"Bi Minah, Silla mana? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?" Pagi-pagi Dareen heboh sembari memasang wajah panik. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengecup kening sang keponakan tercinta sebelum berangkat kerja. Namun, pagi ini, kamar gadis mungil itu kosong. Prasangka buruk mulai merasuki pikirannya. "Bi, kenapa diam saja?" sungutnya, menyadari sang asisten rumah tangga hanya tersenyum simpul. Tangan wanita paruh baya itu masih menggenggam kemoceng yang ia pakai untuk mengikis debu pada kaca lukisan, penghias dinding koridor menuju bibir tangga. "Bukankah bagus jam segini nona cilik tidak lagi tidur, Tuan?" Sebelah alis Dareen terangkat. "Maksud, Bibi? Silla bukan dibawa kabur, tapi memang sudah bangun?" "Ya ampun, Tuan! Siapa yang berani membawa kabur nona cilik?" timpal Bi Minah. "Nona cilik bersama Non Arisha." "Huh? Sepagi ini?" Dareen masih tak percaya keponakannya itu mau melepaskan diri dari belitan selimut hangatnya saat matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah men
"Dasar cowok gila! Dia yang menahanku, dia juga yang selalu curiga," omel Arisha, merasa dongkol dengan kata-kata Dareen yang terus terngiang di telinganya. Sementara tangannya sibuk mengaduk susu yang disiapkannya untuk Silla. "Laki-laki memang egois! Giliran ada maunya baik banget, tapi cuma kedok doang. Aslinya penipu! Habis manis sepah dibuang!" Arisha terus mengomel, mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya tentang Dareen, melainkan juga dongkol setengah mati pada sosok Alfian. "Tidak semua laki-laki begitu, Non—" "Eh, Bi Minah!" Arisha menoleh kaget. "Sejak kapan Bibi berdiri di situ?" Wajah Arisha sedikit beriak resah. Gawat kalau Bi Minah mendengar semua ocehannya. Bagaimana kalau Bi Minah mengadu pada Dareen? Ah, bisa keluar tanduk dari kepala Dareen. Arisha mengutuki kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, sebagai salah satu cara untuk meluapkan emosi. "Sudah lumayan lama, Non," sahut Bi Minah, tersenyum tipis seraya melangkah mendekati Arisha. "Bibi … mendengar semu
Dua tatapan saling mengunci. Arisha dengan kilat tak suka berbalut canggung. Dareen dengan binar mata tak terbaca. "Silla, Sayang. Silla hanya boleh memilih salah satu. Mau sama kakak atau Daddy?" Arisha memecah hening setelah berhasil menguasai situasi. "Silla mau ditemani Kak Sha sama Daddy." "Nggak boleh, Sayang." "Kenapa nggak boleh?" Wajah Silla murung. Arisha kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya kepada Silla. "Sayang, nanti setelah Silla besar, Silla akan paham." "Ehem!" Dareen mendeham kikuk tanpa berani menatap langsung pada Arisha. Permintaan Silla memantik perasaan aneh dalam hatinya. Ia sendiri tidak yakin itu perasaan apa. Yang jelas, pipinya terasa memanas. "Tidurlah! Daddy tidak akan pergi. Da—" "Daddy akan tidur sama Silla dan Kak Sha?" potong Silla dengan wajah berbinar cerah. Arisha melotot pada Dareen. Tatapan tajamnya melayangkan ancaman. Dareen mengulum senyum, perlahan mulai mengayun langkah. Melihat aksi nekat Dareen,
"Astagfirullah!" Arisha tergesa-gesa membuka mukena. Bayangan Silla terjatuh dari ranjang membentot langkahnya menuju pintu. "Silla? Kenapa, Sayang?" Ternyata gadis kecil itu telah berada di depan pintu, tersedu sedan dalam gendongan Dareen. Kedua tangan mungilnya terulur dan gemetar. Arisha mengambil Silla dari gendongan Dareen. Ia berbisik menenangkan Silla seraya mengelus punggungnya. "Cup, cuuup … Silla kenapa nangis, Sayang?" Silla menelan tangisnya, menyisakan sedan di ujung bibir yang bergetar. "Silla, Silla mimpi buruk." "Oh ya? Mimpi apa?" Arisha membawa Silla kembali ke kamarnya. "Silla, Silla mimpi Kak Sha ninggalin Silla," jawab Silla seraya mempererat belitan lengannya pada leher Arisha. Rupanya sedekat itu ikatan batin Silla dengan Arisha walaupun perkenalan mereka masih hitungan hari. "Kakak hanya pergi sebentar untuk salat Subuh, Sayang." "Salat?" Mata Silla yang berkaca-kaca memancarkan rasa penasaran. Pun Arisha merasa heran. Anak seusia Silla seharusnya
"Silla, nanti kalau besar, jangan biasakan menguping pembicaraan orang lain, ya? Itu tidak baik." "Silla nggak nguping, Kak Sha. Kan Kak Sha ngomong sama Silla. Gimana sih?" Alis Silla terangkat sebelah, merasa bingung dengan perkataan Arisha. Jelas-jelas dia sedang menyimak materi yang diajarkan Arisha, eh, malah dikatakan menguping. Arisha tersenyum tipis, mengerling pada pintu kamar Silla yang sedikit renggang. Dareen bergeser ke sisi kanan. Merasa malu karena ketahuan mencuri dengar ilmu yang diajarkan Arisha pada Silla. Arisha dan Silla saling lempar pandang, lalu kompak mengangguk. Seakan paham dengan kode masing-masing, keduanya berjinjit menuju pintu. Dareen yang tak lagi mendengar suara dari dalam kamar merasa heran. Penasaran, ia pun kembali mengintip. "Hayyyooo … ketahuan Daddy suka ngintip! Ish! Ish! Ish!" Silla membuka pintu secara tiba-tiba dan berseru mengejek. "Itu … ti-dak baik!" Silla mengulang kata-kata yang diucapkan Arisha dengan mimik serius dan penuh p
"Daddy, ayooo!" Silla mengguncang-guncang lengan Dareen.Dareen masih membisu. Bingung antara memenuhi permintaan Silla atau menolak.Hatinya bimbang. Kalau dituruti, takutnya ia salah baca. Bisa-bisa Arisha menertawakan dirinya.Seandainya ditolak, tetap saja dia berada di posisi yang tidak menguntungkan. Arisha pasti akan menganggapnya sebagai lelaki pengecut, yang bahkan untuk menaklukkan tantangan dari seorang anak kecil pun, ia tak mampu.Kali ini Dareen mengutuk tingkah Silla. Bisa-bisanya gadis kecil itu punya ide untuk mempermalukan dirinya di hadapan wanita aneh, yang selalu berani membantah kata-katanya."Sayang, yang belajar kan Silla, bukan daddy. Tugas daddy adalah mengawasi Silla belajar," kilah Dareen, dengan senyum terpaksa. "Daddy senang Silla tumbuh pintar dan hebat seperti daddy."Arisha mencebik sinis mendengar bualan Dareen tentang kehebatannya.Sebaliknya, mata Silla berbinar bangga. "Benarkah, Daddy?"Dareen mengangguk mantap. "Tentu saja!""Mana buktinya?"Dare
"Duuuh, cantiknya Non Silla!" puji Bi Minah ketika Silla menginjak undakan tangga terbawah sambil berbimbingan tangan dengan Arisha. Rambut cokelatnya mengenakan jepit berbentuk bunga berwarna pink. Kontras dengan gaun putih yang dikenakannya. Silla tersenyum lebar. "Iya dong, Bi. Kak Sha lho yang ngedandanin Silla." "Oh ya? Bibi juga mau atuh didandanin kayak Non Silla." "Nggak boleh! Kak Sha cuma boleh ngedandanin Silla. Bibi kan udah gede, dandan aja sendiri!" Silla menyahuti godaan Bi Minah dengan nada sewot. Ekspresi wajahnya terlihat jutek. Bi Minah memasang raut muka merajuk. "Yah, Non … masa nggak boleh sih? Kan Bibi udah nyiapin bekal makanan yang lezat buat, Non," rayu Bi Minah, memamerkan tas sandang karakter yang sudah disiapkannya untuk Silla. Silla merampas tas tersebut dengan gerakan kasar. "Dibilangin nggak boleh, ya nggak boleh! Bibi ngerti nggak sih?!" Arisha mengelus kedua pundak Silla. "Sayang, Bi Minah cuma bercanda. Masa gitu aja sewot. Nanti cantiknya hila
Dengan langkah pelan dan wajah bersemu merah, Silla mendekati Bi Minah. "Silla … Silla minta maaf ya, Bi," lirih Silla, dengan kepala tertunduk. Bi Minah terharu. Matanya berkaca-kaca. Semenjak kedatangan Arisha, putri kecil itu perlahan mulai berubah. Silla menjadi lebih terkendali dari sebelumnya. Pun sama dengan Arisha. Ia merasa bangga Silla mau memperbaiki sikap. Serentak keduanya memeluk Silla. "Sampai kapan kalian akan bergerombol di depan tangga dan berpelukan seperti teletubies, huh?" sindir Dareen dari tengah tangga, merusak suasana haru yang sarat dengan muatan emosi itu. "Kalian merencanakan sesuatu di belakangku?" Arisha dan Bi Minah lekas mengurai pelukan mereka dari tubuh mungil Silla. Jika Bi Minah tegak dengan tatapan yang meluruh ke lantai, lain halnya dengan Arisha. Gadis itu menantang tatapan curiga Dareen dengan pandangan dingin. "Sepertinya Anda mengalami krisis kepercayaan terhadap orang lain, Tuan. Ada baiknya Anda memeriksakan diri ke dokter sebelum And