Dengan kepala masih terasa berat dan tubuh lemas, aku kembali ke tempat tidur. Tidak ada lagi seleraku untuk makan dan meminum obat, pikiranku ke mana-mana.
Selama beberapa bulan ini aku tak lagi bisa mesra dengan suamiku, aku bahkan tak pernah lagi peduli dengannya selain bermain dengan pikiran masa laluku, mengutuk diri terus-menerus. Apa yang dilakukan Adam bisa saja karena pelampiasannya lantaran tak pernah mendapatkan kemesraan dariku. Herannya, aku tak merasakan perasaan sakit hati sama sekali. Untuk menghilangkan letih, aku mencoba duduk di ranjang, tak lama berselang terdengar suara kendaraan di depan. Seingatku Adam sudah pergi bersama Alea dan Rafiqa, aku diam saja menunggu dan beberapa menit kemudian suara langkah mendekat ke kamarku. “Hai, sudah bangun ya, Tuan puteri?” Sandra, sahabatku yang ceriwis muncul. Aku terpana. “Kaget ‘kan? Aku memang sengaja tak mengabari, pokoknya habis dari bandara tanpa ganti baju dulu langsung ke sini untuk menemui tuan puteri supaya dia segera sembuh dan bangun tuh dari tempat tidur jelek ini.” Aku tahu ia pasti datang untuk menghiburku, ia yang sejak tiga bulan lalu pergi ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya, akhirnya balik juga dan aku tahu pasti jika urusannya di sana pasti juga selesai makanya ia datang menemuiku terlebih dahulu. “Aku masih lemah, San. Kepalaku dan seluruh badanku lemas sekali,” keluhku. Ia lantas duduk di bibir ranjang menghadap ku. Beberapa kali kulihat ia menghela napas panjang. “Aku tahu beratnya kamu kehilangan, tapi hidup musti berjalan. Lagipula kamu membuatku kesal, sudah beberapa bulan aku menghubungimu selalu saja perempuan yang menjawab dan mengatakan dia baby sitter Rafiqa dan jawabannya selalu sama setiap waktu bahwa kamu masih sakit dan belum bisa diganggu, hebatnya saat kuhubungi suamimu, jawabannya juga sama. Makanya begitu selesai urusanku, aku langsung terbang dan menemuimu di sini, aku janji akan menetap kembali di Indonesia yang penting kamu janji dulu untuk segera sembuh,” pintanya. Aku tersenyum kecut. Sejak sakit, aku tak pernah lagi memegang handphone sama sekali, bahkan Alea melarangku dengan mengatakan mengikuti perintah Adam. Rasa kantuk juga membuatku tak banyak bertanya, lebih memilih beristirahat daripada memegang gawai pipih tersebut. Ia lantas bangun dan membuka selimutku, memaksaku turun dari ranjang, meski enggan namun bisa apa aku ketika Sandra memaksaku begini. Ia menuntunku pergi ke kamar mandi dan memintaku membersihkan tubuh di sana. Sementara ia menyiapkan pakaian yang akan ku kenakan nantinya setelah ritual mandi ku selesai. “Hidupmu sudah seperti drakula, tidur di ranjang terus, tirai jendela dibiarkan tertutup tanpa sinar, wajahmu pucat bahkan bobot tubuhmu kelihatan sekali banyak berkurang, kalau lama-lama kamu begini, Adam pasti akan meninggalkanmu. Apalagi baby sitter itu masih muda dan cantik,” cerocosnya ketika melihatku sudah ke luar dari kamar mandi dan mulai berpakaian. Aku mengerutkan alisku. “Darimana kamu tahu kalau Alea masih muda dan cantik pula,” Alea memang punya wajah imut dengan kulit putihnya, ia juga kuperkirakan dua atau tiga tahun di bawah usiaku sekarang ini yag menginjak angka 27 tahun. Tangan Sandra yang membuka tirai jendela terhenti dan mengambang di sana. “Aku hanya menebak saja dari suaranya, sama sekali tak pernah melihat baby sittermu itu,” aku menghela napas berat. Ya, berat terasa karena masih mengingat melihat pemandangan tadi pagi. Adam dan Alea terlihat mesra, mungkin mereka tak sadar jika aksinya kuketahui. Mungkin mereka berpikir aku masih lemah di tempat tidur sehingga tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan. Aku sendiri masih belum tahu sudah berapa lama mereka begitu. “Ada apa sebenarnya? Kenapa wajahmu langsung murung begitu saat aku membahas si Alea itu?” brondongnya. Suka tidak suka, aku harus berterus terang sebab Sandra tidak akan berhenti mencari tahu jawaban atas setiap pertanyaannya. “Aku curiga mereka berdua ada apa-apanya, kelihatan aneh sekali tadi pagi tak sengaja Adam memegang tangan perempuan itu persis di depan anakku, itu bukan contoh yang baik. Adam seharusnya tak melakukan hal itu, Alea hanya pekerja di sini, tidak lebih,” keluhku. Sandra menghampiriku. “Kamu yakin? Kamu tidak sedang berhalusinasi, ‘kan?” tanyanya membuatku semakin melipat alisku. “Apa maksudmu, San? Aku masih waras dan pandanganku baik-baik saja,” Aku benar-benar tak bisa terima dikatakan sahabatku sendiri berhalusinasi. Aku memang dianggap stres lantaran tidak bisa menghilangkan rasa bersalahku tetapi mataku masih awas, jelas sekali kulihat Adam menggenggam tangan Alea dengan mesra. “Aku hanya bertanya, Vio. Tidak punya pikiran yang lain, kamu jangan nge-gas gitu lah. Aku dengar sendiri dari mulut Adam terkait keadaanmu, jadi wajar kalau aku bertanya begitu, bukan berarti aku bilang kamu buta, kamu santai ya?” katanya menenangkan ku. “Aku tahu kamu belum bisa melepaskan diri dari rasa bersalahmu, rasa karena telah tak sengaja menghilangkan nyawa Nayla, tapi sekali lagi kutekankan supaya kamu tetap ingat bahwa kamu masih punya satu anak lagi yang butuh perhatianmu, karena keadaanmu membuat Adam harus mengupah orang supaya bisa menjaga anak kalian sekaligus kamu, kamu sembuh maka perempuan yang katamu bermesraan dengan Adam tidak akan pernah bekerja di sini dan kehidupan rumah tangga kalian akan aman-aman saja. Semua tergantung dari niatmu saja, sembuh lah demi keluarga kecilmu.” Kelihatan sekali Sandra emosi namun ia berusaha menahannya. “Aku minta maaf karena sudah meragukanmu, yang terpenting sekarang kamu harus sembuh supaya kehidupan kamu yang dulu kembali lagi seperti semula, kamu sudah rapi, gimana kalau kita jalan-jalan ke samping rumah, melihat pemandangan danau supaya pikiranmu kembali fresh lagi,” ajaknya. Aku tak keberatan. “Setelah kita selesai menikmati udara segar, barulah kamu sarapan dan meminum obatmu, gimana?” Kali ini aku keberatan. “Kalau kamu tidak keberatan, bisakah kamu ambil contoh obatku lalu kamu bawa ke apotek terdekat untuk menanyakan obat apa yang diberikan baby sitter itu padaku, aku merasa semakin aku meminumnya, maka semakin lemah fisikku, sebab sudah lebih dari satu jam tak meminum obatnya, mataku tidak mengantuk sama sekali dan tubuhku serasa segar saja,” pintaku. Sandra memandangku keheranan. “Obat ini maksudmu?” Aku mengangguk pelan. Sandra lantas memegang botolnya, melihat sebentar lalu segera memasukkan botol obat tersebut ke dalam tasnya. Aku berharap obat dua macam warna itu bukanlah obat yang membahayakanku, memang benar untuk mengobati pikiranku yang ruwet semata.Part 19 Pov Viona Sandiwara yang dimainkan Calvin benar-benar membuatku terjebak, aku harus terus bersandiwara demi kesehatan neneknya. Meski sedikit menolak dengan permintaan nenek untuk membuatku dekat dengan cucu kesayangannya itu, akan tetapi jika kupikir aku menyamar menjadi calon istrinya, tentu saja kami harus bermesraan supaya tak ketahuan. Aku sih santai saja, hanya saja semakin lama di rumah ini bisa saja membuat rencanaku terhadap Adam akan berantakan. Jika nanti acara santai di taman belakang ini selesai, aku akan langsung berbicara dengan Calvin mengenai semuanya. Sebelumnya aku tidak berterus terang kejadian yang sebenarnya menimpaku, Calvin setidaknya harus tahu supaya aku mudah meminta bantuannya. Aku harus segera meminta bantuan padanya karena sampai sekarang aku tak tahu bagaimana nasib putri semata wayangku, Rafiqa. Anak cantikku itu terus membayangiku. Aku sudah terlalu banyak membantu Calvin dengan menjadi calon istrinya. Baru saja santai di belakang, tiba-t
Part 18 “Nenek? Nenek sudah bangun?” Aku langsung menghampiri dan membawa nenek ke dalam kamarnya. Aku tahu jika ia masih butuh penjelasan dariku, hanya saja aku memilih santai dan tak mau menanggapi sambil mencari alasan tepat agar ia tak curiga sama sekali. Di belakang kami, Viona mengekor. Ia juga tak banyak bicara. Mungkin ia sama bingungnya dengan aku sebab kami sama-sama syok dan saling melemparkan pandangan yang mengisyaratkan kami tak tahu harus menjawab apa. “Nenek katanya tadi ingin membawa jalan-jalan Viona? Kenapa malah ketiduran?” Pengalihan topik saat ini sangat diperlukan. Tak lama nenek memasang wajah sumringah.Lega rasanya.“Oiya, aku ingin membawanya memilih pakaian di butik langganan kita. Rasanya sudah lama kita tidak ke sana,” kata nenek. Aku sebenarnya tak mempermasalahkan nenek akan ke luar bersama Viona, hanya saja jika sampai Adam dan orang suruhannya memergoki Viona maka akan selesai semuanya dan ketahuan siapa Viona sebenarnya. Aku memilih mengamankan
Part 17 “Mau ke mana kita?” “Viona kabur,”“Hahh,”“Sudahlah, nggak usah banyak bicara. Ikut saja denganku,” ajak ku dengan cepat. Aku dan Alex memutuskan pergi ke rumah dulu memastikan apa benar Viona kabur atau kemungkinan ia diculik, bisa saja semua itu terjadi dan kami harus mencari tahu kronologi kejadiannya.Baru saja aku sampai di rumah, dua pelayan menyambut ku dengan wajah pucat dan kebingungan, “Sejak kapan Viona pergi?” tanyaku. Dua pelayan perempuan itu saling melempar pandangan satu sama lainnya. "Kami pikir Bu Viona bersiap-siap mau bepergian bersama tuan, tapi ditunggu lama nggak ada juga Bu Viona ke luar, begitu kami berdua cek di kamar, ternyata Bu Viona sudah tidak ada,”Aku dan Alex lantas memeriksa ke dalam kamar di mana semalam Viona tidur, benar saja semuanya dalam keadaan kosong hingga ke dalam kamar mandi. “Bagaimana dengan nenek? Apa dia sudah tahu?” Kedua pelayan tadi yang sejak tadi mengikuti langkah kami ke kamar, kompak menggelengkan kepala. “Nenek
Part 16Pov Calvin“Informasi yang kudapatkan tentang Viona Putri Wijaya memang dia adalah pewaris tunggal keluarga Wijaya karena dia satu-satunya anak Tuan Brata Wijaya yang meninggal dua tahun lalu akibat kecelakaan pesawat, menurut info yang ku kumpulkan bahwa kecelakaan yang dialami kedua orang tua Viona adalah sebuah rekayasa yang sudah disusun sedemikian rupa karena ada pihak yang menginginkan kematian mereka.” Siang itu aku mengobrol dengan Alex di ruangan kantorku.Aku syok mendengar keterangan dan beberapa gambar Tuan Brata Wijaya beserta istri juga Viona yang waktu itu mungkin berusia lima atau enam tahun. Ternyata benar jika Viona adalah anak tunggal Brata Wijaya. Keluarga mereka terlihat begitu bahagia, aku memperhatikan gambar-gambar yang diserahkan Alex, orang suruhan sekaligus asisten sekretarisku di kantor. Alex sejatinya sahabatku, apa saja informasi yang ingin kudapatkan maka ia selalu punya jalan untuk mendapatkannya, tak sia-sia ia ku jadikan asisten sekaligus pe
Part 15 Calvin mengeratkan genggaman tangannya padaku lantas memberi isyarat agar aku memberikan senyuman pada perempuan yang terbilang lebih muda dengan sebutan neneknya tersebut. Aku mengikutinya kemudian mengambil tangan nenek lalu menciumnya dengan penuh hormat. “Kau memang hebat, Cal. Pilihanmu memang tepat, saat tadi kamu mengatakan bersama siapa dan mengirimkan fhoto nya padaku, rasanya senang melihat wajahnya yang cantik, sangat cantik,” pujinya berlebihan. Senyumku kecut. Aku merasa kecantikanku standar saja. Buktinya saja Adam lebih memilih bersama Alea, perempuan lebih muda dan cantik dariku. “Duduklah, nak. Ayo kita makan malam bersama,” ajaknya. Rasanya ia tak mau melepaskan tanganku. Kami mulai menikmati hidangan di atas meja. Mata nenek tak pernah lepas dariku, ia seakan bangga melihatku. “Kamu berasal dari mana?” tanyanya membuatku hampir saja tersedak. “Nenek? Kenapa harus tanyakan itu pada Viona, Nek?” Calvin protes. Nenek malah tersenyum penuh arti. “Tidak ad
Part 14 Pov Viona“Calvin Bintang Pratama, u can call me Cal,” laki-laki yang membantuku ke luar dari penjara rumah sakit jiwa ini mengulurkan tangannya. Akhirnya ia memperkenalkan diri setelah beberapa jam bersamanya tanpa saling tahu nama masing-masing.Memang sejak beberapa jam ini bersamanya, aku ingin tahu siapa namanya. Kini ia mengenalkan dengan diri dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku menerima uluran tangannya dan menyebutkan namaku. “Nama yang cantik, secantik orangnya,” gumamnya. Aku mendengarnya dengan jelas namun aku lebih memilih seolah-olah tak mendengar. Gengsi kalau sebentar saja sudah sumringah menerima pujiannya.“Sekarang juga kita ke butik langganan keluargaku, di sana kamu bebas memilih pakaian apa saja yang akan kamu kenakan saat kita bertemu dengan nenekku nanti malam. Eits, biar aku saja yang memilihkan pakaian untukmu,” aku menarik napas panjang. Suka-suka mu lah. Aku menurut saja.Mau tak mau saja mengikuti semua perintahnya, aku bisa apa sebab samp