Apa Author bisa minta untuk tulis review kalian tentang cerita ini? Hehehe ... thank you!
"Astaga, Sayang!" Teresa memekik kaget saat melihat bagaimana wujud dari Jasmine.
Dia memegang kedua bahu Jasmine yang masih bingung lalu memutar-mutar nya. Jasmine hanya menurut saja. Dia masih mencerna mengapa Teresa memekik kaget seperti itu.
"Pakaian apa ini, huh?" tanya Teresa sambil menggeleng tidak percaya. "Jasmine, dengarkan Mommy baik-baik. Kau sudah menjadi istri Emir Zufran. Dan sudah sepantasnya kau memperhatikan pakaian apa yang kau gunakan."
Jasmine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia melihat ke bawah, meneliti pakaian yang Jasmine pakai. Kaus longgar dan celana jeans, lalu apa salahnya?
"Mom, apa ini tidak pantas?" tanya Jasmine hati-hati.
"Bukan begitu, Sayang. Kau bisa memakai pakaian seperti ini. Tapi masalahnya kau tidak bisa memakai pakaian ini di luar rumah. Lihat, celana ini malah membentuk paha dan bokong-mu yang padat," kata Teresa sambil menunjuk celana yang Jasmine kenakan.
Jasmine mengangguk dengan tidak enak hati. "B—baik, Mom," sahut Jasmine, "Aku ganti pakaian dulu."
"Mommy ikut!" kata Teresa yang lalu menarik tangan Jasmine, masuk ke dalam mansion untuk menuju kamar Jasmine dan meninggalkan Fazilet yang masih terkejut di taman.
Jasmine menjadi kalang kabut sendiri. Tidak mungkin dia membawa Teresa ke dalam kamarnya. Sedangkan kalau dia membawa ke kamar Emir, itu juga sama salahnya. Pasti walk-in closet Emir tidak ada barang-barang Jasmine.
"Mom." Jasmine memanggil sambil memberhentikan langkahnya saat mereka ingin menaiki lift. Dan terkutuklah Jasmine saat baru tahu kalau mansion ini dilengkapi oleh lift. Dia seperti orang asing yang tidak tahu seluk beluk mansion mewah ini.
"Kenapa?" Teresa bertanya dengan alis yang menyatu.
Jasmine pura-pura meringis. "A—aku tidak punya pakaian—"
"APA?"
Jasmine memejamkan matanya terkejut karena teriakan Teresa.
"I—iya, Mom. Ini adalah pakaianku yang lama. Sedangkan barang-barang ku yang lainnya belum aku bawa ke mansion. Jadi … aku terpaksa memakai pakaian ini."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Sayang?" tanya Teresa kesal. Walau sudhah kesal, wanita paruh baya itu masih sempat memanggil Jasmine dengan sebutan yang sangat manis. Itu berhasil membuat Jasmine terpesona. "Ya, sudah. Ayo!"
"K—kemana, Mom?" tanya Jasmine bingung sambil menahan kakinya untuk tidak bergerak. Sementara tangannya sudah dalam kondisi tertarik.
"Berbelanja," jawab Teresa, "Mommy akan menemani-mu belanja. Kita harus membeli banyak keperluan untukmu. Dan untuk pakaian lamamu, sebaiknya kau tinggalkan atau disumbangkan. Kau sekarang menjadi Nyonya Zufran, maka dari itu kau harus mengganti gaya pakaianmu … Tidak ada kesederhanaan melainkan kemewahan klasik, paham, Jasmine? Sepertinya Mommy akan memberikan pelajaran yang banyak tentang ini nanti."
Jasmine terdiam. Berbelanja, itu berarti dia membutuhkan uang. Tetapi uang dari mana?
Apa dia harus memakai kartu pemberian Emir? Emir memberikan sebuah kartu bersamaan dengan dokumen yang diterima Jasmine semalam.
"Ayo, Jasmine," ajak Teresa, "kita membutuhkan waktu yang lama nanti. Jadi kita harus cepat pergi."
Mall mewah adalah menjadi tempat pemberhentian mereka yang pertama kali.
Mertua dan menantu itu berjalan bersamaan, saling mengedarkan pandangan. Mengamati toko mana yang ingin mereka tuju pertama kalinya. Tetapi itu hanya berlaku pada Teresa, sedangkan Jasmine, dia tidak memikirkan itu. Di kepalanya adalah tentang apa yang harus Jasmine lakukan untuk membayar apa yang mereka belanjakan nantinya.
"Ayo," ajak Teresa yang duluan masuk ke dalam salah satu brand mahal.
Jasmine mengamati sekeliling. Terdapat banyak sekali jenis-jenis gaun yang sangat cantik terpampang nyata dengan bantuan patung manusia. Gaun tersebut terlihat sangat mewah dan mahal, namun klasik. Jasmine menyadari satu hal, gaun tersebut sama jenisnya dengan gaun yang Teresa gunakan.
"Ayo, tunjukkan kepada menantuku gaun mana yang cocok untuknya."
Mendengar suara Teresa yang berbicara kepada seorang wanita membuat Jasmine mempercepat langkahnya.
"Perkenalkan Jasmine Zufran." Jasmine tersenyum canggung saat Teresa memperkenalkan nya kepada para wanita-wanita yang bekerja sebagai pelayan.
"Selamat datang, Nyonya Zufran. Ini adalah salah satu kehormatan yang luar biasa bagi kami menyambut Nyonya," kata wanita itu dengan sopan sambil membungkuk sopan. "Ayo, saya akan menunjukkan beberapa koleksi yang cocok untuk Nyonya."
Sebelum menyetujui, Jasmine menyempatkan diri untuk menoleh ke Teresa yang sudah duduk di sofa.
Teresa mengangguk. Soal memahami apa maksud dari Jasmine. "Ah iya, aku ingin banyak gaun untuk menantuku. Dia harus merubah gaya berpakaiannya … kalau perlu, kalian bisa mengirimkan koleksi terbaru kalian ke mansion setiap bulannya. Aku akan memberikan alamatnya nanti," kata Teresa sebelum mereka berdua pergi.
Tak ada yang Jasmine bisa lakukan selain menuruti apa kemauan mertuanya itu.
Di kepalanya hanya teringat dengan peraturan yang Emir berikan kemarin malam.
"Ayo. Kita harus mencari heels yang cocok untukmu.”
Belum sempat Jasmine pulih dari rasa syok diakibatkan jumlah yang harus mereka bayarkan untuk puluhan gaun tadi, Jasmine harus kembali dikejutkan dengan perintah Teresa.
Membeli yang lain berarti harus mengeluarkan uang.
Bukannya Jasmine pelit akan hal itu. Tetapi masalahnya dia sudah berkomitmen untuk tidak memakai kartu yang Emir berikan. Dan tadi, dengan terpaksa, Jasmine harus memakai kartu yang sudah ingin Jasmine hancurkan kalau saja Teresa tidak datang.
"Ada apa, Sayang?"
"Huh? Tidak, Mom. Aku baik-baik saja," jawab Jasmine dengan senyumannya.
Teresa mengangguk. "Jangan pikirkan biaya yang harus dikeluarkan. Uang Emir tidak akan habis hanya karena kita belanja hari ini. Lagipula dia tidak akan mempermasalahkan ini karena yang menghabiskan uangnya adalah istri tercintanya, bukan?"
Entah berapa jam mereka menghabiskan waktu di mall besar tersebut, yang jelas rasanya kaki Jasmine ingin patah. Tetapi untung saja saat ini mereka sudah dalam perjalanan pulang.
Jasmine menoleh ke samping, melihat Teresa yang sedang mengambil ponsel dari tasnya karena ponsel itu berdering.
“Ya, halo?” sahut Teresa.
“ … “
“Ya, benar. Aku tidak tahu berapa lama aku akan tinggal, yang jelas aku ingin kau merapikan seluruh barang-barangku. Pakaian, perhiasan, dan juga obat-obatanku. Setelah itu kau bisa mengirimnya ke mansion Emir.”
Langsung saja bola mata Jasmine terbuka lebar karena mendengar mansion Emir di akhir.
“Mommy … ingin pindah ke mansion?” Jasmine mengeluarkan pertanyaannya sesudah Teresa selesai bertelepon— berusaha memastikan apa yang sedang ada di kepala Jasmine.
Teresa mengangguk. “Ya, Mommy akan tinggal di mansion kalian. Sekalian juga untuk mengajarimu, mengenai pakaian, berdandan, dan segalanya, karena kau pasti akan ikut banyak acara bersama Emir.”
Jasmine menelan salivanya berusaha meredam rasa terkejutnya. Dia hanya merespon biasa saja, lalu kemudian beralih ke ponsel yang ada di tangannya.
Jarinya dengan hati-hati mengetik kata demi kata yang dikirimkan ke Deniz, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Emir.
Jasmine :
Deniz, Mommy Teresa akan tinggal di mansion mulai hari ini. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau dia menyadari semuanya?
“Oh iya, aku harus menghubungi Fazilet. Dia harus menyiapkan kamar yang berada di samping kamar Emir.”
“Samping kamar Emir?” tanya Jasmine terkejut.
“Iya, Sayang,” jawab Teresa. “Mommy juga tidur di kamar itu jika menginap di mansion. Mommy sangat suka dengan balkonnya yang langsung menghadap taman, rasanya sangat menyejukkan!”
Jasmine hanya mengangguk saja sebagai respons. Dia juga berurusan dengan ponselnya lagi.
Jasmine :
Mommy ingin tinggal di kamarku! Bagaimana ini? Sedangkan kamar itu berisi barang-barangku!
Dalam hati, Jasmine berusaha merapalkan doa agar semuanya berjalan dengan mulus. Semoga saja Deniz segera membaca pesannya.
Yang dia takutkan adalah kesehatan Teresa. Jika Teresa tahu semuanya, maka akan berakibat buruk pada jantung wanita tua itu.
Napas Jasmine tertahan karena merasakan tangan Emir sudah melingkar di pinggangnya yang ramping. “Ayo,” ajak Emir. Mereka berjalan melewati karpet merah dengan kilatan-katan kamera yang terus saja bersahutan. Para awak media seperti mendapatkan mangsa yang sangat bagus untuk diterbitkan di halaman pertama.Pemikiran tentang makan malam sederhana langsung Emir tepis karena melihat banyaknya para media yang memenuhi depan hotel layaknya sekumpulan semut. Kalau saja Emir berjalan sendiri, maka sudah pasti kabar miring akan tersebar begitu lancarnya. Syukur saja Emir menuruti saran Deniz yang mengajak Jasmine.“Kenapa dia ada disini?” gumam Emir, melihat Tufan yang sudah duduk di bangku yang berhadapan dengan meja persegi panjang yang amat sangat besar. Rahangnya mengeras emosi. Ternyata Perusahaan Tex
Tidak hanya para orang tua murid, guru-guru juga sampai tidak fokus karena pemandandangan yang tersuguh. Para kaum wanita itu berteriak dalam hati, memuji bagaimana tampannya Emir yang bersandar di pintu mobil dengan tangan yang bersedekap. Tak lupa dengan kacamata yang menjepit hidungnya yang tinggi.Andrea, bocah itu menautkan kedua alisnya bingung sembari berjalan mendekati Emir. Ada apa gerangan pria itu kemari? Dan kemana Ozan yang seharusnya menjemput dirinya?“Apa mereka menahanmu di dalam?” Setelah Andrea sampai di depan Emir, pria tampan itu segera mengeluarkan pertanyaanya. Dia menghela napas, lalu memutuskan untuk berjongkok—menyamakan tinggi mereka.Andrea menggeleng. “Tidak, Dad. Tadi ada tugas tambahan.” Andrea menjawab
“Ambilkan ayamnya untukku.”Jasmine yang sedang memberikan lauk ke piring Andrea pun berhenti. Dalam kondisi bingung, Jasmine memilih mengangguk. Mengambilkan apa yang Emir minta setelah selesai dengan piring Andrea— mereka makan siang bersama di mansion.“Mulai sekarang aku juga ingin dilayani seperti kau melayani Andrea,” jelas Emir sesudah piring-nya terisi makanan.Alis Jasmine naik. Dirinya semakin bingung dengan tingkah Emir, namun Jasmine menganggukkan lagi kepalanya. Itu adalah perintah yang tidak sulit.Setelah acara makan siang selesai, Emir langsung bergegas pergi ke kantor untuk bekerja. Karena paksaan Jasmine di telepon tadi, akhirnya Emir memilih ma
Emir memutuskan untuk membahas semua persoalan yang terjadi belakangan ini bersama Jasmine setelah mendiami wanita itu selama beberapa hari.Sehabis kejadian malam penyatuan itu dimana Emir yang mabuk dan tak sadarkan diri, pria itu berubah seketika. Dia menjadi sangat dingin, bahkan enggan menatap Jasmine yang membuat Jasmine bertanya-tanya. Tak jarang perasaan bersalah pun menyelimuti Jasmine karena berpikir dirinya lah yang tidak bisa menjauh setelah ciuman panas yang Emir berikan.Karena tidak tahu mau memulai dari mana, akhirnya Emir membawa dasi kepada Jasmine yang sedang terduduk di depan meja rias. “Pasangkan.”Jasmine yang dapat melihat Emir dari pantulan kaca sontak terkejut. Dia berdiri, berbalik, lalu langsung dihadapkan dengan dasi Emir.
“Jawab pertanyaan Daddy, Madison!” hardik Tufan tajam. Madison terperanjat. Dia menggeleng pelan, merasa tidak yakin. “D—dad ….” Madison menunduk dalam. “Aku bersepakat akan pergi dari kehidupan Emir dan Andrea asalkan Emir memberiku uang tiap bulan.” “Apa yang kau lakukan, Madison?!” Bentakan itu keluar dengan mulusnya. Napas Tufan terengah-engah saking kagetnya. “Hanya demi uang kau tega menjual anakmu! Ibu macam apa dirimu?” “Dad, dengarkan Madison dulu,” pinta Madison sembari memegang tangan Tufan. “Tidak ada lagi yang harus Daddy dengar!” tegas Tufan dengan nada penuh yakin. “Selesaikan kesepakatan kalian dengan mandiri, baru setelah itu kau bisa datang ke Daddy! Ingat, Madison, kalau
Ayo dong kasih review nya hehehe“Apa yang kau lakukan disini?” Bariton Emir terdengar amat mengerikan sesudah mereka sampai di tangga darurat. Tidak ada siapapun disana selain mereka. Cekalan itu pun juga membuat Jasmine meringis kesakitan. Emir marah, mengetahui kalau Jasmine bekerja tanpa seizin darinya.“A—aku butuh pekerjaan,” Walau dalam kondisi penuh ketakutan, Jasmine tetap mengeluarkan jawabannya. Dia menatap manik abu Emir. “Keluargaku hidup dengan uangku! Aku harus memberi mereka uang setiap bulan—““Apa uangku tidak cukup?” Emir memotong dengan rahang yang mengetat. “Aku sudah memberimu banyak uang! Kau hanya perlu duduk diam di rumah! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah membuatku malu! Apa kata orang kalau menyadari dirimu