak kunjung padam.Foto itu, meski telah dijelaskan dengan segala upaya, tetap menjadi bayangan gelap yang terus menghantui mereka. Sean tahu, jika dia tidak segera menemukan bukti untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah, semuanya bisa berakhir. Kepercayaan Hania padanya akan hancur, dan hubungan mereka bisa hancur begitu saja. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak setelah segala yang mereka bangun bersama, tidak setelah bayi mereka yang baru lahir, yang masih memerlukan perhatian penuh dari kedua orangtuanya."Sean, aku tahu kamu bisa mengatasinya," suara Arum tiba-tiba terdengar dari belakangnya, mengalihkan perhatian Sean dari pikirannya. Arum berd
"Apa maksudmu, Han?" Sean terkejut dengan pertanyaan sang istri yang seorang menyerang. Dengan mata memerah Hania menunjukan foto tersebut. Dadanya naik turun, ia merasa begitu sakit hati. Sean terbelalak, ia tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya. Sean menggeleng berulang kali, ekspresi wajahnya menampakan ketidakpercayaan. ***Pagi itu, Hania duduk terpaku di meja makan. Cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui jendela dapur seolah tak mampu menembus ketegangan yang melingkupi udara di rumah mereka. Ponsel Sean yang masih tergeletak di atas meja, dengan foto yang telah mengusik pikirannya, kini menjadi simbol dari segala kebingungannya.Hania menatap foto itu sekali lagi, mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Tapi setiap kali matanya beralih pada gambar itu, hatinya terasa semakin hancur. Sean, suaminya yang selama ini ia percayai, terlihat tertidur lelap di samping Anggi. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu? Bagaimana bisa foto seperti itu ada tanpa penjel