Share

Mopping Your Heart
Mopping Your Heart
Penulis: Pena Indah

Pertemuan Pertama.

Suara yang merdu dengan petikan gitar yang sangat terampil. Seorang gadis pengamen di lampu merah kala itu. Gadis yang mampu membuat Vano Arka Wijaya (30), pria dermawan dengan bersampul brengsek dan juga dingin. Telah jatuh hati kepadanya. 

Sudah sejak dua bulan lebih, Vano mencari informasi tentang gadis itu. Namanya, Khanza Aurely (18), siswi SMA negri ternama di Kota itu. Lahir dari keluarga sederhana, dengan sifat ceria dan sangat ramah. Namun, Khanza memiliki kebiasaan buruk yang mungkin sudah tidak layak bagi usianya saat ini.

Kebiasaan buruk itu, ia sering bolos pelajaran dan selalu membuat onar di sekolah. Sampai ia bertemu dengan Vano Arka Wijaya, seorang pengusaha yang sangat dermawan, namun terlihat sombong.

Akan tetapi, karena kurang kasih sayang dari orang tuanya semasa kecil, membuat pikirannya sempit tentang dunia ini. Jika orang lain pembicaraan kekeluargaan membuat masalah selesai, berbeda dengan Vano, jika uang adalah bentuk penyelesaian masalah baginya.

Khanza memiliki Adik bernama Lisa Wardani (12), tahun ini ia akan masuk ke SMP. Ayah mereka sering sakit- sakit an juga. Khanza ini mengamen tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Selama ini, ia bisa membeli buku sekolahnya sendiri dari hasil ngamen setiap ada jam kosong maupun waktu libur sekolah.

Khanza juga memiliki teman sebangku bernama Hanif Ristanto (19). Hanif ini cowok penakut, pintar dan tentunya kutu buku. Suka membela jika Khanza benar, dan menasehati Khanza ketika ia salah. Lahir dari keluarga yang cukup mampu.

Suatu hari di kelas, kebetulan hari itu ada jam kosong. Khanza bersiap-siap untuk pergi sebentar mencari uang dengan suara dan petikan gitarnya. Namun, Hanif selalu sahabatnya mencoba manahan agar Khanza tidak melakukan hal tidak baik itu. Bolos jam pelajaran, meskipun jam kosong.

"Za, kamu mau kemana, sih?" tanya Hanif curiga.

"Biasa jam kosong, kamu tahu sekali bagaimana kebiasaanku, bukan?" jawab Khanza dengan santai.

"Kamu butuh uang untuk apa lagi, sih? Aku punya jika kamu sedang membutuhkan uang. Aku harap kamu jangan bolos, ya. Aku mohon kepadamu, Za." Hanif merasa tertekan.

"Stttt jangan lagi. Hari ini aku butuh uang banyak soalnya. Sebentar lagi Si Lisa ulang tahun, dia minta sepatu. Tidak ada salahnya jika aku menurutinya," jelas Khanza.

"Aku ada, Za. Tapi aku mohon, kamu jangan bolos lagi. Ini akan berdampak buruk pada nilaimu, Za … kalau kamu di skorsing bagimana?" Hanif terpaksa berbohong, dengan harap Khanza mengurungkan niatnya untuk bolos sekolah saat jam itu.

"Jika kamu meminjamkan aku uang, lalu bagaimana cara aku mengembalikan kalau aku tidak bekerja?" tanya Khanza.

"Aku tidak terlahir dari keluarga berkecukupan sepertimu, Nif!"  Khanza berlalu pergi. 

Hanif sangat kecewa dengan sifat sahabatnya. Bahkan Khanza juga selalu menjadi juara umum di sekolah, tetap saja kebiasaan buruknya yang sering bolos sekolah membuat bintang baiknya menurun.

Setelah berhasil melompat dinding sekolah, ia berlari menuju semak-semak tempat dia menyimpan gitar kesayangannya.

"Semoga saja, hari ini aku mendapat banyak uang!" harapnya.

Khanza naik bis menuju terminal, ia juga segera mengganti seragam sekolahnya dengan baju biasa. Tak mungkin, jika dirinya bernyanyi di jalanan masih memakai seragam sekolah.

Ketika berjalan terburu-buru, tanpa sengaja Khanza menabrak seorang pria paruh baya di depan toilet.

Bruk!

"Aduh, hati-hati dong, Dek. Kalau jalan tuh lihat kanan kiri, jangan asal aja. Untung saya tidak jatuh," sulut pria itu.

"Maaf ya, Pak. Saya terburu-buru. Sekali lagi saya minta maaf, saya harus mengejar bus itu," Khanza berlari mengikuti bus yang hendak berangkat.

"Hah, anak jaman sekarang. Memang tidak ada sopan santunnya." gerutu pria itu.

Khanza sudah beberapa kali naik turun bis untuk bernyanyi. Namun, jumlah uang yang ia dapatkan masih belum mencapai target yang sudah ia targetkan. Ia pun berpikir untuk menyanyi lagi di lampu merah.

"Di sini lumayan juga." gumamnya.

Mau tidak mau, Khanza harus bernyanyi di sana. Ketika bernyanyi, seorang pria yang menabraknya di terminal sebelumnya, juga berhenti di lampu merah tersebut.

"Wah bertemu lagi, ya. Nih buat kamu!" ujar cap pria itu yang ternyata asisten pribadi dari seorang Bos muda (Vano).

"Eh, Bapak lagi. Hehe, ini nggak kebanyakan, ya?" tanya Khanza menerima uang tersebut.

"Uang segitu mana ada berharganya untuk saya. Pengamen seperti kamu, pasti senang kan dapat uang segitu?Cih!" desis Bos itu dengan tatapan merendahkan.

"Sama-sama dari tanah. Sama-sama menginjak tanah dan bakal balik lagi ketanah, Jadi buat apa sombong?" celetuk Khanza.

"Langit tak perlu menjelaskan kenapa dia tinggi, yang tinggi saja tidak melangit. Ini kenapa tanah sok menjadi langit?" kesal Khanza melempar uang itu ke dada Bos muda itu.

"Melihat ke atas sebagai motivasi, bukan untuk jadi rendah diri. Melihat ke bawah agar lebih bersyukur bukan agar jadi sombong. Gunung yang tinggi, besar, luas dan gagah perkasa pun tidak pernah bangga. Lalu kenapa Anda yang hanya se-jentik nya berani sombong. Malulah sama gunung! Hih kesal aku." gerutu Khanza berlari menjauh dari mobil itu. 

Dialah Vano, orang yang suatu saat akan merubah kehidupan Khanza dimasa depan. Entah itu bersamanya, atau hanya menjadi jembatan karirnya saja.

"Pak Adi, carikan informasi tentang dia untuk saya. Saya akan berterima kasih atas nasehat yang berharganya itu." perintah Vano.

"Siap, Pak." jawab Pak Adi.

"Ck, buat apa sih, Van? Paling juga dia modus deh," ucap Rangga, sahabat Vano yang sudah seperti saudaranya sendiri.

Vano terus saja menatap Khanza yang saat itu bernyanyi untuk orang lain. Suaranya malah membuat ia kesal, mengingat kejadian beberapa menit lalu.

Setelah beberapa menit berlalu, Khanza melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan waktunya pulang sekolah.

"Wah harus segera kembali ke kelas nih. Bisa-bisa ditutup lagi gerbangnya. Kan tasku masih di kelas." gumam Khanza.

Sesampainya di depan kelas, kelasnya sudah kosong. Semua siswa sudah pulang karen jam kosong itu memang jam pelajaran terakhir.

Ia terus mencari tasnya karena sudah tidak ada di bangkunya. Sedangkan Hanif yang biasanya selalu menunggunya, rupanya ia juga sudah pulang lebih dahulu.

"Hanif serius nih ninggalin aku?"

"Ada apa dengannya hari ini, ya?"

"Tidak seperti biasanya, deh. Hanif memang bawel, tapi tidak pernah ninggalin aku seperti ini," gumamnya dengan masih mencari tasnya.

Tak berselang lama, seseorang muncul di belakangnya, dan menegurnya dengan sinis. "Kamu cari ini, 'kan?"

Suara siswi perempuan, ialah Tina. Seorang siswi yang telah lama ditaksir oleh sahabatnya, Hanif.

"Tasku, kok bisa bersamamu? Hanif mana?" tanah Khanza.

"Cih, nggak tau diri! Mending jauh-jauh deh dari Hanif," sulutnya.

"Dih, siapa kamu? Kenapa kamu melarang Hanif untuk dekat denganku?" tanya Khanza merapikan tasnya.

"Aku … pacar Hanif dari dua minggu lalu. Gara-gara kamu, Hanif diskorsing. Kenapa sih kamu bolos terus?" kesal Tina.

"Lah, aku yang bolos kenapa. Hanif yang diskorsing? Aku akan ke ruangan bimbingan," ujar Khanza.

"Guru bimbingan sudah pulang. Ingat, jauh-jauh dari Hanif!" hardik Tina mendorong Khanza.

Tina pergi meninggalkan Khanza di kelas. Merasa kesal dengan Khanza, Tina menjadi tega mendorong Khanza sampai terjatuh. Sejak awal, Tina memang tidak pernah menyukai Khanza.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status