"Angga!"
Usep berteriak kencang ketika melihat wajah Angga yang pucat ketika ikatan plastik terbuka. Bersama yang lain, Usep berusaha mengeluarkan tubuh Angga yang sudah dingin dan kaku. "Innalillahi wa innailaihi rojiun." "Ayo kita bawa mayatnya Angga ke rumahnya. Yusuf, kamu cepat cari Pak RT." "Siap, Pak." Usep bersama dua orang lainnya menggotong Angga yang sudah menjadi mayat. Darah kering nampak di pakaian yang dikenakan pria itu. Dapat Usep dan yang lainnya lihat ada beberapa luka tusukan di perut Angga. Suasana rumah Angga langsung heboh ketika Usep datang sambil menggotong mayat Angga. Ketiga pria itu menaruh mayat Angga di tengah-tengah rumah. Fauzia syok melihat suaminya sudah terbujur kaku menjadi mayat. Wanita itu langsung menghambur mendekati suaminya. "KANG ANGGA!!" Tangis Fauzia langsung pecah. Wanita itu meraung menangis suaminya yang sudah tidak bernyawa. Dipeluknya tubuh Angga yang sudah kaku. Baru semalam mereka berbincang. Angga juga memberikan kalung cantik sebagai hadiah untuknya. Bahkan mereka berencana mendayung nirwana sebelum kantuk menyergap. Namun sekarang suami tercinta sudah tak bernyawa. Fauzia seperi mengalami mimpi buruk. "Kang Angga, bangun Kang. Tolong jangan bercanda seperti ini. Bangun, Kang!" Fauzia mengguncang-guncang tubuh Angga, namun suaminya itu bergeming. Kokom yang melihat dari meja makan hanya bersedih saja. Wanita itu seakan menyangsikan tangisan Fauzia. "Yang sabar Uzi," Bu RT mencoba menenangkan Fauzia. "Bangun, Kang. Tolong jangan tinggalkan aku seperti ini. Akang udah janji akan menemaniku seumur hidup. Kita sudah berencana punya anak. Akang.. jangan pergi. Aku ngga bisa hidup tanpa Akang. Bangun Akang.." Fauzia mengguncang tubuh Angga yang sudah kaku. Airmata mengalir deras dari kedua matanya. Orang-orang yang menyaksikan hanya bisa mengatupkan mulutnya. Merasa miris dan prihatin dengan keadaan Fauzia. Namun tidak dengan Kokom, wanita itu melihat dengan pandangan sinis. Tak lama kemudian Pak Bandi datang bersama dua orang petugas polisi. Pria itu terkejut melihat Angga yang sudah menjadi mayat. Di sisi pria itu nampak Fauzia tengah menangis tersedu. Dua petugas polisi mendekat. Mereka mengamati tubuh Angga yang terdapat luka tusukan di bagian perutnya. Jelas sekali kalau pria ini mati karena terbunuh. Salah satu petugas segera menghubungi ambulans dan yang lain menghubungi rekannya yang lain. Suasana desa Banjarsari langsung heboh ketika mayat Angga ditemukan. Petugas polisi berdatangan. Mereka langsung memasang garis kuning di seputar rumah Angga dan juga kebun pisang milik Pak Bondan. Polisi juga mengamankan barang bukti berupa pakaian Fauzia yang terdapat noda darah. Wanita itu dan beberapa orang yang menjadi saksi dibawa ke kantor polisi. Sementara jenazah Angga dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. * * * Fauzia duduk melamun di dalam sel. Wanita itu ditahan karena ada bukti yang memberatkan. Walau wanita itu terus menyangkal, namun polisi tetap memasukkannya ke dalam sel. Ada bukti yang memberatkan wanita itu. Apalagi ditambah kesaksian Kokom yang memberatkannya. Polisi mulai bergerak menyisir TKP, mencoba mencari bukti tambahan. Tiga orang petugas menyisir kebun pisang milik Pak Bondan. Dengan menggunakan sarung tangan mereka mengais-ngais tanah tempat Angga ditemukan. Saat sedang mengais tanah, petugas tersebut mendapatkan sebuah cincin. Dia memasukkan cincin ke dalam kantong bening. Kemudian pria itu melanjutkan pencariannya. Tak jauh dari tempat Angga dikubur, petugas lain menemukan korek api gas berbentuk rokok. Hasil temuan itu kembali dimasukkan ke kantong bening. Sementara itu, di kediaman Angga, beberapa petugas juga tengah menggeledah rumah itu. Satu per satu ruangan di sana digeledah. Salah seorang petugas menuju halaman belakang. Hanya terdapat jemuran saja di belakang. Kemudian matanya melihat gundukan tanah yang mencurigakan. Menggunakan sendok semen, petugas polisi ini menggali gundukan tanah yang terlihat mencurigakan. Kemudian dia menemukan sebuah pisau yang berlumuran darah dibungkus plastik bening. Pria itu memasukkannya ke kantong bening khusus barang bukti. Garis kuning masih terpasang walau polisi sudah menemukan barang bukti. Semua petugas kembali ke kantor ketika sudah mendapatkan bukti. Bunyi sirine mobil polisi terdengar menjauh ketika kendaraan roda empat tersebut meninggalkan Desa Banjarsari. Kejadian yang menimpa Angga langsung menjadi buah bibir di masyarakat. Murid-murid Angga juga tidak percaya dan merasa kehilangan. Karena di mata mereka, Angga adakah guru yang ramah dan mudah bergaul dengan anak didiknya. Pegawai di koperasi pun terkejut dengan ditangkapnya Fauzia sebagai tersangka pembunuhan suaminya sendiri. Banyak rekan kerja Fauzia yang menyudutkan wanita itu. "Aku mah masih belum percaya kalau Angga meninggal dengan tragis seperti itu." "Uzi kenapa sampai tega membunuh suaminya sendiri? Padahal kurang apa si Angga? Ganteng, sudah punya pekerjaan tetap, setia dan bertanggungjawab." "Kok aku curiga sama Andika. Dia tiba-tiba hilang sehari sebelum Angga meninggal. Apa mungkin dia dan Uzi yang merencanakan pembunuhan Angga?" "Bisa jadi." Pembicaraan seputar Angga, Fauzia dan Andika terus berlangsung. Hanya Murni saja yang tidak ikut menimbrung. Wanita itu yakin kalau Fauzia tidak bersalah. Dia pernah melihat Fauzia bertengkar dengan Andika. Dan setelah pertengkaran, Andika mengaku-ngaku kalau Fauzia baru saja merayunya pada yang lain. Anehnya semua rekan kerjanya percaya saja dengan apa yang dikatakan pria itu. "Murni.. kamu kenapa diam saja?" "Terus aku harus bilang apa?" "Kamu kan paling dekat dengan Uzi. Pasti dia pernah cerita padamu soal hubungannya dengan Andika." "Ya, Uzi banyak bercerita padaku soal Andika. Tapi ceritanya berbeda dari cerita kalian." "Berarti dia bohong sama kamu." "Aku percaya sama Uzi. Justru aku heran sama kalian. Kalian lebih lama mengenal Uzi, tapi kenapa kalian lebih percaya kata-kata Andika?" "Gimana ngga percaya kalau tingkah Uzi mencurigakan. Aku juga dapat kabar dari Bu Kokom, rumahnya kan dekat dengan rumah Uzi. Dia mendengar langsung kalau Uzi dan Angga sering bertengkar gara-gara Angga." "Dari dulu Bu Kokom ngga suka sama Uzi. Apa kalian lupa kalau dia bercerai dari suaminya karena suaminya kepergok mau melecehkan Uzi? Untung Angga datang tepat waktu, kalau ngga, mungkin mantan suaminya Bu Kokom sudah berhasil memperk*sa Uzi." Kejadian yang menimpa Fauzia saat suami Kokom berusaha melecehkannya sudah berlangsung lama. Waktu itu Angga dan Fauzia baru saja pindah. Tak terima istrinya hendak dilecehkan, Angga menghajar suami Kokom habis-habisan, kasusnya sampai dibawa ke RT. Karena malu, Kokom menceraikan suaminya. Sejak saat itu Kokom tidak pernah menyukai Fauzia dan Angga. Senyum manis dan keramahannya hanya hiasan belaka. "Lebih baik kalian kerja, daripada menggosip." Murni menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Sepkuang kerja nanti, dia berencana menjenguk Fauzia di sel. Tidak bisa dibayangkan penderitaan wanita itu. Sudah kehilangan suami tercinta, dia juga dituduh menghilangkan nyawa suaminya. * * * Fauzia duduk di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Di depannya ada sebuah meja dengan laptop di atasnya. Nampak seorang petugas polisi berada di belakang laptop. Keduanya sedang berada di ruang interogasi. Tatapan Fauzia nampak kosong. Wanita itu masih belum terlihat shock atas semua yang menimpanya. Sudah hampir lima menit mereka berada di dalam ruangan, namun Fauzia hanya diam membisu. "Saudari Uzi, apa anda mengenal Andika?" Kepala Fauzia hanya mengangguk saja. Pandangannya masih kosong, namun telinganya masih bisa mendengar dengan jelas pertanyaan yang diajukan untuknya. "Apa anda tahu di mana dia sekarang?" Kali ini kepala Fauzia menggeleng. Petugas tersebut menarik nafas panjang. Dia mengetuk meja beberapa kali, membuat Fauzia mengarahkan pandangan ke arahnya. "Apa hubungan anda dengan Andika?" "Kami hanya rekan kerja." "Menurut beberapa kesaksian warga, mereka sering melihat anda berduaan dengan Andika. Apa anda memiliki hubungan khusus dengannya?" "Tidak." "Apa suami Anda mengenal Andika?" "Iya." "Apa dia tahu anda berselingkuh dengan Andika?" "Saya tidak berselingkuh dengannya. Itu fitnah!" Wajah Fauzia terlihat kesal. Semua orang menyudutkannya. Menuduhnya memiliki hubungan khusus dengan Andika. "Lalu pakaian yang ada noda darah, apakah milik anda?" "Iya." "Darah siapa itu?" "Saya tidak tahu." "Itu darah suami anda. Anda yang sudah menghabisi nyawanya." "Tidak. Saya tidak membunuh suami saya! Saya tidak membunuhnya!" "Kalau anda tidak membunuhnya, lalu kenapa anda menyembunyikan pakaian itu?" "Saya.. takut." "Takut karena anda sudah membunuh suami anda?" "Saya tidak membunuhnya!" "Lalu siapa yang membunuhnya?" "Saya tidak tahu. Mungkin saja Andika." "Mungkin saja Andika yang membunuh suami anda. Tapi itu semua karena suruhan anda, bukan?" "Tidak! Saya tidak membunuh suami saya! Harus berapa kali saya mengatakan kalau saya tidak membunuhnya! Saya tidak membunuhnya!! Harusnya kalian mencari pembunuh itu, bukan menahan saya di sini!!" Fauzia yang awalnya tenang, kini berubah histeris. Wanita itu berteriak sambil memukul-mukul meja di depannya. Pancaran matanya penuh dengan amarah. Petugas polisi itu memanggil anak buahnya dan memintanya membawa Fauzia kembali ke sel. Sepeninggal Fauzia, pimpinan unit Jatanras masuk ke dalam ruangan. Pria bernama Fajar itu menarik kursi di depan anak buahnya. "Bagaimana menurutmu?" tanya Fajar. "Kalau menurut bukti dan saksi, semua memang mengarah pada Fauzia. Tapi.. ini semua terlalu sempurna. Mayat dan bukti ditemukan dengan cepat. Begitu juga semua saksi kompak menuding Fauzia dan Andika melakukan affair. Menghilangnya Andika bertepatan dengan terbunuhnya Angga. Semuanya terasa begitu kebetulan." "Kamu benar. Apa sudah ada kabar dari tim forensik?" "Belum. Mereka masih mencari penyebab kematian Angga. Fauzia juga mengatakan kalau semalam sebelum Angga terbunuh, Kokom mengantarkan minuman untuk mereka. Setelah menghabiskan minuman, tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Aku sudah mengatakan pada tim forensik. Mereka aka menguji sample darah Angga." "Sebarkan anggota yang lain untuk mencari keberadaan Andika. Pria itu bisa menyibak misteri kematian Angga." "Baik, Pak." Di dalam sel, Fauzia hanya duduk termenung sambil menyandarkan punggung ke tembok dengan memeluk kedua lututnya. Dia tidak sendiri, melainkan ada dua tahanan lainnya. Keduanya melihat pada Fauzia dengan tatapan yang jauh dari kata ramah. Mereka sudah mendengar kasus yang menimpa teman satu selnya ini. "Lihatlah perempuan itu. Dia sudah berselingkuh, lalu membunuh suaminya." "Aku benci peselingkuh." Salah satu wanita itu mendekati Fauzia lalu berdiri di dekatnya. Dengan kakinya, dia menyenggol Fauzia, membuat wanita itu melihat padanya. "Heh pembunuh! Apa benar kalau kamu sudah berselingkuh dan membunuh suamimu?" "Bukan urusanmu," jawab Fauzia acuh tak acuh. "Brengsek!! Kamu tahu? Aku paling benci orang yang berselingkuh." Wanita itu berjongkok lalu mencengkeram rahang Fauzia dengan kencang. "Aku sudah membunuh suamiku yang berselingkuh. Membunuh satu lagi peselingkuh, rasanya tidak ada ruginya." "Bunuh saja kalau kamu mau. Lagi pula hidupku sudah tak berharga lagi." "Kamu pikir aku tidak sanggup melakukannya?" "Lakukan saja, lakukan!!! LAKUKAN!!" Suara pukulan di jeruji sel mengejutkan kedua wanita itu. Seorang petugas yang mendengar keributan langsung mendekat. "Jangan berisik!! Kamu!! Kembali ke tempatmu!" Mau tidak mau wanita itu kembali ke tempatnya semula. Fauzia masih bergeming di tempatnya. Dia kembali melamun memikirkan suaminya yang sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. * * * Seorang pria paruh baya nampak terhenyak ketika mendengar kabar yang dikirimkan anak buahnya. Wajahnya memucat dan kecemasan langsung meliputi hatinya. "Apa kamu yakin dengan kabar yang kamu bawa?" "Yakin, Pak." "Bagaimana keadaan Fauzia sekarang?" "Dia sudah ditahan di kantor polisi untuk penyelidikan." "Tolong tetap awasi. Aku akan datang untuk menemuinya. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada keponakanku." "Baik, Pak." Panggilan segera berakhir. Pria paruh baya itu segera bersiap untuk pergi. Dia mencari-cari kunci mobil di meja kerjanya. Setelah mendapatkannya, pria itu segera keluar dari ruang kerjanya. Baru saja dia akan keluar rumah, pria itu berpapasan dengan seorang pria muda. "Papa mau kemana?" "Papa harus pergi. Adikmu dalam bahaya." "Fauzia? Ada apa dengannya?" "Dia ditahan di kantor polisi atas tuduhan pembunuhan suaminya." "Apa?"Sebuah koper berisi pakaian dan barang pribadi Daffa sudah siap di dekat lemari. Fauzia sudah selesai mengepak pakaian untuk sang suami. Daffa keluar dari walk in closet. Pria itu sudah berpakaian dan siap untuk pergi. "Berapa lama Mas di Sydney?" "Seminggu, tapi bisa juga lebih." Nada suara Daffa terdengar dingin. Fauzia seperti terlempar ke masa awal perkenalannya dengan Daffa. Tidak ada kehangatan lagi dalam nada bicaranya. Hati Fauzia mencelos melihat sikap suaminya yang jauh dari biasanya. Lamunan Fauzia buyar ketika Daffa menarik koper lalu keluar dari kamar. Wanita itu segera mengikuti suaminya. Supir yang hendak mengantarkan Daffa ke bandara, mengambil koper lalu memasukkan ke dalam bagasi. "Mas, apa aku boleh main ke rumah Om Faisal?" "Boleh. Kamu boleh kemana saja sesukamu. Aku tidak melarang mu." "Apa Mas marah padaku?" "Tidak. Aku mengerti kalau pernikahan kita terlalu cepat. Sepertinya kamu masih butuh waktu untuk menjalani pernikahan kita. Aku mau kepergi
Ditemani Daffa, Fauzia mendatangi lapas di mana Anita ditahan. Wanita itu datang dengan membawa kebenaran menyakitkan untuk Anita. Selain mereka, Salim juga ikut datang bersama Reza. Keyla berinisiatif menemani kekasihnya, dan tidak ada penolakan dari Reza. Daffa meminta pada kepala lapas untuk menyediakan ruangan khusus bagi mereka untuk menemui Anita. Selain Anita, Imron juga ikut dipanggil. Mereka mem.av berada di lapas yang sama, hanya berbeda blok saja. Setelah menunggu selama sepuluh menit, akhirnya orang yang ditunggu tiba juga. Anita dan Imron masuk ke dalam ruangan dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketua lapas mempersilakan keduanya untuk duduk lalu meninggalkan ruangan tersebut. "Mau apa kalian ke sini? Apa kalian mau menghinaku?" tanya Anita dengan sorot mata tajam. "Aku hanya ingin memberitahukan sebuah kebenaran padamu," ujar Fauzia. "Kebenaran apa?" "Ini lihatlah sendiri." Fauzia menyerahkan sebuah amplop bertuliskan nama laboratorium ternama. Tanpa merasa curiga
"Apa kamu menemui Salim dan mengakui identitasmu yang sebenarnya?" Pertanyaan Faisal tidak bisa langsung dijawab oleh Reza. Pria itu nampak berpikir sejenak. Kenyataan soal identitas yang baru diketahuinya, tak ayal membuat pria itu sedikit shock. Selama ini Reza menang tidak mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Menurut Melly, sejak lahir dia sudah berada di panti. Itu artinya kedua orang tuanya memang tak menginginkan dirinya. Namun kebenaran ternyata tak sesuai pikirannya. Dia harus dipaksa percaya kalau dirinya adalah anak tunggal Salim dengan Mitha. Itu artinya dia masih sepupu dari Angga, mendiang suami Fauzia, adik angkatnya. "Aku ngga tahu, Pa. Aku masih perlu waktu untuk memikirkan semuanya." "Papa tahu jni semua pasti mengejutkan untukmu. Pikiran baik-baik. Apapun keputusanmu, Papa akan mendukungnya." "Setelah Papa tahu semua kenyataan ini, apa Papa masih menganggap ku anak? Apa Papa akan tetap menyayangiku?" Faisal memandangi Reza tanpa berkedip. Dia bing
"Siapa orang tuaku, Bu?" "Nama Ibumu adalah Mita dan ayahmu adalah Salim.""Mita," gumam Fauzia pelan.Nama Mita sama dengan nama Ibu dari Angga. Begitu pula dengan nama ayah yang disebutkan Melly. Mendengar nama yang disebut terdengar familiar, Fauzia pun penasaran."Apa nama lengkapnya Salim Wiguna?" tanya Fauzia sambil menatap dalam pada Melly."Iya, dari mana kamu tahu?"Jawaban Melly membuat Fauzia tersentak. Bukan hanya wanita itu, tapi Daffa, Faisal bahkan Reza sendiri ikut terkejut. "Ibu Mita dan Pak Salim adalah orang tua dari Kang Angga. Mereka hanya punya satu anak, bagaimana mungkin kalau Bang Reza anak mereka.""Kamu mengenal Angga?" kali ini giliran Melly yang terkejut."Angga ada mendiang suami Uzi," jawab Reza."Apa? Kenapa bisa ada kebetulan seperti ini," gumam Melly tak percaya."Ibu.. saya minta tolong ceritakan dengan jelas. Apa benar Reza adalah anak Pak Salim? Lalu bagaimana dengan Angga?" Daffa yang sedari tadi diam, tak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Sepasang pengantin baru masih terbaring di atas kasur berukuran king size. Tubuh polos keduanya hanya tertutup selimut saja. Sehabis shubuh tadi, keduanya kembali mengulang percintaan panas mereka. Daffa seolah tengah memuaskan rasa dahaganya, pria itu langsung tancap gas melampiaskan hasratnya yang sudah lama tertahan. Terhitung sudah tiga kali dia menggarap tubuh istrinya. Kelopak mata Fauzia bergerak-gerak, sesaat kemudian kedua matanya mulai terbuka. Wajah tampan Daffa langsung menyapa indra penglihatannya. Fauzia terus menelusuri wajah pria yang saat ini masih terlelap dalam tidurnya. Pipi Fauzia merona ketika mengingat malam panas mereka dan percintaan mereka tadi shubuh. Ternyata Daffa yang kerap bersikap dingin, begitu panas di ranjang. Saat ini memang masih belum ada perasaan cinta di hati Fauzia. Namun wanita itu berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri, termasuk memberikan pelayanan ranjang pada suaminya. Tapi rasa
"Saya terima nikah dan kawinnya Fauzia Safarina binti Ahmad Faidhan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 500 gram dibayar tunai!" "Bagaimana saksi?" "SAH!!" Semua yang menyaksikan akad tersebut langsung mengucapkan hamdalah. Tanda syukur kalau akad nikah sudah berlangsung lancar tanpa hambatan berarti. Daffa melirik Fauzia yang duduk di sampingnya. Segurat senyum tercetak di wajah Daffa. Kebahagiaan begitu terasa ketika akhirnya dia membayar tunai wanita yang perlahan memasuki dan menempati ruang tersendiri di hatinya. Lamunan Daffa terhenti ketika Reza memberikan kotak beludru berisi cincin pernikahan mereka. Daffa mengambil sebuah cincin putih bertahtakan berlian lalu memasangkannya di jari manis Fauzia. Wanita itu pun melakukan hal sama, memasangkan cincin dengan bahan berbeda ke jari manis suaminya. Kemudian Fauzia mencium punggung tangan Daffa dengan takzim. Hati Daffa bergetar mendapatkan ciuman tanda bakti seorang istri pada suami. Sud