Share

Hari Pertama

Jasmine menelan salivanya dalam. Berusaha melenyapkan rasa takut yang mendadak mulai menggerogoti tubuhnya saat sudah berada di depan kamarnya. Akhirnya Jasmine memutuskan untuk memutar knop pintu yang sudah lama ia pegang dari tadi. Pintu kamar itu pun terbuka lebar untuk Jasmine. 

Manik amber Jasmine langsung bertabrakan dengan tubuh Emir yang membelakanginya sesudah Jasmine masuk ke dalam. Kemeja lengan panjang itu membalut tubuh Emir dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan pesonanya. 

“Kau membuatku menunggu.” Suara itu masuk, menendang kuat telinga Jasmine yang berhasil membuat dirinya semakin takut. Pria itu berbalik badan. Menatap Jasmine dengan tatapan tajam seperti biasanya. “Berani sekali kau membuatku menunggu,” tuturnya yang lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dengan tangan yang diletakkan di bahu sofa. 

Dengan penuh ketakutan yang memburu, Jasmine berjalan mendekat. Menunduk, mengamati sepatu tanpa heels miliknya. “A—aku pergi mengantarkan makanan untuk Andrea.” Dalam hati, Jasmine mengumpat karena suaranya yang mendadak gugup.Bahkan untuk menatap Emir saja tidak bisa Jasmine lakukan. 

Kemana keberaniannya? Kenapa disaat berhadapan dengan Emir, Jasmine berubah menjadi seorang perempuan yang takut akan segala hal?

Emir tersenyum miring mendapati tubuh Jasmine yang bergetar ketakutan. “Ambil!” pintanya mengangkat dokumen yang dari tadi sudah terletak di meja yang membatasi mereka. 

Jasmine mendongak lalu menjatuhkan tatapannya ke dokumen itu secepat mungkin. Dia sangat meminimalisir kesempatan untuk menatap mata abu-abu Emir. 

“Baca!” perintah Emir sesudah Jasmine mengambil dokumen tersebut. Lagi-lagi dengan tangan yang gemetar. 

Sebelum membaca, Jasmine menyempatkan menghirup oksigen untuk mengumpulkan fokusnya yang sedari tadi tak bisa ia bangun karena Emir yang terus menatapnya lekat. 

Peraturan Pernikahan

  1. Kedua belah pihak tidak boleh melibatkan perasaan. 
  2. Kedua belah pihak tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain. 
  3. Kedua belah pihak harus menunjukkan keharmonisan saat sudah berhadapan dengan Teresa. 
  4. Jasmine tidak boleh meninggalkan mansion tanpa pemberitahuan sama sekali. Dia harus memberitahukan terlebih dahulu kepada Deniz, sekretaris pribadi Emir. 
  5. Jasmine tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, apapun bentuknya. 
  6. Sebagai bayaran dari apa yang dilakukan Jasmine, Emir akan memberikan sejumlah uang yang beda dari uang bulanan.  

Jika salah satu pihak tidak menyanggupi ini, maka pihak tersebut harus membayar sejumlah $100.000.000 kepada pihak lain dan siap untuk dibawa ke hukum. 

Jasmine menyipitkan matanya saat membaca peraturan. Dia kembali membaca peraturan itu untuk memastikan apa yang ia baca benar. 

“Kau tidak perlu menandatangani-nya.” Jasmine mendongak. Dia belum mengeluarkan suara sebagai aksi protes akan peraturan tersebut. “Atau bahkan protes ... karena kau sudah menandatangani ini sebelumnya bersamaan dengan dokumen pernikahan.”

Jasmine terkejut. Tetapi dia berusaha melenyapkan raut terkejutnya sekuat mungkin. 

Bukannya menyalahkan Emir karena telah menipunya, Jasmine malah menyalahkan dirinya karena tidak membaca apapun dokumen yang ia tandatangani. Suasana pesta tadi sangatlah ramai, sampai-sampai tidak ada waktu bagi Jasmine untuk membaca dokumen-dokumen yang ia tandatangani. 

Emir berdiri dan kemudian berjalan mendekati Jasmine yng hanya bisa terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Dia berjalan memutari Jasmine hingga berhenti tepat di belakang wanita itu. Kepalanya menyusup melalui bahu Jasmine. 

Embusan napas yang berasal dari Emir sukses membuat napas Jasmine tercekat. Tubuh wanita itu meremang. 

Pria itu tersenyum tipis saat bisa melihat wajah Jasmine dengan jelas dari samping. 

Tepat di telinga Jasmine, pria itu berkata, “Tidak perlu takut. Kau akan diberikan uang yang banyak setiap bulannya. Setidaknya itu adalah hal untuk membalas semua yang kau lakukan ... menyandang gelar Zufran, menjadi nyonya di mansion mewah ini, menjadi topik berita di setiap media, dan mendapatkan banyak uang. Ck,ck,ck ... keuntungan yang sangat banyak, bukan?”

Jasmine tersenyum getir. Keuntungan? Apa ini pantas disebut keuntungan? Ini adalah kerugian yang sangat besar yang pernah Jasmine rasakan. 

Tetapi saat dia ingin berteriak tepat di wajah Emir, mendadak kalimatnya menjadi hancur berantakan— tak bisa dikeluarkan dengan baik. Begitu juga dengan pita suaranya yang hilang entah kemana.

Jasmine hanya bisa terdiam dengan ketakutan yang mendekap dirinya. 

“Oh ... kalau kau keberatan, silakan bayar denda seratus juta dolar. Itu pun kau masih tak akan bisa kabur dari lingkaran-ku,” lanjut Emir lalu berjalan mundur ke belakang untuk masuk ke kamarnya melalui pintu yang ada dalam kamar Jasmine. 

Jasmine jatuh terduduk. Ia sudah tak sanggup menahan tubuhnya karena lututnya sudah sangat lemas. $100.000.000 ... bagaimana bisa Jasmine memberikan itu? Bahkan uang terbanyak yang dia pegang hanyalah $500, itu pun hanya sekejap berada dalam genggamannya. 

“Jasmine, kau sudah masuk dalam lingkaran ini. Kau tidak bisa pergi. Yang bisa kau lakukan adalah menurut dan masuk ke dalam permainan yang entah kapan berakhir.”

Itulah yang diteriaki oleh hati dan pikiran Jasmine yang entah kenapa bisa berjalan seirama. 

***

Mata Jasmine terbuka perlahan-lahan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dia mengambil ponsel yang terletak di meja nakas sesudah terduduk di kasur. 

Jam lima pagi adalah jam dimana dia sudah bagun hari ini. Tidak perlu terkejut, pasalnya Jasmine selalu bangun di jam seperti itu. Saking terbiasanya, dia bahkan tidak memerlukan alarm. 

Setelah selesai mengguyur tubuhnya, Jasmine keluar dari kamar mandi dengan jubah handuk. Dia mandi dengan air dingin. Air dingin itu seolah membantu Jasmine untuk memulihkan sebagian jiwanya yang masih terlelap di alam bawah sadar. 

Tangan Jasmine memutar knop pintu salah satu pintu yang ada dalam kamarnya. Walk-in closet. Itu yang ada dalam benak Jasmine saat melangkah masuk. 

Ruangan dengan luas hampir seluas kamar Jasmine itu dihiasi dengan lemari-lemari putih berpintu kaca. 

Hanya ada beberapa pakaian yang menggantung indah dengan bantuan hanger. Lainnya, lemari-lemari itu kosong. Tidak ada barang yang mengisinya. 

Jasmine menghembuskan napasnya kasar. Dia tidak punya banyak waktu untuk berkeliling atau bahkan memuji ruangan serta isinya ini. 

Segera saja dia mengambil kaus yang menurutnya paling sederhana, beserta dengan celana jeans lalu segera mengenakan di tubuh sintalnya. Tidak ada pilihan selain kaus dan jeans, maka dari itu Jasmine menjatuhkan pilihannya di kaus paling sederhana. 

Meskipun demikian, Jasmine tidak menemukan kata sederhana dalam pantulan kaca yang memuat dirinya sesudah memakai pakaian tersebut. Pakaian mahal itu memang sangat membuat Jasmine berubah drastis dari yang sebelum-sebelumnya. 

“Ayo, Jasmine,” gumam Jasmine untuk menyudahi kegiatan berkaca di kaca yang memuat dari atas kepala sampai telapak kaki. 

“Astaga!” pekik Jasmine tertahan saat membuka pintu kamarnya. Pasalnya, seorang bocah kecil sudah berada di sana sambil mendongakkan kepalanya. 

“Kenapa kau kaget?” tanya Andrea dengan alis yang terangkat. “Aku padahal ingin masuk dan melihat kamarmu.”

Jasmine menggeleng dengan senyuman. Dia berniat ingin menggoda Andrea sedikit. “Ah, tidak perlu. Mommy tidak menginginkan kau masuk ke dalam.” Seperti ada getaran aneh dalam diri Jasmine ketika memakai sebutan itu. Mommy … dia sudah menjadi seorang ibu diumurnya yang terbilang muda. 

Sukses, Jasmine dapat melihat raut wajah Andrea yang berubah. 

“Terserah,” katanya yang lalu melangkah pergi dari sana. 

Jasmine mengejar dengan langkah lebarnya. “Kau merajuk?” tanya Jasmine sesudah menyamakan langkah kakinya dengan Andrea. Mereka menuruni tangga satu persatu. “Andrea—“

“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Andrea yang berhenti setelah mencapai lantai dasar. 

Jasmine berjongkok. Memegang bahu Andrea yang sudah memakai seragam dengan rapi. “Tidak masalah. Itu normal. Tapi Mommy hanya berniat menggodamu saja tadi,” tutur Jasmine sambil mencubit lembut hidung mancung Andrea. 

“Caramu tidak menarik sama sekali.”

“Ya, Mommy  tahu. Tapi setidaknya Mommy sudah berusaha,” jawab Jasmine. “Ayo. Kau harus sarapan sebelum pergi ke sekolah.”

“Dan kau?” tanya Andrea. Dia meneliti pakaian Jasmine. “Kau pergi mengajar ke sekolah dengan kaus?”

“Tidak ada kegiatan mengajar atau bekerja di luar. Dia sudah berhenti.”

Sebelum Jasmine menjawab, Emir yang juga menuruni tangga yang sama dengan mereka menjawab. Dia menatap sekilas lalu berpaling ke jam yang sedang ia pakai. Kaki itu terus melangkah meninggalkan mereka, berjalan masuk ke ruang makan. 

“Apa maksudnya?” tanya Andrea mendesak. 

Jasmine tersenyum paksa. “I—iya. Mommy sudah tidak bekerja—“

“Apa dia memaksamu?” potong Andrea. Kini tatapannya berubah. “Lalu siapa yang mengajariku disana? Kau tega meninggalkanku? Oke … biar aku beri pelajaran pria itu—“

“Andrea.” Jasmine menahan tubuh Andrea yang hendak berlalu. “Jangan seperti itu. Kau harus hormat kepada pria itu. Dia juga orang tuamu, sama seperti Mommy … lagipula ini bukan keputusan daddy, ini keputusan Mommy. Mommy … ingin menghabiskan waktu lebih banyak di mansion, bersama denganmu tentunya setelah kau pulang sekolah.”

Andrea terlihat berpikir. “Kalau begitu aku lebih baik tidak sekolah.”

“Maka kau akan melihat Mommy marah,” timpal Jasmine yang berhasil membuat Andrea tak berdaya. “Ayo. Kita sarapan, setelah itu Mommy akan mengantarmu sampai depan. Dan setelah pulang sekolah kita akan menghabiskan banyak waktu.”

“Terlihat membosankan,” timpal Andrea dengan wajah tertekuknya. 

“Tidak akan. Mommy jamin,” sahut Jasmine sambil menggandeng tangan Andrea sebelum berjalan ke ruang makan. 

Bocah laki-laki itu makan dengan sangat lahap. Dia menghabiskan dua lembar roti tawar berisi selai kacang dan segelas susu vanilla. Menu makanan yang cukup untuk sarapan. 

“Ayo, sekarang kau harus salim ke daddy,” bisik Jasmine sudah Andrea berdiri dari bangkunya. 

Bocah itu terdiam. Salim? Dia mengerti, tetapi Andrea tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Dia menghela napasnya ketika melihat tatapan Jasmine seolah tidak mengizinkan Andrea menolak. Segera saja dia berjalan mendekati Emir yang sedang sibuk dengan tablet di tangannya. 

“Andrea ingin pamit ke sekolah.”

Setelah Andrea berhenti, suara Jasmine terdengar, membuat Emir menoleh ke samping, menatap Andrea dengan tatapan bingung karena bocah itu mengulurkan tangannya. 

Tanpa berkata, bocah itu segera mengambil tangan kanan pria itu, menciumnya, lalu melangkah dengan cepat ke luar ruangan makan. 

“Tadi adalah kegiatan salim. Aku mengajarkan mereka di sekolah seperti itu,” jelas Jasmine, berjaga-jaga kalau Emir tidak mengetahui hal tersebut. Walau tinggal di benua Amerika, Jasmine tetap berusaha mencari tahu bagaimana sistem di benua Asia, dan dia mendapatkan satu hal yang cukup baik, yaitu kegiatan salim atau cium tangan. 

Emir berdecak sebal. Dia terus menatap punggung Jasmine sampai tidak terlihat, menandakan kalau wanita itu sudah pergi dari ruang makan. 

“Dia pikir aku tidak tahu!” gumam Emir kesal yang lalu berdiri karena ingin pergi ke perusahaan. Deniz sudah menghubunginya kalau dia dan sopir sudah menunggu di luar. 

***

“Andrea, dengarkan Mommy, kau tidak boleh membantah apa kata guru. Anggap mereka seperti Mommy, itu tandanya kau tidak boleh membantah mereka. Kau paham?” Sebelum pergi, Jasmine mencoba berkompromi dengan Andrea. 

Andrea dengan malasnya mengangguk. “Ya,” jawabnya malas. 

Jasmine tersenyum. “Setelah pulang sekolah, Mommy akan mengajakmu membuat donat,” kata Jasmine dengan mata binarnya. Dia mendapatkan informasi dari Fazilet kalau Andrea sangat menyukai donat. 

“Donat? Apa kau bisa membuat seenak yang dijual di toko?”

“Tentu! Tapi dengan satu syarat, kau harus fokus sekolah!”

Emir yang baru saja keluar memberhentikan langkahnya. Dia mengamati interaksi mereka, tetapi setelah itu dia segera melangkahkan kakinya, melewati Jasmine dan Andrea yang menyadari keberadaan Emir karena pria itu melewati mereka. 

Ibu dan anak itu menatap Emir yang masuk ke dalam limousine hitam, tak menunggu lama, mobil itu segera menjauh dari mansion. 

“Ayo, kau tidak boleh terlambat,” tutur Jasmine sambil menuntun Andrea masuk ke dalam mobil. Dalam hati, dia cukup menyesali tingkah laku Emir yang seperti tidak menganggap keberadaan mereka. Setidaknya pria itu harus memikirkan Andrea. Tetapi yang ada, pria itu malah membutakan matanya, seolah hanya dia yang hidup di mansion mewah ini. 

“Apa Emir memang seperti itu?” Jasmine bertanya pada Fazilet setelah wanita itu mengantarkan segelas teh hijau ke taman. Sesuai dengan apa yang Jasmine minta sesudah Andrea pergi ke sekolah. “Maksudnya, dia seperti tidak menyayangi Andrea dan bahkan bertingkah seperti Andrea tidak ada,” timpal Jasmine memperjelas maksudnya. 

“Iya, Nyonya. Tuan Emir sudah seperti itu sejak empat tahun yang lalu. Dan itu karena mantan istrinya.”

“Mantan istri?” tanya Jasmine tak mengerti. “Maksudnya?”

Disaat Fazilet ingin menjawab, dia melihat sesuatu dari ujung matanya. Segera saja kepalanya menoleh ke samping kanan. Di sana, sudah ada Teresa yang berjalan ke arah mereka. 

“Mommy?!” gumam Jasmine terkejut yang ikut menarik pandangan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status