“Silakan masuk, Nyonya Jasmine.” Deniz mengangguk kecil setelah membukakan pintu kamar yang akan ditempati Jasmine setelah resmi menyandang gelar sebagai istri Emir.
Benar, pernikahan mereka terjadi dengan paksaan. Jasmine terpaksa harus menerima tawaran yang diberikan oleh Emir. Pasalnya pria kejam itu memberitahu kalau Teresa mengidap penyakit jantung yang kapanpun bisa kambuh, apalagi jika mengetahui kabar kalau mereka tak memiliki hubungan apapun.
Pernikahan tersebut terjadi di mansion ini. Mansion dengan luas bangunan yang luas sanggup memuat ratusan banyak orang penting dari keluarga dan teman bisnis Emir. Teresa menyiapkannya dengan sempurna sehingga tidak menimbulkan curiga di kepala para tamu
Jasmine melirik Deniz dengan tatapan tak suka. “Aku tidak mau. Bawa aku pergi dari sini,” mohon Jasmine. “Bagaimana … bagaimana bisa aku tidur bersama dengan pria yang bahkan tidak aku kenal sama sekali!”
Deniz tersenyum tipis. “Jika Nyonya ingin protes, silakan pergi ke Tuan Emir.”
Wajah Jasmine berubah masam. Dia meringis. Tidak mungkin hal itu terjadi. “Lalu apa gunanya dirimu?” tanya Jasmine kesal. “Kau yang sudah bekerja bertahun-tahun dengan pria itu harusnya tidak perlu merasa takut lagi!”
“Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa. Lebih baik Nyonya langsung menghadap Tuan Emir. Tunjukkan keberanian yang Nyonya miliki di hadapan Tuan Emir,” saran Deniz dengan sopan.
Bagaimana bisa Jasmine melakukan itu. Dia adalah orang yang berani, tetapi entah mengapa jika sudah berhadapan dengan Emir, seluruh keberaniannya berubah menjadi titik kecil. Emir seakan menyerap keberanian yang Jasmine miliki, pria itu seolah tidak ingin melihat orang lain memiliki keberanian saat sudah menghadap padanya.
“Lagi pula, ini bukanlah kamar Tuan Emir, Nyonya.” Kalimat Deniz membawa Jasmine kembali ke dunia nyata. “Ini kamar Nyonya sendiri. Dan kamar Tuan ada di sebelah. Nyonya bisa mengakses melalui pintu yang ada dalam kamar. Berjaga-jaga kalau Nyonya Teresa datang, Nyonya Jasmine bisa langsung masuk ke kamar Tuan Emir.”
“Pria itu memikirkannya dengan sangat matang,” cibir Jasmine yang masih dapat didengar oleh Deniz.
“Silakan, Nyonya. Saya harus pergi ke Tuan Emir,” kata Deniz. “Tapi sepertinya akan seru jika Nyonya sedikit menentang Tuan Emir,” saran Deniz sebelum pergi dari sana.
Jasmine melengos tak percaya. “Itu sama saja membangunkan harimau.” Jasmine menyahut sesudah Deniz pergi dari sana.
Perempuan dengan gaun putih klasik itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan kesusahan karena gaun tersebut melebihi batas tingginya. Pandangannya mengedar. Mengamati ruangan yang sangat besar. Bahkan ruangan itu lebih besar daripada apartemen kecil yang ia miliki.
Satu tempat tidur besar, dua sofa panjang, meja di setiap sudut, satu televisi besar, balkon, dan ada tiga buah pintu yang Jasmine tidak tahu terhubung dengan ruangan apa. Pasti dari ketiga itu terdapat kamar mandi dan kamar Emir.
Jarinya menyentuh meja panjang yang bersentuhan dengan dinding langsung. Terasa lembut di kulit Jasmine. Lalu berpindah mengamati televisi besar yang ada di atas meja sebelum akhirnya dia duduk di atas kasur.
Miliknya … dapatkan Jasmine menyebutkan itu sekarang? Perempuan itu sontak menggeleng kuat. Ini semua terjadi karena paksaan. Jasmine tidak akan mendapat apapun dari ini semua atau bahkan melakukan pekerjaannya sebagai seorang istri.
Bahkan, perempuan itu belum terpikir sama sekali dengan apa yang ia lakukan untuk melanjutkan kehidupannya di rumah mewah ini.
“Kau sudah menikah Jasmine. Menikah dengan seorang billionaire kejam yang bahkan tidak mau melihat wajahmu,” ejek Jasmine sembari menghapus air mata yang tiba-tiba jatuh menggunakan tangannya. Mendadak dirinya menjadi sangat emosional sampai-sampai air mata yang tidak diharapkan untuk keluar malah membasahi pipinya.
“Nyonya.” Fazilet masuk ke ruangan Jasmine sesudah perempuan itu mengizinkannya. “Silakan berganti pakaian, Nyonya. Sebentar lagi kita akan makan malam di bawah.”
***
Emir melemparkan ponselnya di meja kerjanya dengan kasar sehabis bertelepon dengan beberapa media. Dia memijit pelipisnya. Berusaha meredakan pusing yang dari tadi melanda kepalanya. Kepalanya sangat penuh, sampai-sampai dia tidak tahu harus melakukan apa sebagai langkah selanjutnya.
“Saya sudah mengusir para media dari depan, Tuan,” jelas Deniz sesudah masuk ke dalam ruangan. Dia berjalan dan berhenti tepat di depan Emir. “Apa ada lagi yang Tuan ingin saya lakukan?”
Kabar pernikahan Emir yang kedua kalinya tersebar ke seluruh penjuru dunia. Para awak media berhamburan datang menyelimuti mansion Emir bak seperti kumpulan semut. Mereka berbondong-bondong menodongkan pertanyaan seputar pernikahan Emir dan Jasmine.
Tentu hal itu akan dicegah oleh Emir. Dia tidak akan membuat para awak media makan dengan berita yang menurutnya tidak berguna sama sekali.
“Perhatikan seluruh berita. Aku tidak mau ada hal buruk yang tertuang di dalam sana. Mereka hanya boleh tahu kapan pernikahan ini dilaksanakan, tidak alasan atau bahkan mencari-cari informasi wanita itu. Paham?” perintah Emir diangguki paham oleh Deniz.
Emir berdiri. Membuka jas putih yang menyelimuti tubuhnya lalu disampirkan ke kepala kursi. Sebelum berjalan keluar, dia menyempatkan diri untuk bersuara. “Setelah makan malam, bawa dokumen yang kuminta. Aku akan menyerahkan sendiri dokumen itu ke dia.”
“Baik, Tuan. Saya akan menyiapkannya segera.”
“Mommy?” Emir bertanya sambil mengangkat alisnya satu. “Apa mommy masih ada disini?”
Deniz menggelengkan kepala. “Nyonya Teresa sudah pulang dua jam yang lalu ke mansion … apa Tuan ingin saya memanggilnya?”
“Tidak.” Setidaknya Emir bisa bernapas lega dikarenakan kepalanya tidak akan berpikir mengenai Teresa. “Biarkan saja. Dia pasti sedang menyusun rencana lain,” lanjutnya yang lalu melenggak pergi dari sana.
***
Jasmine memaku di tempat saat melihat ruangan yang disebut ruangan makan. Ada meja kayu berbentuk oval yang sangat besar dengan beberapa bangku yang menghiasinya. Setelah cukup meneliti ruangan tersebut, Jasmine segera bergerak untuk bergabung dengan Fazilet.
“Fazilet.”
“Iya, Nyonya?” sahut Fazilet yang langsung memberhentikan kegiatannya menyusun makanan.
Jasmine menghela napasnya kesal. Dia sungguh merasa tidak nyaman. Pertama, dia hanya diperbolehkan duduk dan menonton Fazilet menyiapkan makanan seorang diri, entah kemana para pelayan lainnya. Kedua, panggilan yang Fazilet berikan terasa menyakitkan di telinga Jasmine.
Dia tidak ingin seperti ini. Sudah berapa kali Jasmine berkompromi kepada mereka. Namun sayang, mereka semua menolak dengan alasan pria kejam yang sebentar lagi akan turun ke bawah.
“Kemana Andrea?” tanya Jasmine pada akhirnya yang malas menyinggung masalah tadi.
Fazilet menjawab, “Tuan Andrea berada di kamar. Tuan Andrea tidak turun setelah pesta. Mungkin nanti saya akan mengantarkan makanan ke kamar Tuan.”
“Ah, tidak perlu,” tolak Jasmine dengan senyuman. Dia berdiri.
Jasmine mengambil nampan, lalu menyusun piring-piring itu ke dalam sesudah mengisinya dengan makanannya yang menggugah selera itu. Baru kali ini dia merasa sulit untuk memilih menu makanan yang ingin ia masukkan karena saking banyaknya. Biasanya, Jasmine kesulitan memilih makanan karena uangnya yang tidak cukup.
Dia mengabaikan Fazilet yang hendak mengambil ahli pekerjaannya. “Aku bisa menyiapkan sendiri. Tenang saja. Biar aku saja yang mengantarkan makanan ini.”
“Tapi, Nyonya, sebentar lagi Tuan akan datang—“
“Lalu?” Jasmine memotong. Dia mengeluarkan tatapan tajamnya. Fazilet terdiam dibuatnya. “Biarkan dia datang dan makan sendiri. Aku bisa makan sendiri. Lagipula dia tidak akan peduli jika aku mati kelaparan.”
Jasmine pergi dengan membawa nampan itu. Menaiki tangga hingga sampai ke kamar Andrea yang tertutup rapat. Dengan penuh kesusahan, Jasmine membuka pintu itu. Dia meletakkan nampan di meja sebelum akhirnya mengedarkan pandangan.
“Andrea.” Jasmine memanggil Andrea yang sedang terfokus pada komputernya setelah membuka satu ruangan yang tertutup. Ruangan yang Jasmine ketahui sebagai ruangan komputer Andrea. Dia tersenyum setelah Andrea menoleh. “Ayo. Kemari. Aku membawamu makan malam.”
Andrea membuang wajahnya. Dia kembali menatap komputer itu. “Aku tidak mau,” tolaknya.
Jasmine menghela napasnya. Dari nada yang Andrea keluarkan, sudah menjawab semuanya bahwa ada yang salah di bocah itu.
“Ada apa? Apa kau punya masalah dengan komputer atau programmu?” tanya Jasmine sesudah memutar kursi putar itu agar menghadapnya. Dia mengelus bahu Andrea sambil mensejajarkan tubuhnya dengan lutut menyentuh lantai. “Kau bisa menceritakannya dan kita akan mencari solusi sama-sama.”
“Kau sudah menjadi istri Emir Zufran, itu berarti kau sudah menjadi mommy-ku,” tutur Andrea dengan suara lugunya. “Lalu apa kau akan tinggal disini?”
Jasmine tersenyum. “Tentu” jawabnya. “Apa kau tidak menyukainya?”
Bocah itu sontak menggeleng. “Tinggalah disini.” Dan kalimat yang Andrea keluarkan berhasil membuat Jasmine terdiam. “Aku tahu kalau pria itu tidak memperlakukanmu dengan baik, tapi setidaknya ada aku. Aku akan menjagamu. Kita akan melawan pria itu bersama-sama. Kau mengerti?”
Belum sempat menjawab, Andrea langsung turun dan menggandeng tangan Jasmine untuk dituntun ke sofa. Dia melirik makanan itu kemudian melirik Jasmine. “Aku pernah melihat ada anak yang disuapi oleh orang tuanya di video … Apa kau ingin melakukannya?”
Jasmine memohon dalam hatinya untuk tidak mengeluarkan setetes cairan bening dari matanya. Dia harus kuat. Dia tidak boleh terlihat seperti mengasihani bocah di hadapannya karena Andrea pasti tidak akan menyukainya.
“Tentu,” jawab Jasmine yang kemudian mengambil piring dari nampan itu.
Dengan telaten, Jasmine memasukkan satu persatu sendok yang berisi makanan itu ke dalam mulut Andrea. Bocah itu tidak menolak, dia selalu setia membuka mulutnya untuk menyambut masuk makanan yang berasal dari Jasmine. Selama dia makan, Andrea selalu menatap wajah Jasmine dengan diam tanpa bersuara.
“Kau sangat pintar,” puji Jasmine sesudah Andrea meminum air putih yang dia berikan. Jasmine menyusun kembali peralatan makanan itu ke dalam nampan. “Jangan lupa gosok gigi lalu kau bisa tidur. Ingat, kau tidak boleh menyentuh komputermu malam ini!”
“Ck, kau sangat bawel,” cibir Andrea dengan tatapan sebal.
Jasmine terkekeh sambil mengusap rambut Andrea. Dan anehnya, Andrea tidak mengeluarkan protes sedikitpun seperti yang ia lakukan pada orang lain.
Jasmine berjalan turun ke bawah dengan nampan tersebut. Dia lega karena melihat ruang makan sudah tidak ada orang. Dan makanan yang tersusun rapi tadi sudah berkurang— menandakan kalau Emir sudah makan juga.
Tak mau berlama-lama, dia menggerakkan kakinya menuju bagian dapur. Melihat Fazilet yang sedang menyusun bahan makanan.
“Makanannya habis.”
Jasmine yang mendengar gumaman itu sontak menoleh ke Fazilet yang sedang menatap nampan yang Jasmine pegang.
“Tentu,” jawab Jasmine sambil meletakkan nampan tersebut di meja dekat dirinya. “Memangnya kenapa? Apa dia tidak pernah menghabiskan makanannya?”
Fazilet mengangguk ragu.
“Kalau seperti itu, mulai hari ini aku saja yang menyiapkan keperluan makanan Andrea. Mulai dari memasak sampai memberikannya langsung,” putus Jasmine sesudah menghela napasnya. “Tidak ada protes, Fazilet. Jangan perlakukanku sepeti orang penyakitan yang tidak bisa melakukan apapun.”
“N—nyonya.” Fazilet memberhentikan langkah kaki Jasmine yang hendak pergi keluar dapur. Dia meringis pelan. “Tuan Emir menunggu Nyonya di kamar Nyonya dari tadi.”
“APA?” Jasmine memekik tertahan.
Jasmine menelan salivanya dalam. Berusaha melenyapkan rasa takut yang mendadak mulai menggerogoti tubuhnya saat sudah berada di depan kamarnya. Akhirnya Jasmine memutuskan untuk memutar knop pintu yang sudah lama ia pegang dari tadi. Pintu kamar itu pun terbuka lebar untuk Jasmine. Manik amber Jasmine langsung bertabrakan dengan tubuh Emir yang membelakanginya sesudah Jasmine masuk ke dalam. Kemeja lengan panjang itu membalut tubuh Emir dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan pesonanya. “Kau membuatku menunggu.” Suara itu masuk, menendang kuat telinga Jasmine yang berhasil membuat dirinya semakin takut. Pria itu berbalik badan. Menatap Jasmine dengan tatapan tajam seperti biasanya. “Berani sekali kau membuatku menunggu,” tuturnya yang lalu menjatuhkan bokongnya di sofa dengan tangan yang diletakkan di bahu sofa.&nb
Apa Author bisa minta untuk tulis review kalian tentang cerita ini? Hehehe ... thank you!"Astaga, Sayang!" Teresa memekik kaget saat melihat bagaimana wujud dari Jasmine.Dia memegang kedua bahu Jasmine yang masih bingung lalu memutar-mutar nya. Jasmine hanya menurut saja. Dia masih mencerna mengapa Teresa memekik kaget seperti itu."Pakaian apa ini, huh?" tanya Teresa sambil menggeleng tidak percaya. "Jasmine, dengarkan Mommy baik-baik. Kau sudah menjadi istri Emir Zufran. Dan sudah sepantasnya kau memperhatikan pakaian apa yang kau gunakan."Jasmine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia melihat ke bawah, meneliti pakaian yang Jasmine pakai. Kaus longgar dan celana jeans, lalu apa salahnya?
Jasmine setidaknya bisa bernapas lega kali ini. Pasalnya sehabis mereka turun dari mobil, sudah ada Deniz yang berada di depan, menyambut mereka.“Oh, Deniz, ada apa? Apa kau mengambil dokumen yang tertinggal?” Teresa mengeluarkan pertanyaannya sesudah mendekat.Deniz menggeleng. “Tidak, Nyonya. Saya mendengar kabar dari Nyonya Jasmine kalau Nyonya hari ini mulai tinggal di mansion … jadi saya sudah menyiapkan segalanya, termasuk juga dengan kamar yang biasa Nyonya gunakan.””Benarkah? Padahal Mommy tidak melihat Jasmine menghubungimu tadi,” sahut Teresa sambil melirik Jasmine.“I—iya, Mom. Tadi aku mengirimkan pesan di jalan,” jelas Jasm
Mata Emir memicing tidak suka. Rahangnya mengeras keras. Dia berdiri. Berjalan dengan langkah tegasnya mendekati Jasmine yang juga berjalan mundur ke belakang karena takut."Apa yang kau lakukan disini?" Emir bertanya dengan suaranya yang meninggi sesudah jarak mereka hanya dua langkah.Jasmine menelan salivanya dalam. Dia berusaha mengumpulkan keberaniannya yang sudah hancur berkeping-keping. "A—aku—""Kau keluar dari kamar mandi milikku?!" Kalimat Jasmine menggantung karena Emir. Emir menggeleng tak percaya. Suasana juga semakin mencekam. "KELUAR!"Jasmine terperanjat kaget. Dia menggeleng. "Aku tinggal disini mulai sekarang!" Dan dengan secepat kilat, Jasmine mengeluarkan jawabannya. Dia m
Emir terdiam mendengar penjelasan Jasmine … mereka membuat donat itu bersama-sama. Jujur saja, donat tersebut menggugah selera Emir. Tetapi tidak mungkin baginya untuk makan di depan Jasmine langsung … itu sama saja membuat harga dirinya tercoreng. “A—apa kau tidak menyukainya?” Jasmine bertanya dengan hati-hati. “Donat tersebut sangat sehat. Bahannya juga baru dan berkualitas. Aku jamin kau akan sangat menyukainya.” Emir malah menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. “Keluar.” Mata Jasmine membola. Apa katanya? Keluar? Sungguh, Jasmine sangat dipermalukan sekarang! Bukannya mengucap terima kasih atau membalas pertanyaan nya, pria itu malah menyuruhnya untuk keluar.
Kilatan-kilatan cahaya kamera mengenai wajah seorang wanita berambut blonde yang sedang berpose di depan kamera. Banyak sekali gaya yang digunakan, dan fotografer itu dengan sigap menangkap semua gaya tersebut.“Oke! Kerja yang bagus, Madison! Kita istirahat sebentar sebelum lanjut sesi berikutnya!”Madison Thema adalah nama wanita yang berprofesi sebagai model terkenal itu. Tubuhnya yang seksi dengan kaki jenjangnya, membuat dirinya banyak dilirik oleh brand ternama untuk dijadikan wajah dari brand mereka. Tak hanya itu saja, pengikutnya yang banyak juga menambah nilai lebih.“Apa kau sudah mendapatkannya?” Madison bertanya kepada seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah manajer pribadinya yang selalu mengikutinya kemanapun Mad
Jasmine menerima ponsel miliknya yang disodorkan Madison setelah dia duduk dalam kondisi bingung. "Tadi ponselmu berbunyi," jelas Madison yang menjawab pertanyaan dibenak Jasmine."Oh, terima kasih. Mungkin hanya pesan," tuturnya dengan senyuman sembari memasukkan ponsel tersebut ke dalam tasnya, sebelum kemudian menatap Madison. "Kau memanggilku kemari … ada apa? Apa kau butuh sesuatu dariku?"Madison menarik napasnya dalam. "Aku kaget mendengar kabar kalau Emir menikah lagi," jelas Madison. Wajahnya berubah sendu. "Tapi setidaknya aku bersyukur karena kau terlihat baik, semoga saja Andrea betah dengan dirimu, setidaknya mewakilkan diriku yang seharusnya berada di samping Andrea"Jasmine terenyuh. Mendadak dirinya bingung ingin menjawab apa.
Deniz yang sedari tadi berdiri di depan Emir tak pernah memutuskan pandangannya dari Emir. Dirinya terus menatap, seakan mencoba mengetahui apa yang sedang mengganggu Emir walau sangat sulit dilakukan. Seperti ada perisai yang sangat tebal, tak bisa ditembus oleh apapun, sekalipun peluru terbaik sedunia. “Apa ada masalah, Tuan?” Memberanikan diri, akhirnya Deniz mengeluarkan pertanyaan. “Kalau ada yang mengganjal, mungkin Tuan bisa memberitahukan kepada saya. Siapa tahu saya bisa membantu.” Emir terus menatap Deniz selama pria itu berbicara. Kemudian dia menghela napas, mendorong mejanya, membuat kursi dengan tumpuan roda itu terdorong ke belakang, lalu Emir berdiri dan berjalan ke arah samping. Matanya mengamati gedung-gedung pencakar langit yang terlihat begitu jelas dari ketinggian 60— ruangan kerjanya berada.