"Arisha, hei! Bangun! Kita udah sampai." Hanna menepuk pelan pipi Arisha. Membangunkan gadis itu dari lelapnya selama menempuh perjalanan panjang, hampir delapan jam.
Arisha menggeliat, lalu mengerjap. Berusaha mengumpulkan kepingan jiwanya yang masih berserakan setelah lelah berkelana di alam mimpi.
"Kita di mana?"
"Ini Jakarta, Sayang. Ayo turun!"
"Aku masih ngantuk." Arisha mengucek mata, berusaha melawan kantuk yang masih tersisa.
"Kamu bisa melanjutkan tidur sepuasnya setelah tiba di kamar hotel."
Arisha terlonjak. "Apa? Hotel? Kita bukan ke kontrakanmu?"
"Biasa aja kali, nggak usah kaget begitu!" ledek Hanna. "Anggap aja ini sambutan selamat datang untukmu."
"Hotel kan mahal, Hanna." Arisha merasa tak enak hati membebani sang sahabat dengan menghabiskan banyak uang.
"Sudah, tidak apa-apa. Cuma sesekali kok. Ayo!" Hanna mendorong pintu mobil untuk Arisha.
Arisha dan Hanna melenggang, meninggalkan parkiran hotel, yang kian kelam.
"Um, kamu keberatan enggak menunggu di sini sebentar?" tanya Hanna. “Aku harus reservasi dulu.”
“Oke, tapi ... eh, enggak ... aku ikut kamu aja deh.”
"Tidak, tidak. Enggak usah!" tolak Hanna. "Aku bisa sendiri kok. Aku udah janji untuk membantumu. Um, kamu tunggu di lobi aja ya?”
Arisha ragu-ragu. Dia belum pernah menginap di hotel sebelumnya, jadi dia merasa agak risi. Diam-diam dia menyusul Hanna alih-alih menunggu di lobi.
Ketika dia semakin dekat dengan Hanna, samar-samar ia mendengar apa yang dikatakan Hanna melalui telepon.
Arisha ternganga, lalu cepat-cepat membekap mulutnya dengan tangan. Kakinya gemetar. Perlahan, Arisha melangkah mundur, lalu lari secepat yang dia bisa.
Dia tidak ingin tinggal di sana lebih lama lagi. Hanna telah menjebaknya. Sahabat masa kecilnya itu berencana akan menjualnya kepada seorang lelaki hidung belang.
Arisha terus berlari, bahkan tanpa melihat ke belakang. Dia terlalu takut untuk kehilangan kecepatannya.
Dia ingat bahwa rusa bisa berlari lebih cepat daripada singa. Seekor rusa bisa berlari sembilan puluh kilometer per jam, sedangkan seekor singa hanya bisa berlari lima puluh delapan kilometer per jam. Sayangnya, si rusa berakhir menjadi mangsa yang lezat bagi singa. Mengapa? Itu karena rusa selalu melihat ke belakang saat melarikan diri.
Arisha tidak ingin nasibnya berakhir seperti rusa yang tidak percaya diri dengan kemampuannya. Oleh karena itu, Arisha berlari semakin cepat dan lebih melesat lagi. Ketika merasa yakin bahwa dia sudah cukup jauh dari hotel, Arisha memperlambat kecepatannya. Sejenak ia mengambil napas dalam-dalam, lalu melanjutkan langkahnya.
Arisha baru saja hendak menyeberang jalan ketika tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Hampir saja ia tersungkur.
Mobil itu tak dapat lagi menghindari Arisha, meskipun sang pengemudi telah mencoba menghentikan laju mobilnya.
Seorang pemuda turun dari kuda besi tunggangannya dengan wajah marah.
"Kamu gila?" teriak Dareen. “Kamu ingin mati, hah?”
“K–kamu yang menabrakku. Kenapa kamu yang marah?” Arisha menjawab dengan suara gemetar karena cemas.
Lihat! Gadis aneh itu bahkan berani membentaknya. Dareen semakin marah. Tidak ada yang pernah membantah kata-katanya selama ini.
“Kamu yang berlari seperti dikejar monster!” balas Dareen.
Dia melirik Arisha dengan seringai sinis di wajahnya. "Katakan padaku yang sebenarnya!" Dareen mencondongkan tubuh pada Arisha. "Kamu melakukan ini dengan sengaja untuk menipuku, kan?"
Dareen menatap Arisha dengan pandangan jijik. "Berapa banyak uang yang kamu butuhkan, huh?"
Dareen telah membaca begitu banyak artikel tentang orang-orang yang menjadi korban penipuan oleh komplotan tunawisma untuk mendapatkan sejumlah uang.
Mendengar kata-katanya yang menghina, Arisha ingin menendang Dareen dengan kekuatan penuh. Akan tetapi, ketika teringat alasan dia lari seperti seorang sprinter, dia berusaha keras untuk mengendalikan dirinya.
"Tolong, selamatkan aku! Aku butuh bantuan," lirih Arisha, terdengar panik.
Segera setelah dia menyelesaikan kata-katanya, Arisha melompat ke dalam mobil Dareen tanpa memikirkan bagaimana lelaki itu akan bereaksi. Dia tidak dapat menunda lagi saat mendengar suara yang sangat familier mencarinya dengan teriakan geram.
"Apa yang dilakukan gadis aneh itu?" sungut Dareen.
Dareen berjalan cepat memburu Arisha, bermaksud hendak menarik gadis itu keluar dari mobilnya. Ketika dia hampir mencapai kenop pintu mobil, telinganya menangkap sumpah serapah dalam nada marah dari kejauhan.
Dareen menatap Arisha. Gadis aneh itu tengkurap, menghadap ke bawah kursi mobil untuk menyembunyikan wajahnya.
Dareen tidak punya pilihan selain masuk ke mobil dan duduk di belakang roda kemudi, lalu memacu kendaraannya dalam diam. Wajahnya mengeras. Dia benar-benar jengkel pada Arisha.
Dareen mengintip Arisha melalui kaca spion tengah. Namun, gadis itu tetap bersembunyi.
Ketika mobilnya sudah cukup jauh dari hotel, Dareen menginjak pedal rem. Dia menoleh ke belakang. Tampak Arisha masih berbaring di kursi penumpang.
"Apa kamu akan bersembunyi di sana sepanjang malam?" sarkas Dareen. “Ini bukan kamar hotel. Keluar!"
Arisha masih gemetar. Dia tidak punya pengalaman hidup sendiri di kota besar. Ini adalah pertama kalinya dia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau. Di sisi lain, tidak baik juga bagi dirinya untuk tinggal dengan pria asing. Bagaimana jika laki-laki itu penjahat? Tapi, dia tidak punya tempat lain untuk dituju.
Arisha bangkit, merapikan blusnya yang berantakan. "Tolong bantu aku menemukan tempat tinggal yang aman," rengeknya. "A-aku tidak mengenal seluk-beluk kota ini."
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men