Share

Bab 4

"Apa? Kamu pikir aku pekerja sosial?" bentak Dareen. 

“Kamu menabrakku, jadi kamu harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku,” bantah Arisha. 

"Ya Tuhan! Dari mana asal wanita gila ini?” Dareen menggerutu.

Kilatan lampu mobil menerangi wajah Arisha. Dia tampak pucat. Dareen merasa tidak tega untuk meninggalkan gadis itu seorang diri di tengah belantara kota metropolitan yang lebih menakutkan daripada hutan rimba.

"Oke. Aku akan membawamu ke Rumah Sakit," putus Dareen seraya mengoper gigi persneling. 

"Tidak! Jangan bawa aku ke sana!" Arisha menolak untuk pergi ke Rumah Sakit. Dia khawatir Hanna akan menemukannya. 

"Dengarkan aku!" kata Dareen. Dia menatap Arisha melalui kaca spion. "Aku sibuk dan tidak punya waktu untuk mengabulkan permintaanmu. Lagi pula, aku bukan jin yang dapat mengabulkan tiga permintaan. Kalau kamu tidak mau periksa ke dokter, katakan ke mana aku harus mengantarmu!" 

"Aku bilang aku tidak tahu seluk-beluk kota ini,” jawab Arisha. "Bawa aku ke tempat mana pun, yang menurutmu aman untukku!" 

"Oke. Aku akan mengirimmu ke neraka!" gumam Dareen sembari mencengkeram roda kemudi dengan erat.

Dia sedang dalam suasana hati yang sangat buruk lantaran menyaksikan tunangannya berselingkuh, dan wanita aneh di belakangnya itu telah membuat dirinya semakin frustrasi. Setia pada bisu, Dareen menambah kecepatan.

"Pelan-pelaaan!" Arisha memekik ketakutan.

Dareen tak menghiraukan jerit peringatan dari Arisha. Ia terus melajukan mobilnya seperti orang kesetanan.

Arisha berpegangan erat dengan dua tangan. Tubuhnya terombang-ambing ke sana kemari lantaran ia tidak memakai sabuk pengaman.

"Berhenti! Toloong ... ueeek!"

Isi perut Arisha menyembur keluar karena tak kuat menahan guncangan yang gila-gilaan. Tangan Arisha yang menggantung, kini berpindah memagut sandaran kursi sopir. Ia terkulai lemas dengan mata terpejam.

Ckiiit!

Mendadak Dareen menginjak pedal rem dengan kuat begitu merasakan tengkuk dan punggungnya terkena semburan hangat dari belakang.

Ia menoleh ke kursi penumpang dengan mata melotot, siap meluapkan lahar kemurkaan. Namun, begitu melihat betapa tak berdayanya Arisha bertumpu dagu pada sandaran kursi, kemarahannya melunak.

Wajah gadis itu tampak tak berdarah. Lengannya yang memeluk erat sandaran kursi sopir bergetar hebat.

Dareen mengabaikan rasa jijik pada muntahan Arisha yang memenuhi punggungnya. Ia hanya membersihkan tengkuk dengan helaian tisu, lalu kembali melajukan kendaraannya. Kali ini dengan kecepatan rendah.

Selang dua puluh menit, Dareen memarkir mobil di halaman rumahnya.

"Heh, bangun! Turun!" sentaknya, mencapit punggung tangan Arisha, yang masih terkulai lemas memeluk sandaran kursi.

Ia mengangkat tangan itu dengan ekspresi jijik, lalu mengempaskannya. Berharap Arisha akan terbangun lantaran kaget.

Sayangnya, walau telah berulang kali ia melakukan hal tersebut kepada Arisha, gadis itu masih bergeming.

Ekspresi jijik bercampur kesal yang mendominasi wajah Dareen beralih rupa menjadi riak kecemasan.

Ia membungkuk, menepuk-nepuk pipi Arisha sembari terus memanggilnya, "Heh, cewek aneh! Bangun! Ini tidak lucu! Kutinggal nih!"

Tak ada respons dari Arisha.

Merasa dongkol lantaran ia pikir Arisha masih saja mempermainkan dirinya, Dareen benar-benar meninggalkan Arisha.

'Aku mau lihat sampai berapa lama ia sanggup berpura-pura pingsan,' batin Dareen, menyeringai sinis seraya mengayun langkah pelan menuju teras rumahnya.

Ia menghitung dalam hati, 'Satu ... dua ... tiga ....'

Setelah hitungan ketiga ia berbalik secara mendadak, "Kena kamu!" cibirnya dengan seringai mengejek.

Pada detik berikutnya, seringai itu lenyap dari bibirnya. Keningnya mengerut. Pintu mobilnya masih tertutup rapat.

Detak jantung Dareen sekonyong-konyong meningkat drastis. Ia melesat kembali ke mobil dan membuka pintu penumpang dengan tidak sabar.

"Argh, sial! Dia benar-benar pingsan. Menyusahkan saja!" gerutu Dareen, tapi tangannya justru bergerak menunjukkan kepedulian.

Jemari panjang dan kokoh Dareen meraih tubuh Arisha dan membiarkan gadis itu meringkuk dalam bopongan lengan kekarnya.

"Bersihkan mobilku!" titah Dareen, ketika seorang lelaki berusia empat puluhan, yang bertugas menjaga rumah, mendekatinya dengan tergopoh-gopoh.

Dareen melanjutkan langkah tanpa memedulikan respons dari lelaki itu yang terlihat tercengang sambil garuk-garuk kepala.

"Tuan ...." Seorang wanita paruh baya terkejut melihat Dareen pulang sambil menggendong gadis muda. "D–dia kenapa?" tanya wanita itu dengan nada cemas.

"Bantu aku membersihkan tubuhnya, Bi!" pinta Dareen, mengabaikan pertanyaan sang ART.

"Baik, Tuan!"

Saat membuka mata, Arisha mendapati dirinya berada dalam sebuah kamar asing. Ia menyapu setiap ruangan yang didominasi oleh perpaduan warna peach dan abu-abu itu dengan tatapan heran.

Menilik dari ukuran ruangan yang tak kurang dari enam kali delapan meter, serta fasilitas yang nyaris menyamai kamar hotel, Arisha yakin bahwa dia tidak berada di sebuah rumah sederhana.

Tap! Tap!

Suara derap langkah kaki membuat Arisha menoleh ke pintu. Tidak lama kemudian seorang perempuan paruh baya dengan gamis berwarna maroon dan kerudung cokelat tua masuk, membawa nampan yang terisi penuh dengan makanan dan minuman.

Senyum hangat wanita itu menetralkan detak jantung Arisha yang sempat berdebar kencang.

"Anda sudah bangun, Nona? Apa Anda merasa pusing?" tanya wanita paruh baya itu sambil meletakkan nampan di atas sebuah meja kecil, tidak jauh dari ranjang tempat Arisha berbaring.

"Maaf, Ibu siapa? Kenapa aku bisa berada di sini?"

"Anda di—"

"Bibi boleh keluar kalau sudah selesai!"

Suara bernada tegas, yang datang dari arah pintu, memotong ucapan wanita paruh baya itu.

Wanita itu membungkuk hormat, kemudian berlalu. "Permisi, Tuan!"

"Hem!"

Mata Dareen menelanjangi Arisha dengan tatapan dingin.

"Bagus ya! Kelihatannya kamu sangat nyaman berbaring di kamarku," sindir Dareen. "Tapi, tidak ada kesenangan yang gratis di dunia ini. Mulai sekarang kamu bertanggung jawab mengurus semua keperluan pribadiku!"

Arisha terperangah. "Apa?! Jadi ART maksudmu?"

"Kenapa? Ada yang salah? Kalau kamu keberatan, silakan tinggalkan rumahku! Tapi ...."

Dareen menggantung kalimatnya. Ia tersenyum miring.

Deg! Deg! Deg!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Naila Raisa Putri
bagus ceritanya saya suka lanjutannya dong
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status