Share

Bab 2 Obat Penawar

Siluman ular raksasa bergerak dengan cepat. Ekornya meliuk-liuk di atas tanah berpasir, menopang tubuhnya yang besar. Bagian atas dari siluman itu berubah wujud menjadi seeorang perempuan, tapi tak cantik lagi. Berparas hitam dengan rambut hitam yang tergerai panjang. Gigi taring terlihat di mulutnya yang terbuka. Lidah ular yang panjang menjulur dan terdengar suara mendesis dari mulutnya yang berwarna hitam.

Gerakan siluman ular raksasa itu sangat cepat. Dengan penuh nafsu ingin menghabisi nyawa ketiga makhluk yang menjadi lawannya beberapa menit yang lalu. Padahal lawannya sudah tergeletak tak berdaya.

Siluman ular raksasa menggerakkan kepalanya, bersiap untuk mematuk tubuh pemuda yang telah bersimbah darah di bagian punggung. Dia tak memperdulikan kedua kucing yang terbaring di bagian depan perut pemuda. Sasaran serangannya terfokus kepada pemuda yang meringkuk di atas tanah berpasir.

Suara desis kemenangan terdengar dari mulutnya. Kepalanya berubah kembali menjadi seekor ular. Kepalanya yang besar, siap mematuk pemuda itu dengan bisa hitam yang sangat beracun.

Splash.

Tiba-tiba kepala siluman ular raksasa terhuyung ke samping. Suatu benda menghantam kepala hitamnya degan sangat keras. Niatnya untuk mematuk mangsa, tertahan.

Satu menit siluman ular raksasa berusaha menstabilkan dirinya dari hantaman benda keras. Poisisnyapun tergeser beberapa meter karena hantaman benda yang menjadikan kepala sebagai sasarannya.

Setelah fokusnya kembali, dia melihat seorang pria tua berjubah putih yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Siluman ular raksasa belum menyadari benda apa yang telah menghantamnya tadi.

“Kamu... bangsa jin, tak punya kekuatan sebesar kami, manusia yang diciptakan dari tanah. Enyahlah dari sini!” Pria tua berjubah menaikkan suaranya beberapa oktaf di kalimat terakhir.

Splash.

Benda keras kembali menghantam kepala siluman ular raksasa. Kini, mata sebelah kanan menjadi sasaran. Siluman itu meringis.

Splash.

Kembali benda keras menghantam tubuh siluman ular raksasa. Kali ini, leher dan bagian perutnya yang menjadi sasaran. Lehernya terkelupas dari sisik hitam yang tebal. Memar.

“Apakah aku yang harus mengembalikanmu ke neraka, Hai... Siluman Ular!” bentak pria tua yang menggulung suatu benda ditangannya.

Splash.

Kembali hantaman benda keras mengenai siluman ular raksasa.

“Aaaaagh!” teriak siluman ular raksasa. Terlihat darah hitam keluar dari mata bagian kanan yang sebelumnya sudah terluka.

“Kau masih merasakan besutan kainku, belum lagi jika merasakan tasbih yang penuh do’a kubesutkan ke tubuhmu,” nyata pria tua dengan memasang muka sangar.

Ternyata... hantaman benda keras berasal dari kain panjang putih yang bergulung di tangan pria tua. Kain itu sengaja dibesut dan mencambuk tubuh siluman ular berulang kali.

“Enyahlah...! Aku tak bernafsu untuk membunuhmu. Biarkan hukum dunia ini yang akan menyiksamu,” teriak pria tua itu. Wajahnya sangat murka ketika mengatakan kalimat perintah.

Tanpa diperintah kembali, siluman ular raksasa bergerak dengan cepat masuk ke dalam hutan. Sepertinya kekuatan dari asap hitam pekat untuk menghilangkan dirinya dengan cepat, sudah tidak berfungsi dengan baik.

Pria tua dengan segera melompat ke arah pemuda yang tergeletak dengan posisi meringkuk.

“Daffa... Daffa....” panggil pria tua itu dengan lembut.

Meee...ong.

Pria tua melihat ke arah sumber suara.

“Bono... kau sudah sadar? Cepat... bangunkan Banu, kita harus segera mengobati Daffa,” ujar pria tua.

Bono segera melompat ke arah Banu yang masih pingsan, tak sadarkan diri. Menjilati wajah Banu beberapa kali dengan perlahan-lahan.

Miiii... aw....

Bono menghentikan jilatannya ketika Banu siuman. Bono memberi isyarat kepada Banu, memalingkan wajahnya ke arah pemuda yang bernama Daffa yang sekarang telah berada di pangkuan pria tua.

“Cepat... kakek harus membawanya ke Rumah Baoh di Besilam. Dia harus segera disembuhkan.” Pria tua itu memerintah kedua kucing untuk segera bergerak dan tersadar dari apa yang telah terjadi.

Dia menebarkan kain panjang di atas tanah berpasir. Menggendong Daffa yang masih tak sadarkan diri dan meletakkan tubuh kurus pemuda itu di kain putih yang terbentang. Pria tua itu mencabut lempengan hitam yang masih tertancap di punggung korban. Kemudian menempelkan jari jempol kanan ke lidahnya dan selanjutnya menempelkan telapak jempol tadi ke luka yang diderita oleh Daffa.

Pria itu membaca sholawat berulang kali dan sedikit menekan telapak jempol ke daerah luka. Darah dari sumber luka sedikit terhenti.

“Ayo... Banu... Bono!” perintah pria tua itu. Dia telah menyelesaikan ritual yang bertujuan untuk menghentikan darah sang korban.

Kedua Kucing Persia melompat dengan cepat ke kain putih yang sudah terbentang.

Tak menunggu lama lagi, pria tua itu segera berdiri. Melipatkan kedua lengannya di dada. Menatap lurus ke depan. Mulutnya membaca sesuatu yang berasal dari ayat al-qur’an. Secara ajaib, kain putih yang terbentang tadi, terangkat perlahan kemudian melesat dengan cepat menuju langit yang tak berbintang di malam ini.

Dalam hitungan detik, hilang dari pandangan di gelap malam.

“Dan Kami menurunkan sebagian dari Al-Qur’an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Israa’ : 82)

™*™

Di kamar salah satu bangunan yang bernama Rumah Baoh, Daffa telah terbaring di sebuah tempat tidur yang terbuat dari kapuk. Bahan dari pohon kapas untuk tempat tidur yang sering disebut dengan tilam oleh orang di daerah melayu pesisir. Pemuda yang berparas pucat pasi saat ini terbaring tanpa sadar. Koma, lebih tepatnya.

Pria tua yang merupakan guru dari Daffa telah berusaha untuk mengobati luka di punggungnya. Luka itu telah kering, tapi sisik siluman ular raksasa yang telah mengenai tulang punggung muridnya, membuat pemuda itu belum bisa keluar dari masa koma.

Miaw

Banu yang berada di samping kanan Daffa seolah-olah berbicara sesuatu kepada pria tua yang duduk di kursi, di pojok kamar yang berdinding kayu.

“Kakek juga bingung Banu. Entah apalagi yang harus ana lakukan. Dia belum juga siuman, padahal sudah lima hari dari kejadian itu,” nyata pria tua yang sedang duduk di kursi kayu. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala yang berambut putih.

Miiiii... aw....

Sudah kakek coba Banu, tapi Allah belum berkehendak. Ada sesuatu hikmah dari kejadian ini Banu. Tapi kakek tak tahu itu pelajaran dan hikmah apa yang akan diberikan Allah kepada kita,” ujarnya.

Meeong

Bono yang sedari tadi hanya diam di samping Daffa, menjilati pipi Daffa tepat di tahi lalat yang berada di tulang pipi sebelah kiri. Masih ada bekas luka karena terkena gesekan pasir. Berulang kali Kucing Persia berwarna hitam melakukan hal itu. Dia berusaha untuk membuat tuannya sadar dari siumannya.

Meeong...

Suara Bono semakin menyayat hati. Kini kepalanya tertunduk. Berhenti melakukan jilatan yang sudah puluhan kali dilakukannya selama lima hari ini.

“Banu... Bono..., tetaplah berada di samping Daffa. Kalian bisa mengambil energi negatif dari tubuhnya. Kakek akan mencari cara lain. Insya Allah ada satu jalan yang bisa menyembuhkan Daffa,” pinta pria tua yang memakai jubah putih. Dia mengambil peci putih yang terletak di meja. Peci putih berbentuk sedikit unik. Bentuk atasnya meruncing seperti piramid. Lalu bergegas menuju pintu keluar kamar yang berbahan kayu. Menoleh sekali ke arah Daffa dan kedua Kucing Persia peliharaan muridnya.

“Jangan tinggalkan tuan kalian ya, Kakek akan kembali secepatnya,” pinta pria tua. Dia tersenyum ke arah kedua kucing itu.

Miaw.

Meong.

Dengan perlahan pria tua membuka pintu kamar dan kembali menutupnya setelah dirinya yang kurus keluar dari tempat tersebut.

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu suatu pelajaran dari Tuhanmu, dan penyembuh segala penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus : 57).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status